Banyak film yang baru bisa kita pahami setelah ditonton dua kali atau lebih. Terutama dalam katalog film sutradara yang terkenal dengan naskah yang mind-bending, menantang penonton untuk berpikir lebih, seperti Christopher Nolan hingga David Lynch. Namun, film seperti “Inception”, “Interstellar”, ‘Twin Peaks’, adalah film yang beberapa dari kita menonton dua kali karena belum paham saat pertama kali menonton.
Dalam daftar film berikut adalah sederet film yang memberikan pengalaman berbeda setelah ditonton lebih dari dua kali. Baik dalam memahami, menemukan perspektif baru, hingga menyadari korelasi setiap adegan yang tidak di-point out oleh sutradara secara gamblang.
Lebih dari sekadar pemahaman, film berikut memberikan pengalaman dan sudut pandang baru setelah ditonton lebih dari sekali.
(Spoiler Alert! untuk semua film yang dibahas dalam daftar ini)
Ex Machina (2014)
“Ex Machina” merupakan film sci-fi thriller tentang Caleb (Domhanall Gleeson) yang mendapatkan kesempatan menjadi bagian dari eksperimen yang dilakukan oleh bosnya. Dimana Nathan (Oscar Isaac) sedang mengembangkan A.I. mutakhir yang diberi nama Ava (Alicia Vikander). Film arahan Alex Garland ini memang lebih fokus pada sudut pandang Caleb yang menyakini bahwa ia sedang menjalankan turing test pada Ava.
Hanya untuk kemudian mengetahui bahwa dirinya juga menjadi subyek dalam turing test, karena Nathan ingin melihat sejauh mana Ava mampu mempengaruhi Caleb secara emosional. Secara tidak langsung juga dimaksudkan untuk penonton juga terpengaruh oleh Ava dan melihat Nathan sebagai ‘penjahat’ dalam skenario ini. Namun, coba nonton untuk kedua kalinya, kita akan melihat skenario dari sudut pandang Nathan sebagai pencipta Ava. Pemahaman kita tentang Ava akan berubah dan menganggap Caleb sebagai subyek ceroboh yang menjadi akhir dari project Nathan.
Gone Girl (2014)
“Gone Girl” membuka narasi dari sudut pandang Nicholas (Ben Affleck) yang melaporkan istrinya yang menghilang secara misterius, Amy Dunne (Rosamund Pike). Pada babak pertama, sudut pandang lebih fokus pada Nicholas yang seiring berjalanannya skenario merasa telah dipermainkan oleh istrinya, sebagai balasan karena ia berselingkuh dengan perempuan yang lebih muda.
Mungkin ada yang pertama kali menonton melihat Amy Dunne sebagai ‘penjahat’ dalam skenario ini. Persepsi tersebut akan berubah pada kali kedua menonton. Kita akan mulai memahami, mungkin memang tukang selingkuh seperti Nicholas layak mendapatkan pelajaran ekstrim dari Amy Dunne yang lebih dari apapun ingin mempertahankan pernikahan mereka.
Shutter Island (2010)
“Shutter Island” merupakan film neo-noir arahan Martin Scorsese, dibintangi oleh Leonardo DiCaprio sebagai Teddy Daniels. Teddy bersama rekan kerja barunya, Chuck (Mark Ruffalo) mendapatakan misi untuk menginvestigasi hilangnya pasien berbahaya di institusi mental yang berlokasi di pulau terpencil.
Fakta umum dalam film ini mungkin sudah terungkap; bahwa Teddy Daniels adalah Andrew Laeddis. Ia mengalami trauma mendalam setelah istrinya membunuh ketiga anaknya mereka, kemudian Andrew membunuh istrinya.
Setidaknya plot “Shutter Island” bukan plot yang membingungkan. Semuanya telah dijelaskan oleh Dr. John Cawley (Ben Kingsley) pada babak terakhir, ditambah dengan flashback dari Andrew. Kita punya pilihan untuk percaya pada Dr. John Cawley, atau mengikuti delusi yang disajikan dari sudut pandang Teddy alias Andrew. Film ini akan memberikan pemahaman yang semakin solid dan selalu menarik untuk ditonton ulang.
