“The School for Good and Evil” merupakan Netflix Original terbaru yang telah dinanti-nanti oleh penggemarnya. Film bergenre fantasi ini diadaptasi dari novel young adult terlaris bertajuk serupa karya Soman Chainani pada 2013. Disutradarai oleh Paul Feig yang juga mengembangkan naskah adaptasi bersama David Magee.
Tak main-main, “The School for Good and Evil” bertabur bintang muda dan aktor senior yang mendampingi mereka dalam dunia sekolah negeri dongeng yang immersive ini. Sofia Wylie bermain sebagai Agatha, sementara Sophia Anne Caruso berperan sebagai Sophie. Aktor-aktor papan atas mulai dari Laurence Fishburne, Kerry Washington, Charlize Theron, hingga Cate Blanchett turut memeriahkan film ini. Kemudian ada aktor Kit Young yang belakangan terkenal melalui Netflix Original, “Shadow and Bone”.
Dikisahkan Sophie dan Agatha adalah dua outcast bersahabat di Gavaldon. Sophie selalu mengenang pesan dari ibunya bahwa Ia ditakdirkan untuk melakukan hal besar. Bosan dengan kehidupan biasanya di Gavaldon, Sophie berharap dirinya ‘diculik’ untuk menjadi murid di Sekolah Kebaikan. Menjadi tuan putri dalam negeri dongeng. Tak ingin melepaskan sahabat satu-satunya, Agatha pun ikut terseret ke dunia dongeng bersama Sophie. Namun, keduanya mendapatkan hasil yang tidak sesuai dengan harapan. Sophie masuk ke Sekolah Kejahatan, sebaliknya Agatha masuk ke Sekolah Kebaikan.
Dongeng Tentang Keseimbangan Antara Baik dan Jahat
Konsep semesta dari “The School for Good and Evil” sangat jelas seperti yang tercantum pada judulnya. Inilah adalah dongeng tentang dongeng antara kebaikan dan kejahatan. Konsepnya cukup meta karena pada akhirnya mengkritisi hukum moral dalam dongeng generik. Dimana selalu ada tuan putri dan pangeran sebagai pahlawan dengan kehidupan bahagia selamanya.
Sementara monster dan penyihir selalu menjadi pihak jahat yang kalah. Kehadiran Sophie dan Agatha sebagai ‘pembaca’ yang tidak terduga, akan memberikan plot dan akhir cerita yang tidak mudah ditebak dalam dongeng fantasi kali ini.
Baik Sophie dan Agatha menjadi dua karakter yang paling kontras dalam “The School for Good and Evil”. Ketika semua karakter terasa satu dimensi; kalau tidak baik, ya jahat, kedua bersahabat ini menjadi bukti bahwa tidak ada sesuatu yang murni baik dan murni jahat. Bahkan hal-hal tersebut juga bisa kita lihat dalam sistem di sekolahan dongeng tersebut.
Tak hanya sajikan drama fantasi dengan konflik dan petualangan fiktif yang dramatis, film ini juga mengandung pesan yang menarik dalam memaknai kebaikan, kejahatan, dan hukum moral secara umum. Yang selama ini terpencar dalam cerita, dongeng, dan legenda klasik yang kita baca sebagai pelajaran moral.
Presentasi Akting Dramatis dan Teatrikal yang Memikat
Mungkin sekilas eksekusi akting dalam “The School for Good and Evil” akan terasa berlebihan dan kelewatan dramatis. Perlu diingat bahwa ini adalah kisah tentang negeri dongeng. Setiap karakter akan memiliki presentasi yang dramatis dan teatrikal seperti karakter fiksi yang sulit dipercaya untuk menjadi kenyataan.
Sophie dan Agatha sebagai ‘pembaca’ menjadi dua karakter utama dengan pembawaan orang awam. Hanya Sofia Wylie dan Sophia Anne Caruso yang terlihat memiliki cara berbicara dan bersikap yang ‘normal’. Sementara aktor-aktor lainnya memberikan eksekusi akting yang dramatis dalam setiap kalimat yang mereka ucapkan.
Kit Young memiliki suara yang sangat jernih dan kuat dalam setiap penampilannya. Kehadirannya selalu memikat dalam negeri dongeng ini sebagai penjahat utama. Begitu pula aktris Kerry Washington dan Charlize Theron yang berperan sebagai dekan Sekolah Kebaikan dan Kejahatan. Charlize Theron menjadi aktris dengan penampilan paling menonjol dalam film ini sebagai Dekan pendidik para penjahat. Begitu pula Cate Blanchett yang menemani kita sebagai Storian alias narator dengan suara khasnya.
Produksi Maksimal Bangkitkan Dunia Dongeng ke Dalam Film
“The School for Good and Evil’ memiliki dedikasi cukup tinggi dalam mewujudkan semesta negeri dongeng dalam kisahnya. Sebagai film adaptasi novel fantasi dengan penggemar, Netflix dituntut mampu memenuhi ekspektasi penontonnya. Buat penggemar film dongeng live action Disney, film adaptasi novel ini bisa menjadi sajian yang menggugah secara visual.
Meski bukan kualitas sinematografi dan CGI terbaik, setidak sudah cukup detail untuk kelas film yang rilis streaming platform. Mulai dari eksterior sekolahan yang ikonik pada sampul buku novelnya, begitu pula interior, tata rias, dan desain kostum yang menawan.
Sangat terlihat kontras anta kubu putri dongeng dengan warna-warna pastel, bersanding dengan kubu penyihir jahat yang didominasi dengan warna hitam bernuansa gothic. Tidak bias terhadap salah satu sisi, keduanya sama-sama memiliki kualitas yang maksimal sesuai citra masing-masing. Sophie menjadi karakter dengan fashion statement terbaik, karena poin tersebut menjadi salah satu poin penting dalam perkembangan karakternya.
Setiap adegan pertarungan sihir skala besar dan skala kecil dalam film ini juga sudah dieksekusi dengan baik. Dinamis, seru, dan tidak asal beradu manuver sihir yang berantakan.
Beberapa kritik untuk “The School for Good and Evil” adalah musik latar dan soundtrack-nya yang kurang tepat. Beberapa pilihan lagu terasa sudah tepat, namun ada juga beberapa lagu yang terasa terlalu modern dan tidak vibing dengan adegan. Setiap kali soundtrack diaplikasikan, mixing-nya kurang mulus, terkadang terlalu keras dan membuat dialog karakter jadi tidak terdengar.
Secara keseluruhan, “The School for Good and Evil” merupakan film adaptasi fantasi yang memiliki konsep seru untuk ditonton. Sekuen fantasi dan petualngannya juga menyenangkan dan mudah disimak. Cocok ditonton oleh semua umur, baik anak-anak atau kita penonton dewasa yang menyukai film fantasi.