Connect with us
film bergenre meta
Scream VI (Paramount Pictures)

Cultura Lists

Rekomendasi Film & Serial dengan Genre Meta

Sederet film dan serial yang ‘sadar’ bahwa mereka adalah karya fiksi.

Genre meta pada film atau serial adalah karya fiksi yang ‘self-aware’ pada statusnya sebagai karya fiksi. Film atau serial meta memiliki kebebasan untuk switch antara fiksi dan realita. Genre meta juga menjadi sebutan bagi film yang mengangkat cerita proses produksi. Seperti mockumentary hingga aplikasi breaking the fourth wall pada narasinya.

Menonton film dan serial dengan genre meta sempat menjadi pengalaman baru bagi penikmat budaya pop. Terutama memasuki era modern ketika para filmmaker mulai berani dan bebas menerobos pakem. Namun, pada titik ini beberapa sajian genre mungkin sudah mulai membosankan. Karena genre ini akhirnya hanya menjadi media fan service, nostalgia, hingga parodi. Lantas apa saja film dan serial yang termasuk dalam genre meta? Berikut rekomendasinya!

Scream Series

Masih ada yang jadi penonton setia “Scream” franchise? “Scream VI” akan segera tayang di bioskop Maret mendatang. Ketika “Scream” pertama kali rilis pada 1996, genre slasher horror sudah menjamur di Hollywood. Selain sosok Ghostface yang ikonik, “Scream” juga menjadi film pertama yang membongkar trik repetitif yang sering diaplikasikan dalam film slasher

Salah satu karakter tampil sebagai karakter dengan self-awareness kalau mereka adalah karakter dalam film slasher. Ia juga menyebutkan ada aturan main dalam film slasher, seperti ‘karakter yang tidak perawan pasti mati duluan’.

Ada juga beberapa dialog ikonik dalam “Scream” seperti; ‘Tidak dalam filmku’, hingga ketika karakter menyebutkan bahwa polisi jelas sekali kurang banyak nonton film horor. Oleh karena itu mereka seakan selalu kelewatan dengan momen-momen genting dalam “Scream”.

The Matrix Resurrections (2021)

“The Matrix” merupakan film fiksi ilmiah rilisan 1999 yang ikonik. Premis yang membuat kita mempertanyakan ilusi dan realita menjadi suguhan yang original kala itu. Teori bahwa bisa jadi umat manusia hidup dalam ‘matrix’, sudah cukup meta dari perspektif penonton. Namun “‘The Matrix Resurrections” menjadi puncak meta dari franchise ini.

Rilis pada 2021 lalu, film terbaru dalam franchise ini menjadi satir untuk filmnya sendiri. Ini mengapa kerap muncul istilah meta-humor, yaitu materi humor yang ditujukan untuk merendahkan atau menertawakan film itu sendiri. Secara garis beras, pada titik ini kita telah mendapatkan banyak sekuel dari “The Matrix”.

‘Resurrections’ menjadi sekuel terbaru yang menertawakan konsep sekuel secara umum. Bagaimana kreator punya kebiasaan me-reboot atau membuat remake dari materi originalnya. Hingga mengeksploitasi kepopuleran film dimana profit menjadi prioritas dengan semakin banyak sekuel yang diciptakan.

The Cabin in the Wood (2011)

Siapa yang benar-benar berminat untuk menyewa kabin di hutan yang terisolasi dan tampak mengerikan untuk liburan? Di sini awal dari banyak skenario horor kerap terjadi. “The Cabin in the Wood” merupakan film genre meta horror dari template horor kelas B.

Premis sekelompok anak muda yang berlibur di lokasi terpencil sudah sering kita temukan dalam genre horor, bukan? Cukup serupa dengan “Scream”, “The Cabin in the Wood” juga hendak membongkar pola, trik, dan aturan main dalam  film horor demikian. Contohnya seperti “The Evil Dead” (1981), “Cabin Fever” (2002), dan film-film dengan premis serupa lainnya.

