Connect with us

Entertainment

Plus & Minus MCU Phase 4

Apakah Phase 4 adalah fase terburuk dalam sejarah MCU?

“Black Panther: Wakanda Forever” akhirnya rilis dan sedang trending pekan ini. Dengan begini, Marvel Cinematic Universe Phase 4 telah berakhir. Marvel Studios menyajikan Phase 4 dengan cara yang berbeda dari fase-fase sebelumnya.

Kesuksesan MCU Phase 3 telah menciptakan ekspektasi tinggi pada penggemar Marvel secara umum. Semakin ambius dan berusaha memanjakan penggemar dengan banyak konten, mungkin pada titik ini Marvel Studios tampaknya berusaha terlalu keras dan telah membuat kita semua kelelahan.

MCU Phase 4 disebut-sebut sebagai fase terburuk dalam sejarah MCU. Dilansir dari Screen Rant, Kevin Feige menyatakan bahwa Ia setuju dengan kritik akan MCU Phase 4 yang berantakan. Sementara CBR menyebutkan bahwa Phase 4 mengecewakan. Bagi kita penggemar MCU yang berkutat di klub atau forum khusus pembahasan MCU, pasti juga menemukan komentar-komentar negatif.

Meski masih banyak juga yang menikmati sajikan MCU Phase 4 dengan suka cita. Lantas, apa benar Phase 4 adalah fase terburuk dalam sejarah MCU?

Banyak superhero baru, namun tidak dipromosikan secara maksimal

Phase 4 menghadirkan cukup banyak superhero terbaru melalui film dan serial. Mulai dari “Eternals”, serial “Hawkeye” sebagai umpan untuk memperkenalkan Kate Bishop, Shang-Chi, “Moon Knight”, “Ms. Marvel”, hingga “She-Hulk”.

Avengers: Endgame

Mungkin banyak dari penggemar MCU masih mengalami syndrome penolakan akan hal baru. Avengers merupakan unit superhero dengan formasi paling sempurna dalam sejarah MCU. Post Endgame sudah seperti situasi pasca perang dalam semesta Marvel. Kebanyakan karakter Avengers kini sudah pensiun, baik dengan akhir yang tragis maupun bahagia.

Namun, Marvel Studios belum berhenti dan membutuhkan lineup superhero baru. Meski masih melanjutkan project turunan dari fase sebelumnya, kita juga mulai diperkenalkan dengan karakter-karakter baru. Sayang saja, format produksi konten MCU fase ini menjadi format yang overwhelming dan tidak memberikan perlakukan spesial pada setiap superheronya.

Contohnya saja “Loki” Finale pada 14 Juli 2021, satu pekan dengan perilisan “Black Widow” pada 9 Juli 2021. Kemudian tahun ini, “Doctor Strange into the Multiverse of Madness” pada 6 Mei, berdekatan dengan “Moon Knight” Finale pada 4 Mei.

Ketika Marvel berpikir bahwa semakin banyak konten, maka semakin baik, model perilisan ini justru berakhir memberikan dampak yang tidak solid pada setiap judul yang mereka rilis secara bertubi-tubi. Setiap konten di bawah naungan yang sama seakan berlomba untuk mendapatkan perhatian penonton. Ada yang berhasil, namun tak sedikit yang berakhir diremehkan lepas dari kualitas konten yang sebetulnya masih menghibur. Fenomena ini semoga saja menyadarkan Marvel Studios bahwa pada akhirnya kualitas lebih unggul dari pada kuantitas.

Tidak merangkai koneksi, hanya menyajikan cameo sebagai fan service

The Avengers memiliki kunci sukses lebih dari sekadar komoditi mainstream seperti lagu pop yang sudah pasti diterima penggemarnya. MCU Phase 3 merupakan fase terbaik dan berkesan karena koneksi yang diciptakan dari setiap proyek film. Lengkap dengan perkenalan karakter, berlanjut pada interaksi yang menjadi awal dari pembentukan super tim, The Avengers. Cross over yang terjadi memiliki makna dan kesinambungan yang memengaruhi cerita pada core-nya.

Howard Stark muncul dalam arch-story Captain America, kemudian di masa depan Tony Stark, anak Howard, tergabung dalam Avengers bersama Steve Rogers. Bagaimana setiap film disatukan dengan Infinity Stones menuju event Infinity War dan Endgame. Memang klise dan sederhana, namun fokus dan menyajikan hiburan dengan eksekusi rapi serta klimaks yang berkesan dalam skala besar.

