Connect with us

Entertainment

Christopher Nolan dan Obsesinya terhadap Konsep Memori dan Waktu

Dengan kreativitasnya, Christopher Nolan berhasil mendobrak industri perfilman dunia.

Film-film buatan Christopher Nolan dikenal selalu membekas di benak para penontonnya. Sebut saja karya-kayanya seperti “Memento” (2000), “Interstellar” (2014), dan “Inception” (2010) yang sukses melekat dalam ingatan para penonton bahkan ketika mereka telah keluar dari bioskop.

Berbeda dengan filmmaker lain, film karya Nolan sering dinggap memilki gaya penulisan skenario yang unik dengan plot yang khas. Bahkan salah satu film superheronya, “The Dark Knight” (2008) digadang-gadang sebagai salah satu film Batman terbaik sepanjang masa.

Gaya Penceritaan Non-Linear

Christopher Nolan lahir di London, Inggris pada 30 Juli 1970. Sejak umur 7 tahun, Nolan sudah membuat film amatir pertamanya menggunan kamera analog Super 8. Ia sadar bahwa film adalah dunianya, dan menjadi seorang filmmaker merupakan tujuan hidupnya.

Setelah menyelesaikan studi di bidang Sastra Inggris, Ia berfokus untuk menggarap debut filmnya. Tahun 1998, karya pertama Nolan rilis dengan judul “Following” (1998), yang mana Ia mengarahkan sekaligus menulis sendiri naskahnya.

Christopher Nolan mulai mendapat pengakuan internasional setelah perilisan film keduanya, “Memento” (2000) dimana saat itu Ia mendapat nominasi Academy Awards pertamanya untuk Best Original Screenplay. Karirnya sebagai sutradara semakin diakui secara luas setelah perilisan tiga film box office-nya, yakni “The Prestige” (2006), “The Dark Knight” (2008) dan “Interstellar” (2014).

Christopher Nolan dan Obsesinya terhadap Konsep Memori dan Waktu

Behind the scene “Memento”

Sepanjang karir dan filmografi Nolan, para kritikus film telah menyematkan gaya penceritaan non-linear sebagai ciri khas karyanya.  Di tengah arus industri Hollywood yang serba blockbuster, Nolan berani muncul menggunakan gaya penceritaannya yang non-linear. Dengan teknik tesebut, Nolan mampu menyajikan plot cerita yang tidak berurutan dan membuat penontonnya harus berpikir lebih untuk meresapi esensi dari film. Dengan gaya narasi semacam itu, Nolan mampu menciptakan intrik dalam setiap ceritanya.

Contoh utama yang paling kentara adalah plot cerita dalam film “Memento” (2000). Film ini dibuka dengan adegan tokoh utama Leonard Shelby yang sedang melihat foto orang mati. Adegan berlanjut mundur saat Leonard menembak pria yang ada di gambar tersebut. Sekuens semacam ini membuat penonton sadar bahwa Leonard-lah yang sebenarnya menembak pria tersebut dan memotretnya.

Sepanjang film, plot sengaja dirancang dengan alur mundur sehingga penonton dibuat penasaran akan alasan sang protagonis melakukan aksi di awal film tadi. Untuk mampu menangkap esensi film secara keseluruhan, penonton dipaksa harus memahami ‘sebab’ dari konflik film yang ditaruh Nolan di akhir film. Cukup memusingkan bukan? Namun gaya penceritaan non-linear seperti inilah yang menjadi andalan Nolan, yang mana Ia sering menyebutnya sebagai bagian dari ‘The Art of Film’.

Kebiasaan Nolan menulis alur cerita non-linear sangat dipengaruhi oleh novel “Waterland” (1983) karya Graham Swift, yang menurutnya menjadi contoh terbaik penceritaan kisah dengan alur yang parallel.

Keahlian narasi Nolan dan orisinalitas ceritanya menjadikan Christopher Nolan sebagai sang maestro blockbuster yang tidak hanya menyuguhkan adegan aksi intens, namun juga alur cerita yang dramatis.

Obsesi terhadap Konsep ‘Memori’ dan ‘Waktu’

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Nolan sering mengeksplorasi sisi filosofis dari konsep memori dan waktu dalam filmnya. Entah itu dipadukan dengan genre sci-fi, crime thriller, superhero, maupun war drama, Nolan terbilang konsisten dengan tema favoritnya tersebut. Bahkan banyak yang berpendapat film-film karya Nolan selalu didasari oleh teori sains tertentu.

Dalam film “Memento” (2000), “Inception” (2010), dan trilogi Batman, Nolan selalu menonjolkan aspek memori di dalam setiap ceritanya. Seperti contoh dalam film “Inception” (2010), sang protagonis Cobb (Leonardo DiCaprio) bersama timnya mencoba untuk menanamkan memori ke dalam alam bawah sadar targetnya melalui fase ‘lucid dream’.

