Setelah kita melihat kelakuan The Green Council pada episode 9, “House of the Dragon” finale menjadi penutup dari perspektif Rhaenyra, The Black Queen.
Tanpa basa-basi, episode pekan ini dibuka dengan kedatangan Rhaenys Targaryen di Dragonstone. Ia menyampaikan kabar duka atas meninggalnya sang ayah, Raja Viserys. Diikuti dengan penobatan Aegon II Targaryen sebagai raja yang kini duduk di atas Iron Throne.
Kembali menunjukan sikap yang bijak dan kebesaran hati, Rhaenyra masih tidak berniat untuk memulai perang. Kemudian mengumpulkan penasehat dan abdi-abdinya untuk memutuskan tindakan rasional yang harus dilakukan selanjutnya.
Cepat atau lambat, kita tau Dance of the Dragons akan pecah, kita tahu bahwa Rhaenyra akan memilih jalur kekerasan. “House of the Dragon” finale menjadi alasan kuat dari The Black Queen untuk balik bertindak jika kesabarannya telah habis.
Sekuen Tragedi dan Kebesaran Hati Rhaenyra dalam Mengusahakan Perdamaian
(Spoiler Alert!) Meninggalnya Raja Viserys menjadi kabar buruk pertama yang didengar oleh Rhaenyra, diikuti dengan Aegon yang naik tahta, dan ancaman kubu hijau yang kini berniat menghabisi Rhaenyra dan anak-anaknya. Karena mereka dianggap mengancam keberlanjutan Aegon dan penerusnya kelak sebagai raja yang kini mewarisi Iron Throne. Emma D’Arcy telah memberikan yang menarik dalam membentuk penokohan Rhaenyra dewasa. Meski kita sempat butuh waktu untuk beradaptasi dengan Rhaenyra yang lebih tenang dan berkepala dingin setelah lompatan waktu 10 tahun.
Kita bisa melihat bagaimana Rhaenyra seiring bertambahnya usia melanjutkan prinsip ayahnya, Viserys, untuk mengusahakan perdamaian sebelum mengambil jalan pintas dengan kekerasan. Bahkan setelah mendengar kabar buruk dari Rhaenys, yang reaksi yang ditunjukan oleh Rhaenyra bukan kemarahan dan ambisi untuk merebut kembali apa yang menjadi milikinya. Kita justru melihat raut muka yang sedih dan kecewa dari putri Viserys ini.
Sementara Daemon Targaryen memberikan reaksi yang sesuai ekspektasi. Langsung berpikir untuk melawan balik dan memulai perang. Keberadaan Rhaenyra dan Daemon dalam situasi menjadi pembanding yang kontras dan sempurna. Bagaimana Rhaenyra tidak bertindak gegabah dan membiarkan emosi menguasainya.
Tak hanya kehilangan ayahnya dan klaim atas Iron Throne-nya, Rhaenyra juga langsung melakukan persalinan setelahnya. Dimana bayi terlahir dalam keadaan tidak bernyawa. Dengan begini cukup banyak adegan melahirkan yang traumatis dalam HOTD season pertama. Bahkan setelah berbagai sekuen tragedi tersebut, Rhaenyra masih bisa menegakan kepala sebagai The Black Queen, ketika Erryk Cargyll tiba di Dragonstone untuk memberikan mahkota klan Targaryen padanya.
Nasib Tragis Lucerys Velaryon jadi Penyulut Api Perang yang Sesungguhnya
Pada episode ‘The Lord of the Tides’, kita berpikir penyulut perang adalah ketika Alicent salah paham tentang kalimat terakhir Viserys sebelum meninggal. Ternyata, fakta bahwa kini Aegon sudah mengklaim Iron Throne di depan ribuan mata rakyat King’s Landing, tidak cukup untuk menyulut api dari dalam diri Rhaenyra.
Jika episode ‘The Green Council’ memberikan segalanya untuk kita membenci kubu hijau, “House of the Dragon” finale membuat kita paham alasan solid bagi Rhaenyra, akhirnya kehilangan kesabaran dan tunduk pada jalan kekerasan. Atau setidaknya itu masih menjadi asumsi kebanyakan penonton setelah melihat ekspresi Rhaenyra di frame terakhir.
Pertarungan, atau lebih tepatnya momen kejar-kejaran antara Lucerys dengan naganya Arrax, serta Aemond dengan Vhagar, bisa kita jadikan standar ekspektasi akan peristiwa ‘Dance of the Dragons’. Karena sejauh ini, bahkan semenjak serial original, “Game of Thrones”, kita belum pernah melihat adegan pertarungan naga melawan naga.