MCU Phase 4 tidak menghadirkan koneksi yang serupa. Kita mungkin melihat Wong selalu muncul di setiap film dan serial. Sudah seperti menggantikan cameo mendiang Stan Lee saja. Kemudian Daredevil dalam “She-Hulk” hingga Captain Marvel dalam “Ms. Marvel”. Sama seperti Stan Lee, mereka semua hanya tampil sebagai cameo.

Menimbulkan ‘wow’ moment untuk beberapa saat saja, namun tidak membangun esensi yang mempengaruhi cerita pada core-nya. Berakhir sebagai fans service bagi penggemar Marvel.

Cinema vs. Konten

“WandaVision” menjadi serial pembuka Phase 4 yang menimbulkan optimisme pada penggemar. Begitu pula dengan “Loki” sebagai serial tersukses MCU yang akan segera mendapatkan season keduanya.

Loki

MCU mulai melebarkan sayap ke platform streaming yang memang semakin populer pada era 2020-an. Semua film franchise besar kini mulai merambat ke skena serial. Lihat saja ‘The Lord of the Rings’ dan ‘Star Wars’. Dengan begini, MCU sudah tidak lagi menjadi bagian dari cinema saja, namun sudah merambat sebagai konten massal. Namun seiring berjalannya waktu, kita mulai merasa bahwa kebanjiran konten hanya bikin lelah.

Pada Oktober 2019, sutradara Martin Scorsese membuat pernyataan kontroversial dengan menyebut; film Marvel bukan cinema, dalam wawancara dengan Empire. Ia menyamakan MCU dengan taman hiburan, yang kemudian menciptakan julukan film Marvel sebagai theme park movie. Mengingat kata-kata dari Scorsese, mungkin MCU sekarang memang patut disebut sebagai theme park, dipenuhi oleh banyak konten bagaikan wahana yang memberikan genre dan cita rasa yang berbeda.

“WandaVision” dengan eksekusi ala sitkom, breaking the fourth wall, serta skenario hero to villain. Kemudian ada serial paling depresif dalam MCU, “Moon Knight”. Sementara “Ms. Marvel” kental dengan vibe ala Gen Z serta representasi kaum minoritas. Kemudian ada “Thor: Love and Thunder” yang terlalu banyak komedi dan ‘Wakanda Forever’ yang serius dan menjadi ajang berkabung. Dan masih banyak lagi, setiap judul dalam MCU Phase 4 memiliki pola dan vibes yang berbeda satu sama lain.

Bagaimana cara menikmati MCU Phase sebagai asupan hiburan?

Apakah Phase 4 sudah tidak tertolong dan benar-benar era penuh dengan ‘sampah’ yang tak layak untuk dinikmati? Kuncinya ada pada perspektif yang kita terapkan dalam menghadapi fase ini.

Pertama, kita harus bisa move on dari MCU Phase 3. Koneksi dan kesinambungan yang kohesif pada Phase 3 secara tidak langsung menciptakan tradisi bagi penggemar Marvel; mengikuti semua film Marvel untuk bisa menikmati babak puncak. Jika kita menerapkan hal tersebut pada Phase 4, dijamin yang ada bikin capek.

Kedua, dengan dasar poin pertama, jangan merasa terikat dengan semua konten yang disajikan oleh MCU Phase 4. Seperti ada kewajiban untuk menonton semuanya untuk memahami fase secara keseluruhan. Hingga titik ini, kita bisa melihat bagaimana beberapa judul memiliki konfliknya masing-masing, dengan villain yang tidak saling berkaitan. Tinggalkan rasa kewajiban untuk menelan semua judul yang sedang trending. Jika tidak tertarik dengan “Thor: Love and Thunder” dan “She-Hulk”, maka tak perlu ditonton. Jika menyukai “Moon Knight” jangan memiliki ekspektasi yang sama untuk “Ms. Marvel”.

Ketiga, nikmati setiap judul yang menarik perhatian kita sebagai judul solo. Tidak perlu berpikir terlalu keras dan mempertanyakan kemana semuanya akan membentuk koneksi seperti pada Phase 3.

Bersama-sama, semua film dan serial dalam MCU Phase 4 mungkin terlihat berantakan. Padahal kalau dinikmati sebagai judul solo, setiap project masih menampilkan kualitas yang bisa diterima. Menyenangkan sekaligus melelahkan, itulah kesimpulan paling tepat untuk mendefinisikan MCU Phase 4.

A Town Without Seasons Review: Suka Duka Warga Hunian Sementara yang Eksentrik

TV

Hazbin Hotel Hazbin Hotel

Hazbin Hotel Review: Balada Hotel di Neraka

TV

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Connect