Tenet (2020)
Banyak dari film Christopher Nolan membutuhkan lebih dari sekali tonton untuk dipahami. Namun “Tenet” merupakan film yang ‘harus’ ditonton dua kali untuk pengalaman yang solid. “Tenet” merupakan film Nolan yang paling sulit untuk dimengerti saat ini, dari seluruh filmografi sutradara ini.
Untuk memahami ceritanya, kita terlebih dulu harus memahami konsep dari ‘time-inversion’. Ibarat mata pelajaran dari Nolan, mempelajari time-inversion membutuhkan bedah materi secara perlahan. Dimana sebaliknya semuanya dalam film ini berjalan begitu cepat.
Alasan kedua kita harus menonton ulang “Tenet” mungkin bukan yang akan direstui oleh Nolan. Banyak komplain dialog dalam film ini tidak bisa didengar karena musik dan efek suara yang lebih mendominasi. Oleh karena itu, cari kesempatan untuk menonton “Tenet” di rumah dengan laptop dan earbuds, serta subtitle. Dengan begitu kita bisa lebih jelas memahami dialog dalam film ini.
The Sixth Sense (1999)
Sebelum “The Others” (2001), “The Sixth Sense” oleh M. Night Shyamalan menjadi film horor psikologi sukses dengan twist protagonisnya sebagai hantu sepanjang film. Dibintangi oleh Bruce Willis sebagai Malcolm Crowe, seorang psikolog anak yang bertemu dengan Cole (Haley Joel Osment).
Cole mengaku dapat melihat arwah dari orang yang telah meninggal. Awalnya Crowe berpikir bahwa ia hadir untuk membantu Cole, namun faktanya, Cole ‘lah yang membantu Crowe untuk rekonsiliasi dengan istrinya.
“The Sixth Sense” merupakan film Shyamalan dengan penulisan naskah penuh twist dan hint yang berbobot sebagai karya horor psikologis. Salah satunya adalah dialog foreshadowing antara Crowe dan Cole pada babak pertama. Cole menyebutkan bahwa arwah orang meninggal membaur dengan orang-orang hidup. Arwah-arwah ini hanya melihat apa yang ingin mereka lihat.
Pertama kali menonton film ini, kita akan melihat sudut pandang Crowe sebagai orang hidup, sementara kali kedua sebagai arwah. Dimana membuka perspektif baru yang belum kita alami sebelumnya.
Pulp Fiction (1994)
“Pulp Fiction” menjadi cult classic untuk alasan yang solid. Selain karena estetika dunia kriminal ala Quentin Tarantino yang stylish, film ini menjadi salah satu yang tidak pernah bikin bosan untuk ditonton lebih dari sekali.
‘Pulp fiction’ sendiri adalah sebuah istilah untuk majalah kriminal pada pertengahan abad ke-20. Itu mengapa poster original film ini terlihat seperti majalah dengan Uma Thurman alias Mia Wallace sebagai model cover.
Layaknya bacaan seru dengan plot yang acak, anggap potongan cerita dalam “Pulp Fiction” adalah kolom berita kriminal yang terjadi di sekitar Los Angeles, pada periode waktu yang saling berdekatan. Selalu menarik bermain detektif dengan menyatuhkan adegan satu dengan lainnya. Melihat konsekuensi dari setiap keputusan yang diambil oleh karakternya. “Pulp Fiction” juga bisa kita ibaratkan sebagai puzzle, dimana kita berusaha menyusun sendiri urutan plot yang benar.
Eternal Sunshine of the Spotless Mind (2004)
‘Eternal Sunshine’ memiliki kualitas plot yang kurang lebih serupa dengan “Pulp Fiction”. Dimana kita disajikan potongan-potongan memori acak, seperti sifat alami dari memori atau kenangan yang acak dalam pikiran kita sendiri.