See How They Run (2022)

“See How They Run” menjadi film terbaru dari sutradara Tom George. Film yang naskah ditulis oleh Mark Chappell ini terlihat seperti fan fiction tentang “The Mousetrap” oleh Agatha Christie yang diangkat menjadi pertunjukan panggung. Diceritakan seorang sutradara hendak mengangkat “The Mousetrap” ke layar lebar. Sebelum project-nya terwujud, ia dibunuh oleh sosok misterius yang akhirnya memburu setiap orang yang terlibat dalam eksploitasi “The Mousetrap”.

Film ini juga mengandung meta-humor yang membongkar trik dari film misteri kriminal dengan detektif sebagai protagonis yang melakukan investigasi. Secara subtle juga mengkritisi eksploitasi tragedi nyata sebagai inspirasi dari pertunjukan dan film-film yang menjadi hiburan tanpa empati.

The School for Good and Evil (2022)

“The School for Good and Evil” sudah memiliki konsep meta dari materi sumbernya, yaitu novelnya yang ditulis oleh Soman Chainani. Film adaptasi novel ini memiliki genre fantasi, bercerita tentang sekolah yang mendidik murid-muridnya untuk menjadi pahlawan dan villain dalam cerita dongeng, menjaga kesimbangan antara baik dan jahat.

“The School for Good and Evil” dikategorikan sebagai genre meta kita naskahnya secara konsisten mematahkan berbagai peraturan dalam kisah dongeng pada umumnya.

Bahwa karakter jahat harus selalu tampil buruk rupa, seakan tak memiliki harga diri. Sementara karakter pahlawan mendapatkan semua perhatian dengan target-target klise mereka; menemukan cinta sejati, menyelamatkan putri yang lemah. Ada banyak kontradiksi yang bisa kita temukan di balik layar negeri dongeng dalam film ini.

Deadpool (2016)

“Deadpool” menjadi film MCU yang terpisah dari franchise utama yang berpusat pada ‘Avengers’ dalam fasenya. Dibintangi oleh Ryan Reynolds, ia menjadi protagonis sekaligus narator untuk kisahnya sendiri. Ia mengklaim bahwa filmnya bukan film superhero, melainkan film bergenre romansa. Tentang seorang pria yang hendak mencari kesembuhan dari kanker yang diidap, agar bisa hidup lebih lama dengan kekasihnya.

“Deadpool” menggunakan model narasi breaking the fourth wall, dimana memfasilitasi Wade Wilson alias Deadpool untuk bisa switch antara menjadi karakter dalam film sekaligus berinteraksi dengan penonton sesekali.

Enchanted (2007)

Cukup serupa dengan “The School for Good and Evil”, “Enchanted” lebih dulu membawa genre meta ke layar lebar untuk mengkritisi cerita dongeng tentang putri baik hati yang klise. Dibintangi oleh Amy Adams sebagai Giselle, ia adalah putri dari Andalasia yang tersesat di negeri manusia, tepatnya di New York. Aturan dalam dunia dongeng ternyata tidak berlaku di dunia nyata. Dimana cinta sejati bukan hal yang instan, namun harus dibangun dan diperjuangkan secara bertahap.

“Enchanted” merupakan film fantasi meta dengan elemen musikal terbaik. Meski “Disenchanted” yang terbaru masih mengusung konsep meta, sayangnya film sekuel tersebut kurang berkesan dengan film pertamanya.

What We Do in the Shadows (2014)

Film bertema vampir sudah menjadi bagian dari budaya populer yang fenomenal. Sosok vampir dalam film-film selalu direpresentasikan sebagai karakter yang berkharisma. Mulai dari sosok pemimpin, baron kaya yang tinggal di kastil mewah, hingga sosok idaman wanita yang menawan dan romantis. “What We Do in the Shadows” merupakan film mockumentary yang membongkar realita dari para vampir.

Vladislav, Viago, dan Deacon, adalah tiga vampir yang tinggal di properti kecil di New Zealand. Film ini hendak memberikan pencerahan bahwa vampir tidak selalu keren seperti yang kita lihat dalam film. Mereka juga punya giliran mencuci piring dan terlihat kuno ketika berusaha membaur dengan peradaban modern.