Contoh lain yakni dalam trilogi Batman, Nolan mencoba meramu tema memori dengan cara lain. Dalam trilogi ini, Bruce Wayne dihantui oleh memori kelam kematian orang tuanya. Meskipun cerita Batman bukan orisinal ciptaan Nolan, namun Ia tetap menonjolkan arti filosofis bahwa memori lah yang mendasari segala aksi vigilante Bruce Wayne sebagai Batman.

Dalam wawancaranya dengan Wired, Nolan mengaku terobsesi dengan konsep memori karena memori adalah suatu hal yang mampu memicu emosi. Sifat dari memori ini yang dimanfaatkan Nolan untuk menyajikan sebuah karya yang emosional dan membekas untuk para penontonnnya.

Selain memori, kita yang sering menonton karya Nolan pasti akan menyadari bahwa Ia juga terobsesi dengan konsep waktu. Nolan menganggap konsep waktu sebagai suatu konsep yang menarik untuk dijelajahi dalam film. Dalam sebuah wawancara dengan NPR, Nolan mengatakan bahwa waktu adalah “subjek yang paling sinematik”.

Menurutnya, media film merupakan satu-satunya media bagi manusia untuk mengalami konsep waktu secara dinamis. Melalui perspektif kamera, para penonton dapat mengalami konsep waktu secara mundur, melambat, bahkan dipercepat tergantung alur penceritaan film.

Obsesi Nolan terhadap konsep waktu paling kentara Ia presentasikan melalui “Interstellar” (2014). Melalui ‘masterpiece’-nya ini, Ia menunjukkan konsekuensi interpersonal ketika dua orang melakukan perjalanan melalui waktu dengan kecepatan yang berbeda. Nolan mengutak-atik konsep waktu untuk fit menjadi tema dalam cerita, dan hebatnya lagi Ia mampu mendasari imajinasinya tentang konstruksi waktu dalam “Interstellar” (2014) menggunakan teori Time Dilatation milik Albert Einstein.

Bila Martin Scorsese identik dengan tema gangster, Alfred Hitchcock identik dengan elemen suspense pada filmnya, Christopher Nolan pun identik dengan konsep memori dan waktu yang sering, bahkan selalu dieksplor ke dalam film-film karyanya secara eksplisit maupun implisit.

Visual Khas Minim CGI

Secara visual, Christopher Nolan memang telah dikenal sebagai filmmaker yang konsisten meminimalkan penggunaan Computer-generated Imagery (CGI) dalam film-filmnya. Alih-alih memakai teknologi CGI, Nolan lebih menyukai menggunakan practical effect demi menangkap adegan yang lebih realistis.

Contohnya dalam “Interstellar” (2014), adegan penjelajahan planet Mann yang ditutupi es dilakukan tanpa efek CGI apapun. Sebagai gantinya, Ia mengambil gambar secara langsung di lokasi gletser Islandia untuk memberikan latar belakang yang lebih indah dan realistis. Totalitas semacam ini menjadi salah satu karakteristik yang sangat jarang dimiliki filmmaker lain.

Behind the Scene Interstellar

Behind the Scene Interstellar

Di samping itu, Nolan juga seorang filmmaker yang masih setia dengan kamera analog. Di tengah kemajuan teknologi industri film yang serba digital, Nolan masih lebih menyukai rekaman hasil dari stok film analognya dibandingkan rekaman digital.

Ia menentang penggunaan perantara digital dan sinematografi digital dalam setiap proyeknya. Dilansir dari Deadline, Nolan merasa stok film analog memiliki kualitas gambar terbaik dari pada yang lain. Secara khusus, Ia menganjurkan penggunaan stok film berkualitas tinggi dan format lebih besar seperti film Panavision anamorphic 35mm, Panavision Super 70mm, VistaVision, dan IMAX 70mm.

Bagaimanapun juga, melalui film-filmnya yang monumental, Christopher Nolan telah mengukir namanya dalam industri film kontemporer. Ia mendobrak batasan-batasan kreativitas dalam membuat suatu film. Metode penyutradaraannya yang lebih mengandalkan kreativitas daripada penggunaan teknologi menjadikan Nolan patut dinobatkan sebagai salah satu filmmaker yang selama lima belas tahun terakhir konsisten memberi kontribusi besar untuk lanskap perfilman abad ke-21.

Rosemary's Baby (1968) Rosemary's Baby (1968)

7 Film Horor Klasik Terbaik dan Terikonik

Cultura Lists

Bangkok Breaking: Heaven and Hell Bangkok Breaking: Heaven and Hell

Bangkok Breaking: Heaven and Hell Review

Film

Speak No Evil Speak No Evil

Speak No Evil Review

Film

Dokumentasi Pertunjukan Indonesia Kita - Musuh Bebuyutan Dokumentasi Pertunjukan Indonesia Kita - Musuh Bebuyutan

Indonesia Kita Ke-42 Pentaskan Kisah Penunggu Jembatan Merah

Entertainment

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect