“Tenet” merupakan film karya sutradara papan atas, Christopher Nolan, yang telah rilis pada 12 Agustus 2020 lalu. Nolan kembali bermain dengan obsesinya akan penjelajahan ruang dan waktu yang sudah menjadi ciri khasnya sebagai master of mind bending film. Menulis naskah dengan kisah original yang menantang penontonnya sudah menjadi kebiasaan sutradara satu ini. Kebanyakan dari film Nolan baru bisa kita pahami setelah dua kali tonton atau lebih.
Seorang pria tak bernama dibekali sebuah kata sebagai “senjata” untuk mencegah pecahnya Perang Dunia III. Misi tersebut membuatnya harus berhadapan dengan orang dari masa depan hingga melakukan perjalanan waktu itu sendiri untuk menyelesaikan misi. Belum berhasil memecahkan arti dari frame terakhir “Inception” atau mengungkap plot dari “Memento”? Mari tambah PR kita dengan menonton “Tenet”.
Plot Mind Bending yang Kompleks dengan Hukum Ruang dan Waktu
Dalam film seperti “The Prestige”, “Inception”, dan “Interstellar”, Christopher Nolan telah menciptakan berbagai paradoks tentang perjalanan ruang dan waktu dalam berbagai bentuk yang unik. Nolan tampaknya selalu bisa keluar dengan sesuatu yang baru dari tema tersebut, begitu pula dengan “Tenet” yang memiliki hukum perjalanan antar waktu baru. Lebih dari sekedar plot masa sekarang dan masa depan, kali ini sang sutradara menantang diri dengan membenturkan kedua timeline tersebut dalam satu plot, dalam satu frame. Brilliant dalam segi penulisan maupun produksi visual dalam mewujudkan visi tersebut.
Plot dan prinsip yang digunakan dalam penulisan film “Tenet” bisa dibilang sebagai film Christopher Nolan yang paling susah dipahami dalam sekali tonton sejauh ini. Kompleksitas yang sajikan jelas lebih kompleks dari “Memento” dan “Inception” jika dilihat dari timeline plot.
“Memento” sendiri sebetulnya tidak terlalu sulit untuk dipecahkan karena Nolan hanya bermain pada editing plot. Sementara pada “Inception”, setidaknya cukup mudah memahami prinsip dunia mimpi yang menjadi tema utama. Namun prinsip atau ‘tenet’ serta hukum inversi waktu dalam film “Tenet” cukup sulit untuk dipahami. Penjelasan yang dipaparkan oleh beberapa karakter pun masih terasa tidak cukup.
Meski memiliki tema perjalanan waktu, melalui sudut pandang The Protagonist (John David Washington), secara keseluruhan, film ini terasa memiliki plot linear, hanya saja melibatkan beberapa adegan lintas waktu yang berbenturan.
Karakter Pendukung dengan Kontribusi Kisah yang Lebih Kuat
Agen tak bernama, The Protagonist, memiliki latar belakang yang misterius. Kita bahkan tidak tahu apa sebetulnya alasan dirinya mampu mendedikasikan dirinya untuk misi tersebut, bahkan membantu karakter pendukung yang Ia temui saat menjalani misi, Kat (Elizabeth Debicki). Bukan hal yang buruk, The Protagonist dikelilingi oleh karakter pendukung yang memiliki latar belakang kuat untuk kita ikuti kisahnya.
Mulai dari Neil (Robert Pattinson), rekan kerja The Protagonist yang misterius, namun pada akhirnya menjadi salah satu karakter yang memberikan emosi pada karakter utama. Andrei Sator (Kenneth Branagh) sebagai antagonist kejam dalam kisah ini, dan Kat yang memberikan nilai sentimental dalam kisah “Tenet”.
Daripada objektif menghentikan Perang Dunia III, premis yang lebih tepat adalah; agen rahasia yang berusaha menyelamatkan seorang wanita dari kekerasan dalam rumah tangga. Karena ada akhirnya cerita hanya berputar di antara Andrei Sator, Kat, dan The Protagonist. Setidaknya plot dan objektif yang paling mudah ditangkap dari film ini adalah premis tersebut.
Produksi yang Memukau Secara Visual, Namun Scoring Terlalu Keras
Dengan tampilan sinematografi dan effect visual yang mind-blowing, pasti sebagian besar penonton mengira “Tenet” melibatkan banyak campuran tangan CGI. Dilansir dari Screenrant, secara mengejutkan “Tenet” tidak mengandalkan teknik digital atau CGI untuk mengeksekusi berbagai frame yang terlihat mustahil.
Nolan dan kru melakukan proses syuting adegan kunci sebanyak dua kali, secara alur maju dan mundur. Hal ini jelas memperlihatkan seni mengambil gambar yang teknikal dan organik dalam film-making. Nolan tampaknya suka menantang diri sendiri, baik dalam menulis cerita yang mengandalkan kreativitas, hingga eksekusi yang mengandalkan logika dan teknik. Adegan aksi yang ditampilkan juga di desain dengan skenario situasi hingga koreo bertengkar yang seru.
Scoring garapan Ludwig Goransson juga memiliki nuansa yang sesuai dengan konsep inversi waktu dalam film ini. Seperti musik yang dikomposisi benar-benar didedikasikan untuk film “Tenet”. Dengan warna musik techno statik yang dalam, namun bernyawa, memberikan nuansa suspense dan aksi yang menegangkan. Ada juga yang dipadukan dengan musik orkestra namun masih dengan vibe yang serupa. Beberapa scoring juga sempurna untuk mendampingi adegan putar balik waktu yang anomali.
Salah satu kelemahan film ini secara produksi adalah mixing scoring yang lebih dominan dari ambience dan dialog. Scoring yang terlalu keras terkadang membuat kita tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan oleh karakter. Mungkin hal ini bukan masalah besar bagi sebagian dari kita yang menonton dengan subtitle. Namun secara teknis, hal tersebut bisa dikategorikan sebagai celah dalam film ini.
Secara keseluruhan, Christopher Nolan sekali lagi berhasil membuat penggemar garuk-garuk kepala dan berusaha memahami film dengan naskah originalnya melalui “Tenet”. Sudah timbul banyak diskusi dan usaha mengungkap apa sebetulnya ‘tenet’ dan plot yang runtut dari film ini.
Meski mungkin banyak dari kita belum paham cerita secara keseluruhan, kita tidak pernah berhenti memuja sutradara satu ini. Lebih dari sekedar film fiksi ilmiah dan laga yang dinamis, ada seni penulisan dan teknik pengambilan gambar yang kompleks diterapkan pada “Tenet.