Me and Earl and the Dying Girl (2015)

Film drama remaja ini memiliki elemen meta ketika Greg sebagai protagonis terus mengingatkan penonton, bahwa ia dan Rachel bukan sepasang kekasih di film romantis. Ceritanya Greg memiliki hobi membuat film bersama dengan Earl. Mereka melakukan banyak parodi low budget dari film-film populer. Ketika dipaksa untuk berteman dengan Rachel yang sekarat, Greg pun ingin membuat film untuk sahabat barunya tersebut.

Sepanjang plot, kita akan melihat bagaimana Greg juga memproduksi film untuk Rachel. Greg menaati peraturannya sendiri bahwa ia tidak memiliki hubungan romantis dengan Rachel  seperti film-film remaja pada umumnya, hingga akhir dari film ini.

Drama Ratu Drama (2022)

“Drama Ratu Drama” adalah serial komedi yang masih segar diingatan. Serial ini tayang di Vidio dan sudah bisa di-binge episode lengkapnya. Bercerita tentang Julieta alias Ijul, aktris sinetron yang selalu dapat peran antagonis jahat. Padahal di kehidupan nyata, ia adalah aktris yang rendah hati dan sangat ramah.

Serial ini mengangkat banyak realita di balik layar tentang dunia produksi sinetron yang kerap kita pandang sebelah mata. Mulai dari nasib para crew yang tidak sebanding dengan kesuksesan sinetronnya, hingga stigma yang dialami oleh para pemain sinetron. “Drama Ratu Drama” juga diselipkan parodi sinetron yang memberikan sentuhan humor lucu.

Extraordinary You (2019)

“Extraordinary You” menjadi serial genre meta dari skena k-drama, nih. Ketika menyadari bahwa dirinya adalah karakter dalam komik romantis, Dan-oh berpikir dirinya adalah pemeran utama perempuan yang sedang sekarat dan diperebutkan. Ketika tahu bahwa dirinya hanya pemeran pembantu, Dan-oh pun memutuskan untuk menentukan ceritanya sendiri dengan bantuan karakter figuran, Ha-ru.

K-drama ini diangkat dari komik Webtoon yang dari materi sumbernya telah mengangkat konsep meta. Dengan karakter-karakter generik seperti pemeran utama yang baik hati namun tertindas, laki-laki pemeran utama yang kaya, hingga laki-laki baik yang selalu berakhir sebagai sahabat saja. Diselipkan pula parodi yang merendahkan format k-drama romantis yang umum sebagai humor. Bagaimana adegan-adegan klise yang terjadi terkadang tidak romantis, malah terlihat berlebihan.

She-Hulk: Attorney at Law (2022)

“She-Hulk: Attorney at Law” juga menjadi salah satu contoh serial bergenre meta. Sejak awal, Jennifer Walter breaking the fourth wall melalui narasi yang mengajak penonton berinteraksi. Ia menyatakan bahwa kita tidak akan tertarik jika serial ini adalah drama legal biasa, oleh karena itu kita disuguhkan kisah pengacara yang memiliki kekuatan Hulk.

Episode finale serial ini menjadi puncak dari sajian meta. Ketika kita melihat Jennifer sendiri tidak terima dengan plot ‘She-Hulk’ yang semakin aneh, kemudian ia menerobos keluar ke homepage Disney+ dan masuk ke proses pembuatan serial dan film MCU. Hingga akhirnya bertemu dengan K.E.V.I.N (Knowledge Enhanced Visual Interconnectivity Nexus), terinspirasi dari nama Kevin Feige, pimpinan dari Marvel Studios.

The Siege of Jadotville The Siege of Jadotville

The Siege of Jadotville Review – Kisah Heroisme yang Terlupakan

Film

The General's Daughter Review The General's Daughter Review

The General’s Daughter Review: Thriller Militer yang Menantang Moralitas

Film

12.12: The Day 12.12: The Day

12.12: The Day Review – Kudeta Militer dan Periode Tergelap Korea Selatan

Film

Conclave review Conclave review

Conclave Review – Drama Intrik di Balik Pemilihan Paus

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect