Hollywood jarang benar-benar mengakui hutangnya pada sinema Asia. Tapi ketika Martin Scorsese membuat ‘The Departed’ (2006), ia bukan hanya mengadopsi premis cerita dari film Hong Kong ‘Infernal Affairs’ (2002), tapi juga membungkusnya dengan intensitas khas Amerika: penuh dentuman, paranoia, dan karakter yang lebih berisik.
Namun, di balik semua glamor piala Oscar dan bintang papan atas, sesungguhnya ini adalah duel dua budaya dalam satu kerangka naratif: bagaimana pengkhianatan, identitas, dan loyalitas diterjemahkan dari Timur ke Barat.
‘Infernal Affairs,’ disutradarai oleh Andrew Lau dan Alan Mak, menyajikan thriller psikologis yang tenang tapi tajam. Cerita tentang dua mata-mata—seorang polisi menyamar di dunia mafia (Tony Leung) dan seorang anak buah mafia yang disusupkan ke kepolisian (Andy Lau)—dibingkai dengan presisi minimalis. Tak ada ledakan besar, tak ada kekerasan brutal berlebihan. Yang ada adalah tensi sunyi dan pertarungan moral yang menyiksa.
Sebaliknya, ‘The Departed’ adalah letupan. Berlatar di Boston yang keras, film ini dibintangi Leonardo DiCaprio, Matt Damon, Jack Nicholson, dan Mark Wahlberg. Karakter-karakter ini saling mengintai, mengutuk, dan menghancurkan satu sama lain dalam spiral kekerasan yang nyaris nihil empati. Film ini memenangkan empat Oscar, termasuk Film Terbaik dan Sutradara Terbaik untuk Scorsese. Namun penghargaan itu juga menyorotkan sorotan ke sumber aslinya yang sering dilupakan: sinema Hong Kong yang menjadi rahim gagasan.

Infernal Affairs
Kedua film berbagi struktur naratif yang sama: dua penyusup di dua dunia yang saling berlawanan, masing-masing mencari siapa pengkhianat di dalam sistem mereka. Tapi dari sanalah perbedaan mulai tumbuh. Dalam ‘Infernal Affairs,’ konflik batin adalah pusatnya. Tony Leung digambarkan sebagai sosok yang lelah, hancur secara emosional karena terlalu lama hidup dalam kebohongan. Andy Lau juga tak kalah kusut: seorang penjahat yang mulai bercita-cita hidup jujur setelah bertahun-tahun menyamar sebagai polisi.
‘The Departed’ lebih menonjolkan aksi dan kekerasan sebagai ekspresi konflik. DiCaprio nyaris meledak dalam tiap adegan, seolah jantungnya tak pernah berhenti berdegup cepat. Damon, sang pengkhianat dalam wujud polisi, digambarkan sinis, ambisius, dan manipulatif. Jika ‘Infernal Affairs’ merenungkan sunyinya kesetiaan dan absurditas moral, maka ‘The Departed’ memilih menyajikannya sebagai teater maskulinitas dan kehancuran.
Namun yang menarik, perubahan konteks ini tidak menghilangkan nilai filosofis cerita. Keduanya tetap mempertanyakan: siapa kita sebenarnya ketika hidup kita adalah peran yang kita mainkan terlalu lama? Bagaimana batas antara kebenaran dan kepalsuan kabur ketika institusi hukum dan kejahatan sama-sama korup? Dan apakah seseorang masih bisa menebus masa lalu jika tak ada lagi ruang untuk kejujuran?
Jika ‘Infernal Affairs’ adalah cermin reflektif dari masyarakat urban Asia Timur pasca-kolonial yang sedang bernegosiasi dengan modernitas dan etika, maka ‘The Departed’ adalah potret keras tentang institusi Amerika yang digerogoti dari dalam: polisi yang korup, mafia yang membaur dengan pejabat, dan kekerasan yang dianggap sah demi ketertiban.
‘The Departed’ juga menambahkan satu hal yang tak ada dalam ‘Infernal Affairs’: nihilisme total. Di akhir cerita, hampir semua karakter utama mati. Tak ada penyelamatan moral. Bahkan sang pengkhianat tak mendapat kesempatan menebus dosa. Scorsese, dalam wawancara, mengakui bahwa ia memang ingin menggambarkan dunia tempat kebaikan tak selalu menang, tempat sistem begitu busuk hingga satu-satunya pilihan adalah bertahan atau binasa.
Sebaliknya, ‘Infernal Affairs’ (setidaknya dalam versi pertama) menyisakan ruang bagi pertobatan. Karakter Andy Lau tak dibunuh, ia tetap hidup dengan beban moral dan dosa masa lalu yang menghantuinya. Dalam budaya Timur, menyadari kesalahan dan memikul akibatnya dianggap bentuk tertinggi dari penebusan. Dalam budaya Barat, kadang dosa hanya bisa ditebus dengan darah.
Perbandingan ini bukan tentang mana yang lebih unggul, tapi bagaimana satu cerita yang sama bisa bermetamorfosis sesuai konteks budayanya. Seperti musik yang diaransemen ulang dalam genre berbeda, keduanya tetap menggugah, meski dengan warna emosi yang berbeda.

The Departed
Pada akhirnya, ‘Infernal Affairs’ dan ‘The Departed’ membuktikan bahwa cerita besar selalu lintas batas. Pengkhianatan, loyalitas, dan pencarian jati diri adalah tema universal. Tapi cara kita mengisahkannya—tenang atau brutal, penuh pertobatan atau penuh kehancuran—adalah cermin dari siapa kita sebagai masyarakat.
Mungkin itu sebabnya ‘Infernal Affairs’ tak perlu Oscar untuk menjadi legenda. Ia punya kesenyapan yang menghantui. ‘The Departed’ punya dentuman yang menggetarkan. Dua wajah dari satu cerita, dua budaya yang bertanya pada dirinya sendiri: siapa sebenarnya yang kita perjuangkan ketika kita bahkan tak yakin siapa diri kita?
