Quantcast
One-Size-Fits-All: Jebakan Bisnis dan Hidup - Cultura
Connect with us
Late Spring Movie
Photo by HONG SON

Current Issue

One-Size-Fits-All: Jebakan Bisnis dan Hidup

Jebakan “one-size-fits-all” mungkin terlihat sederhana, tapi dampaknya bisa sistemik.

Pada sebuah sore di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, seorang pemilik kafe berbagi keluh kesahnya. Setelah mengikuti berbagai seminar kewirausahaan dan meniru konsep bisnis yang sedang viral di media sosial—interior minimalis, menu fusion, harga premium—ia justru menelan pil pahit: usahanya sepi. “Katanya, ini tren. Tapi kenyataannya, pelanggan saya nggak cocok,” ujarnya, enggan disebutkan namanya.

Fenomena ini bukan hal baru. Dalam dunia bisnis dan kehidupan pribadi, banyak orang tergoda pada satu formula ajaib yang diklaim bisa berhasil untuk semua orang. Pendekatan “one-size-fits-all”—yang mengandaikan satu model dapat diadopsi siapa pun di kondisi apa pun—seringkali menjebak mereka ke dalam ruang kegagalan yang sunyi. Tak hanya menyangkut urusan bisnis, jebakan ini menyusup ke berbagai lini kehidupan: karier, pendidikan, gaya hidup, bahkan relasi.

Template yang Menyesatkan

Di dunia bisnis, jebakan one-size-fits-all kerap bermula dari ketergantungan pada template. Template model bisnis, template pitch deck, hingga template konten media sosial. “Masalahnya, banyak pelaku usaha pemula melihat template sebagai formula final, bukan alat bantu,” ujar Dita Amalia, konsultan UMKM dan dosen kewirausahaan di salah satu universitas swasta di Jakarta. Menurutnya, banyak yang lupa bahwa konteks bisnis sangat lokal, sangat personal. “Yang berhasil di Bali belum tentu cocok di Bekasi.”

Contoh klasik bisa dilihat dari menjamurnya kedai kopi dengan gaya industrial dan menu kopi susu kekinian. Hampir semua tampak serupa. Namun banyak yang tak bertahan lama. “Mereka copy-paste dari model yang viral, tapi lupa membangun relasi dengan pelanggan lokal,” lanjut Dita.

Hal serupa terjadi dalam manajemen organisasi. Banyak pemimpin perusahaan tergoda mengadopsi metode manajemen populer seperti Agile, Design Thinking, atau OKR tanpa memahami konteks kultural dan kesiapan tim. Hasilnya? Bukannya produktif, justru menciptakan kebingungan struktural. “Ini seperti mengenakan jas Armani di tengah pasar tradisional. Keren, tapi tidak kontekstual,” kata Reza Nugraha, praktisi transformasi organisasi.

Ilusi Keseragaman dalam Hidup

Jebakan one-size-fits-all juga hadir dalam urusan hidup. Dunia pendidikan misalnya, masih sering menetapkan tolok ukur kesuksesan berdasarkan nilai akademis, universitas ternama, dan karier profesional bergaji besar. Narasi ini tertanam sejak usia dini. Tak heran bila banyak orang dewasa merasa terjebak dalam kehidupan yang tak mereka pilih.

“Selama dua tahun saya jadi pegawai bank hanya karena itu dianggap pekerjaan mapan. Tapi saya stres, kehilangan semangat hidup,” kata Alifia, kini 31 tahun, yang memutuskan beralih profesi menjadi terapis anak. Butuh keberanian, katanya, untuk lepas dari skenario hidup versi orang lain.

Kondisi ini diperparah dengan budaya media sosial yang mengangkat standar kesuksesan seragam: rumah estetik, pasangan ideal, traveling ke luar negeri, dan gaji dua digit. Semua seolah diwajibkan, padahal kenyataan hidup begitu kompleks. “Kalau semua orang berlomba menjadi orang lain, lalu siapa yang menjadi dirinya sendiri?” tulis psikolog klinis Tara Amelz dalam unggahan Instagram-nya yang viral tahun lalu.

Mengapa Kita Mudah Tertipu?

Psikologi di balik jebakan ini bersifat kolektif dan personal. Kita hidup di era ketidakpastian. Ketika hidup tak menentu, manusia cenderung mencari kepastian. Formula sukses dari orang lain—apalagi yang viral—menawarkan harapan instan.

“Satu model untuk semua terasa nyaman, karena kita tak perlu berpikir keras. Tinggal ikuti,” ujar Indra Wahyudi, pengajar ilmu perilaku konsumen di Surabaya. Tapi, kata dia, justru di situlah letak bahayanya. “Kita kehilangan kemampuan untuk mendengar konteks, baik dalam bisnis maupun dalam hidup.”

Model yang sama juga diadopsi oleh banyak biro iklan atau agensi digital, yang menjual paket-paket promosi “serba cocok” tanpa riset pasar yang mendalam. “Ujungnya klien kecewa, karena hasilnya tak sesuai ekspektasi,” ujar Angga, pendiri agensi kreatif di Bandung.

Menuju Kesesuaian, Bukan Keseragaman

Lalu, bagaimana keluar dari jerat ini? Pertama-tama, sadari bahwa one-size-fits-all bukan solusi, tapi ilusi. Yang dibutuhkan bukan keseragaman, tapi kesesuaian—antara potensi pribadi dan pilihan jalan hidup, antara karakter pasar dan model bisnis. Satu ukuran tidak pernah benar-benar cocok untuk semua orang. Bahkan dalam dunia fesyen, ukuran “all size” tetap tak bisa dikenakan oleh semua tubuh.

Kedua, mulai dari konteks. Dalam membangun bisnis, misalnya, penting memahami siapa pelanggan Anda, bagaimana kebiasaan mereka, apa nilai yang mereka cari. Dalam hidup, mulai dari pertanyaan sederhana: Apa yang saya butuhkan, bukan apa yang orang lain inginkan dari saya?

Ketiga, jangan takut bereksperimen. Gagal itu bagian dari proses menemukan ukuran yang paling pas. Dunia yang terlalu cepat berubah ini tidak butuh orang yang seragam, tapi orang yang lentur—adaptive, bukan hanya adoptive.

Penutup: Merayakan Keberagaman Pilihan

Di akhir hari, hidup bukan tentang menemukan satu jawaban untuk semua pertanyaan, melainkan menemukan jawaban yang paling sesuai dengan diri kita. Bisnis pun demikian. Yang sukses bukan yang meniru model yang viral, tapi yang mampu membaca kebutuhan pasar secara jujur dan menawarkannya dengan tulus.

Jebakan “one-size-fits-all” mungkin terlihat sederhana, tapi dampaknya bisa sistemik: membunuh kreativitas, menekan identitas, hingga menyesatkan arah hidup.
Maka, jika Anda tengah tergoda untuk mengikuti “jalan yang sudah terbukti”, mungkin kini saatnya berhenti sejenak dan bertanya: “Apakah ini cocok untuk saya?”

Level Up: How Esports and Video Games Shape Culture, Commerce, and Community Level Up: How Esports and Video Games Shape Culture, Commerce, and Community

Level Up: How Esports and Video Games Shape Culture, Commerce, and Community

Current Issue

Risiko, Spekulasi, dan Budaya Populer di Indonesia

Lifestyle

Permainan Kata di Balik Hari-Hari Kerja

Culture

Temukan Hobi Baru untuk Melepas Lelah Setelah Hari yang Sibuk

Lifestyle

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect