Connect with us
The Last of Us
HBO

Entertainment

Kebangkitan Era Serial Adaptasi Video Game yang Berhasil

Membahas kesuksesan “Arcane” hingga “The Last of Us” sebagai serial adaptasi video game.

Film dan serial adaptasi video game telah memiliki stigma di skena budaya pop mainstream selama beberapa dekade. Tak peduli seberapa sukses dan populernya video game, ketika ada pengumuman adaptasi live action maupun animasinya, tak sedikit yang langsung skeptis bahkan dari kalangan penggemar game-nya sendiri. Sementara audience umum sudah merasa ter-gatekeeping duluan karena tidak pernah memainkan game-nya.

Cultura sebelumnya juga pernah membahas “Tren & Kegagalan Adaptasi Video Game Dalam Industri Film”. Mulai dari komposisi substansi plot dari materi sumber hingga pemilihan sutradara menjadi beberapa masalah mengapa proyect adaptasi video game bisa gagal.

Mulai dari “Mortal Kombat: Annihilation” (1997), “Lara Croft: Tomb Raider” (2001) hingga “Resident Evil” (2002), dan masih banyak judul-judul klasik lainnya, tak mampu memuaskan penggemar game maupun mengundang rasa penasaran penonton umum.

Tak hanya judul-judul lama, adapun beberapa judul terbaru seperti “Resident Evil: Welcome to racoon City” (2021) serta serial “Resident Evil” Netflix yang di-bully oleh media karena kualitas produksi dan ceritanya yang masih jauh dari standar layak untuk ditonton.

Namun, memasuki era 2020-an, kita mulai menemukan beberapa serial adaptasi video game yang mengundang antusiasme tinggi. Mulai dari “Arcane” hingga “The Last of Us”, bagaimana sebetulnya formula yang benar dalam menciptakan serial adaptasi video game yang berhasil?

Film & Serial Terbaru di Netflix (November 2021)

Arcane

Arcane: Animasi Artistik yang Dikerjakan dengan Serius untuk Segmentasi Umum

Tidak ada yang terlalu peduli dengan lore “League of Legends” (LoL) hingga “Arcane” dirilis. Namun, permintaan agar Riot Games menciptakan serial animasi untuk game multiplayer online battle arena (MOBA) populernya tersebut sudah muncul sejak lama. Hal ini dikarena LoL terus meningkatkan kualitas video promosi mid season, champion trailer terbaru, hingga video klip untuk world theme song mereka setiap tahunnya. Pada titik ini, sangat mungkin banyak penggemar LoL yang hanya menikmati sajian musik dan animasi promosi mereka saja, meski tidak memainkan game-nya.

Sebelum terkenal melalui “Arcane”, Jinx sudah menjadi champion yang populer di kalangan umum karena ia dipromosikan dengan theme song dan video klip-nya sendiri, “Get Jinxed”. Kemudian ada K/DA, dimana Riot “tak sengaja” menciptakan fandom baru hanya dari proyek video musik untuk mempromosikan skins champion terbaru yang terinspirasi dari K-pop idol. Dari berbagai proyek artistik yang dirilis, bisa dilihat bahwa semesta LoL bisa memikat segmentasi yang lebih luas, tak hanya para gamers saja.

“Arcane” merupakan serial adaptasi game yang dikembangkan secara serius sebagai karya animasi. Lebih dari sekedar fanservice yang prematur untuk profit instan, terlihat bagaimana usaha Riot untuk memperlakukan “Arcane” sebagai project animasi yang terpisah dari game-nya. Karena LoL sendiri bukan story-based video game.

“Arcane” season pertama yang rilis pada November 2021 kemarin saja belum menunjukan potensi laga maksimalnya. Karena lebih fokus pada character building dari karakter-karakter utama di Zaun dan Piltover (salah satu region dalam semesta LoL), mulai dari Jinx, Vi, Caitlyn, serta Jayce dan Viktor yang bahkan belum memiliki wujud seperti champion-nya dalam game.

Baru pada part penutup mulai ada teasing dari pertarungan dan adu skill dari setiap karakter yang dipresentasikan dengan animasi menawan. Meski belum tamat dan ditutup dengan cliffhanger, serial ini sukses dengan presentasi berkualitasnya untuk kita menanti season berikutnya.

Kelebihan “Arcane” adalah serial adaptasi ini diciptakan tak hanya untuk para gamers, namun untuk penggemar animasi secara umum. Mungkin penonton baru akhirnya malah tertarik untuk mulai main “League of Legends” karena melihat aksi keren dari setiap karakter dalam serialnya. Tak hanya ciptakan proyek artistik yang berkualitas sebagai seni, lagi-lagi Riot Games melakukan promosi cerdas untuk menggaet pemain baru.

Cyberpunk: Edgerunners

Netflix

Cyberpunk: Edgerunners – Meminjam World-Building sebagai Medium Cerita yang Baru

Sebelum dikembangkan menjadi video game oleh CD Projekt Red, “Cyberpunk” adalah permain tabletop role-playing berlatar di semesta dystopian science fiction ciptaan Mike Pondsmith. Sama dengan video game “Cyberpunk: Edgerunners”, secara teknis Netflix Original “Cyberpunk: Edgerunners” merupakan serial animasi yang terinspirasi oleh semesta ciptaan Pondsmith tersebut.

Serial adaptasi video game ini hanya “meminjam” world-building dalam game sebagai medium cerita baru yang lebih dramatis dan emosional. Meski pada akhirnya serial ini bisa dikategorikan sebagai proyek promosi update terbaru dalam game “Cyberpunk 2077”.

Jika dalam video game-nya pemain diberi kebebasan untuk menciptakan karakternya sendiri, begitu pula kebebasan tersebut diilhami oleh Bartosz Sztyber, Jan Bartkowicz, dan Lukasz Ludkowski sebagai penulis cerita, yang kemudian dikembangkan menjadi naskah oleh Masahiko Otsuka. Berlatar di Night City, cerita fokus pada David, yang setelah mengalami tragedi berakhir di jalanan. Bertemu dengan teman-teman baru dan memutuskan untuk menjadi edgerunner.

Tak lebih dari meminjam world-building, “Cyberpunk: Edgerunner” menjadi animasi yang berhasil menyentuh hati penontonnya karena setiap seniman yang terlibat dalam proyek kreatif ini mengerjakan segalanya dari nol. Terutama dalam menciptakan penokohan, desain karakter, cerita, hingga produksi animasi 2D-nya yang sangat menawan. Kemudian ditambah dengan musik latar dan soundtrack yang semakin menghidupkan arch David di Night City yang keras dan penuh kebrutalan. Namun, tetap ada sirat kemanusian dalam setiap manusia yang secara perlahan dilahap oleh cybernetic.

Tekken: Bloodline

Netflix

Tekken: Bloodline – Animasi Martial Arts Maksimal yang Didedikasikan untuk Gamers

“Tekken” merupakan video game bergenre fighting paling populer dan masih eksis hingga saat ini. Video game ini juga telah mencoba menyajikan berbagai film adaptasi, baik animasi maupun live-action. Mulai dari “Tekken: The Motion Picture” (1997), “Tekken” live-action Hollywood pada 2009, “Tekken: Blood Vengeance” (2011), hingga live-action Jepang “Tekken 2 Kazuya’s Revenge” (2014). Dari semua judul-judul tersebut, tidak ada yang cukup berhasil untuk menarik minat penonton umum maupun membanggakan penggemar video game-nya.

Ketika para penggemar berekspektasi “Tekken: Bloodline” akan kembali mengecewakan, serial adaptasi video game ini akhirnya memberikan apa yang selama ini diharapkan oleh para gamers; showcase pertarungan seni bela diri yang worth to watch.

“Tekken: Bloodline” menjadi sajian yang lebih memilih untuk berpihak pada penggemar video game-nya untuk alasan terbaik. Jujur saja lore “Tekken” tidak terlalu menarik, daya tarik utama fighting game ini memang pada desain karakter dan skill feature setiap karakter yang diadaptasi dari ilmu bela diri sesungguhnya.

Akhirnya, “Tekken” memiliki untuk tunduk pada naskah dan plot yang sederhana. Kemudian diakselerasi dengan aplikasi jurus hingga combo pada setiap adegan bertarung seperti dalam game-nya. Didukung dengan eksekusi animasi dan efek yang mengadaptasi gerakan dalam game. Kemudian didukung dengan musik latar dan sound effect agar lebih mantap.

The Last of Us – Proyeksi Video Game ke Media Serial yang Lebih Sinematik dan Emosional

“The Last of Us” menjadi serial adaptasi video game paling populer saat ini. Telah memasuki episode 6 pekan lalu, serial ini telah menunjukan kualitas konsisten sebagai serial HBO yang berkualitas dan bikin penonton tak sabar menanti episode terbaru setiap minggunya. Berbeda dengan adaptasi video game lainnya, serial ini mendapatkan antusiasme tinggi dari penonton umum maupun penggemar game-nya.

Pertama, HBO setidaknya memiliki pamor sebagai penghasil banyak serial-serial berkualitas, terutama dalam segi produksi. Kedua, keterlibatan Neil Druckmann sebagai penulis naskah dan sutradara (bersama Bruce Stanley). Neil Druckmann juga penulis cerita original dari game survival adventure yang dikembangkan oleh Naughty Dog ini.

The Last of Us (Episode 6) Review: Kin

Cr. HBO

Dengan sang ayah yang masih terlibat dalam produksi serial adaptasinya, “The Last of Us” menjadi suguhan yang setia pada materi sumbernya. Namun, yang membuat serial ini melampaui ekspektasi semua orang adalah bagaimana Druckmann menggunakan kesempatan ini untuk menyajikan lebih banyak cerita yang tidak bisa ia eksplorasi dalam video game-nya. Dimana game pastinya lebih fokus pada perspektif Joel dan Ellie sebagai dua karakter utama. Akhirnya menciptakan serial yang kaya cerita, mampu memikat segmentasi umum juga memberikan kejutan sekalipun pada gamers yang sudah tahu jalan ceritanya.

Sejak episode pertama hingga keenam, kita bisa melihat kisah-kisah emosional dari setiap karakter dalam “The Last of Us”. Ada kisah tentang kehilangan, pengorbanan, cinta, hingga harapan.

Baik video game dan serialnya, “The Last of Us” merupakan genre adventure survival yang lebih mengangkat unsur kemanusian. Berbeda dengan cerita survival lainnya yang lebih fokus pada kekacauan, adegan laga heroik, dan mengeksploitasi sosok monster yang menjadi satu-satunya sumber teror.

Itu tadi sederet formula yang menjadi kunci keberhasilan serial adaptasi video game. Ada yang setia dengan materi sumber, menargetkan segmentasi yang lebih luas, atau mengakselerasi materi yang sudah ada.

Tidak semudah adaptasi film/serial adaptasi buku atau komik, mengadaptasi video game adalah proyek adaptasi yang lebih kompleks dari kelihatannya. Hanya bisa berhasil atau gagal total.

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Bradley Cooper Bradley Cooper

10 Film Bradley Cooper Terbaik dan Terpopuler

Cultura Lists

Connect