“House of the Dragon” finale telah memasang standar yang cukup tinggi untuk kedepannya. Sinematografi dan pemilihan angle dalam adegan tersebut berhasil memberikan kesan yang mengugah, terpesona, sekaligus ketegangan dan kecemasan pada penonton. Ada keindahan dan teror dalam satu sesi yang meninggalkan kesan.
Setelah kehilangan demi kehilangan, Rhaenyra sebagai tampaknya sudah kehabisan belas kasih setelah mendengar nasib anaknya Lucerys yang tragis. Kita juga bisa melihat selama ini bagaimana Lucerys lebih manja pada ibunya, jika dibandingkan dengan Jacaerys Velaryon, yang lebih dewasa dan stabil. Alasan ini juga membuat penokohan Rhaenyra tetap bisa diterima sekalipun berubah menjadi ratu naga yang akhirnya memilih untuk berperang.
Bahwa Ia seorang ratu yang mengusahakan perdamaian hingga akhir, hingga anaknya menjadi korban pertama, akan perang yang sangat diusahakan untuk tidak sampai terjadi. Mengusahakan masa depan anak-anak yang damai adalah salah satu motivasi Rhaenyra. Jika kini satu anaknya meninggal dalam pertarungan, insting ibunya ‘lah yang mengambil alih, dikuasai dengan emosi yang murni. Berbeda dengan pihak-pihak lain yang emosinya lebih impulsif dan hanya haus perang.
Iron Throne Lebih dari Sekadar Tahta yang Diklaim untuk Kekuatan dan Kekuasaan
Dari perspektif kubu hijau, mengklaim Iron Throne terlihat seperti strategi licik dari pihak-pihak yang haus kekuasaan dan kekuatan. Otto Hightower ingin mengubah nasib dari garis keturunannya. Alicent Hightower ingin pengorbanannya diberi upah setimpal dengan putranya dinobatkan sebagai raja. Sementara Aegon, kita bisa lihat bahwa Ia hanya menikmati sanjungan dan dieluh-eluhkan oleh massa. Kita telah mengetahui kualitas Aegon yang sesungguhnya pada episode sebelumnya, bukan?
Sementara dari perspektif Rhaenyra, ada banyak tanggung jawab, visi, dan misi yang harus diemban sebagai penguasa Westeros. Kembali ke episode pilot, kita sebetulnya tak perlu meragukan lagi keberpihakan Viserys pada Rhaenyra sebagai pewarisnya. Ia telah mengungkapkan rahasia yang hanya diketahui oleh raja-raja dari setiap generasi Targaryen. Bagaimana citra mereka sebagai pengendali naga adalah ilusi.
Ada banyak detail-detail kecil yang sebelumnya tidak kita perhitungkan dan kini semuanya terjawab. Mengapa Iron Throne adalah tanggung jawab yang besar, diwariskan ke generasi demi generasi. Bayangkan Aegon mau jadi raja seperti apa jika tidak mengetahui semua informasi ini, karena Viserys memang tidak pernah merestui putra pertamanya tersebut sebagai penerus.
House of the Dragon Season Perdana jadi Prekuel Dance of the Dragons
Secara keseluruhan, “House of the Dragon” finale menjadi episode penutup yang memberi garis bawah akan apa yang dibutuhkan untuk duduk di Iron Throne. Sosok pemimpin seperti apa yang seharusnya didukung untuk menjadi penguasa Westeros. Bukan hanya tentang menguasai, namun juga menjaga perdamaian karena hal tersebut adalah esensi dari keberadaan mereka. Bahkan sejak Aegon The Conqueror. Ia tidak hanya menaklukan bangsa, namun juga mempersatukan klan-klan besar.
Karena saat tiba waktunya, mereka harus bersatu melawan ancaman yang lebih besar. “House of the Dragon” season perdana ini telah menjadi prekuel dari peristiwa ‘Dance of the Dragons’ yang cukup solid. Memperlihatkan latar belakang masing-masing karakter. Kemudian peran dan latar belakang mereka sebelum peristiwa tersebut terjadi. Setiap karakter punya alasan yang kuat, meski harus terbentuk dari tragedi dan kesalahpahaman.
Review Lengkap House of the Dragon Season 1
House of the Dragon (Episode Pilot) Review: The Heirs of the Dragon
House of the Dragon (Episode 2) Review: The Rogue Prince
House of the Dragon (Episode 3) Review: Second of His Name
House of the Dragon (Episode 4) Review: King of the Narrow Sea
House of the Dragon (Episode 5) Review: We Light the Way
House of the Dragon (Episode 6) Review: The Princess and the Queen
House of the Dragon (Episode 7) Review: Driftmark
House of the Dragon (Episode 8) Review: The Lord of the Tides