“Resident Evil” merupakan game bergenre survival horror populer yang telah diadaptasi menjadi banyak film live action maupun animasi. Kepopuleran game ini secara tidak langsung juga menjadi bagian dari populernya genre petualangan zombie dalam budaya pop.
Kembali menimbulkan hype setelah perilisan versi remake hingga series terbaru seperti “Resident Evil Village” pada 2021 lalu, “Resident Evil: Welcome to Raccoon City” menjadi suguhan live action terbaru dari sutradara Johannes Roberts.
Setelah meninggalkan Raccoon City selama bertahun-tahun, Claire Redfield (Kaya Scodelario) kembali untuk menemui kakaknya, Chris Redfield (Robbie Amell). Namun, reuni mereka harus diganggu dengan berita buruk yang Claire bawa, Ia merasa Umbrella Corporation memiliki rahasia besar yang siap untuk membinasakan kota yang Ia benci tersebut.
Adaptasi Naskah dan Semesta yang Mendekati Materi Sumbernya
Lepas dari kesuksesan ‘Resident Evil Series’ yang rilis pada tahun 2000-an awal tidak memanjakan penggemar fandom game ini dengan cerita yang sama dengan materi sumbernya.
Masih bernaung di bawah eksperimen terlarang oleh Umbrella Corporation, karakter baru, Alice yang diperankan oleh Milla Jovovich menjadi karakter baru yang asing dalam semesta ‘Resident Evil’ versi live action. Oleh karena itu, Johannes Roberts mengusahkan naskah adaptasi film yang kali ini lebih dekat dengan semesta game-nya. Dimana Claire Redfield menjadi protagonis, kemudian ada kemunculan karakter-karakter ikonik ‘Resident Evil’ lainnya. Mulai dari Chris Redfield, Jill Valentine, dan Leon S. Kennedy.
Alur cerita secara keseluruhan berlatar di Raccoon City dengan referensi dari ‘Resident Evil’ pertama dan kedua pada tahun 1998. Akan ada banyak lokasi dan adegan yang terasa familiar dari game, mulai dari Spencer Mansion hingga Kantor RCPD. Sayangnya, Claire seakan terlalu dipuja-puja sebagai karakter utama dalam film ini. Sementara Leon yang keren dalam game berubah menjadi polisi baru yang terlihat amatir dan tidak kompeten.
Kita juga mungkin tidak akan menyadari kehadiran Jill Valentine sebelum namanya disebut. Setiap karakter tidak diperkenalkan dengan layak dan penokohannya tidak cukup untuk memuaskan penggemar ‘Resident Evil’ sejati.
Alur Cerita Berantakan dengan Sekuen Aksi yang Tanggung
Tak hanya desain dan penokohan karakternya tidak sempurna, naskah secara keseluruhan juga tidak bisa dibilang memenuhi ekspektasi. Ada narasi dalam bentuk tulisan yang membuat visual film terlihat amatir, hingga catatan waktu yang pada akhirnya tidak terlalu berguna.
Meski berhasil menghadirkan beberapa elemen yang mengingatkan kita pada cerita original ‘Resident Evil’, keseluruhan plot masih berantakan dan tidak jelas objektifnya. Ada tiga sudut pandang terpisah yang disajikan sepanjang film; Claire dan Leon, Chris, serta Jill dan Albert Wesker. Tapi ketiga sudut pandang tidak memiliki objektif yang jelas, seperti hanya kelabakan dengan pecahnya wabah zombie di Raccoon City.
Mengklaim bahwa ‘Welcome to Raccoon City’ memiliki elemen horror, eksekusinya sendiri bukan horor yang berhasil menakuti penonton. Ada banyak trik horror klasik dengan jumpscare dan musik kencang yang sudah tidak mempan lagi di era 2020-an ini.
Produksi Film Level serta Naskah dengan Dialog dan Narasi
Salah satu ekspektasi besar dari sebuah film adaptasi game adalah pengalaman aksi yang lebih spektakuler dan nyata. Dimana hal tersebut merupakan tugas yang besar melihat game ‘Resident Evil 2 Remake’ telah menghadirkan visual yang immersive.
Sebagai film dengan budget yang tidak terlalu besar dalam standar Hollywood (25 juta dolar atau Rp 357 miliar), kita tidak bisa mengharapkan produksi yang memukau dari live action ‘Resident Evil’ ini.
Mulai dari kota mati yang terlihat terlalu sepi karena minim aktor, hingga makeup zombie yang terlihat amatir. Adapula beberapa penerapan CGI yang terlihat sekali murahnya. Kebanyakan sinematografi diambil dalam short angle daripada wide angle. Beberapa adegan bertengkar dieksekusi dalam ruangan yang gelap, penonton jadi tidak bisa melihat apa-apa.
Dialog yang disajikan juga sangat canggung dan tidak berkualitas, belum lagi umpatan yang berlebihan. Ada banyak kesempatan yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk memberikan narasi informatif, namun justru diselipkan dengan dialog yang tidak serius dan tidak berfaidah. Misalnya, ketika sudah jelas memang harus berlari, semua orang meneriakan peringatan sama yang mubazir. Hingga videotape yang seharusnya berisi informasi namun narasinya sangat amatir dengan line humor yang garing. Padahal ada banyak hal yang harus dijelaskan melalui dialog dalam film ini.
Pada akhirnya, “Resident Evil: Welcome to Raccoon City” akhirnya menjadi film yang menghargai materi sumbernya, namun eksekusi sangat jauh dari kata memukau. Tidak ada adegan aksi yang seru, ‘Resident Evil’ versi 2000-an setidaknya cukup unggul dalam segi aksi dan produksi film secara keseluruhan.