Mengikuti perjalanan cinta unik dari Clementine (Kate Winslet) dan Joel (Jim Carrey). Plot utama setidaknya sudah terungkap pada kali pertama menonton; Joel dan Clementine pergi ke klinik spesial untuk menghapus ingatan mereka satu sama lain pasca berakhirnya hubungan dengan buruk.
Kedua kali menonton, kita akan berusaha menyusun potongan puzzle memori hubungan cinta antara Joel dan Clementine. Mulai dari awal pertama pertemuan, masa-masa indah dan sulit dalam hubungan mereka, hingga akhirnya pertemuan kembali. Film ini merupakan puisi romansa fiksi ilmiah unik yang tak pernah membosankan untuk “dibaca” kembali.
500 Days of Summer (2009)
Meski bukan paling mind-bending dalam daftar ini, “500 Days of Summer” bisa jadi tontonan yang memberikan pengalaman berbeda setelah ditonton lebih dari sekali. Seperti film-film serupa, masalah utama dari film seperti ini adalah ‘persepektif’.
Kisah asmara antara Tom (Joseph Gordon-Levitt) dan Summer (Zooey Deschanel) ini disajikan melalui sudut pandang Tom. Sedikit kita sadari pada kali pertama menonton, Tom adalah narator yang tidak bisa diandalkan.
Masih banyak yang beranggapan Summer adalah wanita yang telah mempermainkan dan menghancurkan hati Tom. Bahkan sang aktor, Gordon-Levitt menyarankan kita untuk menonton kembali film ini untuk menyadari bahwa Tom yang salah karena telah memproyeksi ekspektasi romantis dalam hubungannya dengan Summer yang tidak menunjukan ketertarikan untuk memulai hubungan.
Jojo Rabbit (2019)
Memang tidak akan menjadi pengalaman yang indah (bahkan mematahkan hati) untuk menonton “Jojo Rabbit” lebih dari sekali. Namun menonton film berlatar perang dari kacamata bocah Nazi yang imajinatif karya Taika Waititi ini akan membuat kita sadar kualitas penokohan setiap karakter dan penulisan naskah secara keseluruhan yang lebih baik dari yang kita duga sebelumnya.
Banyak yang bicara tentang foreshadowing kematian ibu Jojo. Namun ada lebih banyak lagi adegan-adegan yang luput dari perhatian kita menjadi indikasi lebih dari sutau peristiwa. Salah satunya adalah ketika Kapten Klenzendorf mendatangi rumah Jojo bersamaan dengan sekelompok agen Gestapo. Menjadi adegan paling lucu dalam film ini, tersembunyi fakta paling mematahkan hati; karena pada saat itu ibu Jojo sudah meninggal dan Klenzendorf mendatangi rumah Jojo untuk melindunginya.
Blade Runner 2049 (2017)
“Blade Runner 2049” adalah film neo-noir dengan latar futuristik paling underrated (karena performanya di box office) dan layak mendapatkan kesempatan kedua. Secara keseluruhan, plot film ini sudah jelas; K (Ryan Gosling) berpikir bahwa ia mungkin bukan replicant biasa, melainkan anak yang dilahirkan dari hubungan Rick Deckard (Harrison Ford) dan Rachael.
Ketika kita pikir kita telah mengetahui plot twist-nya, K dan penonton dikecewakan dengan twist sesungguhnya bahwa itu hanya kenangan dari anak Deckard yang sesungguhnya, di-install kebanyak memori para replicant baru.
Ini juga bisa menjadi pengalaman kedua yang semakin mematahkan hati. Mungkin beberapa dari kita bisa relevan dengan K, yang merasa tidak memiliki ‘peran’ atau tujuan dalam hidup, berpikir kita akhirnya menemukan ‘arti’ dalam hidup kita, hanya untuk kemudian memahami, bahwa semua tidak ada artinya lagi. Pengalaman pertama menjadi sudut pandang yang penuh dengan harapan untuk protagonis. Sementara kali kedua menonton menjadi tribute untuk K yang tetap memiliki cerita memikat sekalipun ia bukan ‘siapa-siapa’.
