Connect with us
The Social Dilemma
Netflix

Current Issue

Bagaimana Netflix Telah Mengubah Trend Film Dokumenter

Kebangkitan film dokumenter sekaligus dilema baru menonton dokumenter adaptasi true-crime.

Sebelum era 2010an, berapa banyak film dokumenter yang populer dan memiliki akses mudah untuk kita tonton? Mungkin hanya melalui Discovery Channel atau National Geographic bagi kita yang punya akses televisi kabel. Namun kini film dokumenter sudah tak kalah populernya di media mainstream berkat Netflix.

“Icarius” (2017) menjadi film dokumenter Netflix Original pertama yang memenangkan penghargaan Best Documentary Feature pada Oscar 2018 lalu. Kemudian dilanjutkan dengan “American Factory” (2019) dan “My Octopus Teacher” (2020) yang memenangkan penghargaan sama pada tahun-tahun berikutnya.

Sudah seperti konten video analisa dan diskusi di YouTube, kini Netflix bisa merilis lebih dari satu dua judul film dokumenter atau docuseries. Mulai dari dokumenter bertema isu sosial, biografi publik figure, dan yang paling populer, adaptasi kisah nyata kriminal (true-crime).

Ada sisi pro dan kontra dengan semakin menjamurnya produksi film dokumenter yang kini mendominasi di platform streaming ini. Berikut analisa perkembangan Netflix yang telah mengubah trend film dokumenter sebagai tontonan mainstream.

My Octopus Teacher

Sederet Dokumenter Sukses Netflix yang Sempat Trending

Selain dua pemenang piala Oscar yg telah disebutkan sebelumnya, ada banyak film dokumenter hingga docuseries yang sempat trending dan sukses menimbulkan kesadaran akan isu tertentu. Salah satu yang terbaik dan masih segar diingat kita adalah “The Social Dilemma” (2020). Disutradarai oleh Jeff Orlowski dengan narasumber yang didominasi oleh mantan pekerja di perusahaan sosial media populer, film dokumenter ini mengedukasi kita akan cara kerja sosial media dan bagaimana hal tersebut tak jarang merujuk pada konsekuensi yang berbahaya. Tak sekadar mengumbar teori konspirasi atau konten clickbait semata, film dokumenter Netflix satu ini merupakan salah satu yang informatif dan tepat sasaran.

“Pretend It’s a City” (2021) juga menjadi docuseries dengan materi menarik garapan Martin Scorsese. Bersama dengan seorang penulis idealis Amerika, sekaligus sahabatnya, Fran Lebowitz, keduanya melakukan perbicangan intelektual yang santai tentang New York. “Pretend It’s a City” merupakan limited docuseries dengan konsep original dan mungkin tak akan sering kita temukan. Hal tersebut juga berkat Netflix sebagai platform yang bersedia menampung ide hibrida untuk konten platformnya.

Selain Netflix Original Documentary, Netflix juga memasukan banyak film dokumenter terbaik ke dalam katalognya. Mulai dari “Jiro Dreams of Sushi” (2011) yang sempat tersedia di Netflix, hingga film dokumenter Indonesia tentang pelestarian alam, “Semesta” (2018).

The Tinder Swindler

Pro Kontra Meledaknya Dokumenter Adaptasi True-Crime

Netflix menjadi platform yang ambil bagian besar dalam fenomena meledaknya dokumenter adaptasi true-crime. Sebelum terbawa suasana dan terpikat dengan setiap film dokumenter kriminal yang ditawarkan oleh Netflix, kita harus mulau mempertanyakan; apa film dokumenter dengan niche tersebut benar-benar informatif atau hanya materi sensasional yang di dramatisir? Belakangan ini film dokumenter kriminal di Netflix telah menciptakan fenomena baru yang bisa kita sebut sebagai model lain dari jurnalisme dan sanksi sosial bagi pelaku kriminal.

Salah satu judul yang masih cukup segar diingat adalah “The Tinder Swindler” (2022). Simon Leviev sebagai tersangka penipuan telah melancarkan modus penipuan sempurna. Meski telah menjalani pengandilan dan dihukum, reporter dan korban penipuan Simon ingin menyebakan kisahnya agar rantai korban dari modus penipuan ini berakhir.

Kemudian ada “Our Father” (2022) yang juga cukup informatif untuk menyadarkan kita akan keamanan prosedur medis seputar inseminasi dan fertilitas. Begitu pula sebagai sanksi sosial untuk Dokter Donald Cline yang tampaknya tidak merasa bersalah atas perbuatannya.

Namun, ada lebih banyak judul dokumenter kriminal di Netflix yang hanya mengeksploitasi kasus kriminal sebagai konten “hiburan”. Tak lebih dari penjabaran kronologi kasus kriminal yang mungkin tidak diekspos media mainstream, namun perlu dipertanyakan objektifnya.

Salah satu judul serial dokumenter yang sempat meledak dan sensasional dalam “Don’t F**k with Cats: Hunting An Internet Killer” (2019) dimana tak lebih dari dramatisir modus pembunuh kejam dan tak terbayangkan. Berbagai dokumenter kriminal yang semakin menjamur di Netflix belakangan ini juga semakin tidak terkendali. Banyak dari judul-judul ini seakan memberikan panggung pada para kriminal ini dengan produksi dokumenter yang sebetulnya tidak memiliki esensi. Mengeksploitasi konten kekerasan dan kejahatan yang sadis. Layaknya film bergenre thriller dan horror namun sayangnya benar-benar terjadi di dunia nyata.

Sangat mengerikan bagaimana banyak dokumenter niche ini yang rilis di Netflix setiap bulannya. Menandakan dokumenter kriminal yang kejam memiliki banyak penonton setia.

Standar Film Dokumenter yang Benar dan Objektif yang Jelas

Berbeda dengan film drama fiksi sebagai media hiburan hingga produk seni, film dokumenter merupakan produksi seni dengan standar yang lebih kompleks untuk mencapai kesempurnaan. Mari mengingat definisi film dokumenter; yaitu sebagai media seni non-fiksi dengan konsep memeluk materi yang realistis.

Film dokumenter pada awalnya memiliki objektif utama sebagai dokumentasi peristiwa bersejarah, materi yang bersifat edukatif dan informatif, dalam wujud arsip yang artistik dan memikat. Film dokumenter klasik kebanyakan tak asal mengangkat materi. Para sutradara film dokumenter harus benar-benar menemukan peristiwa yang serius dan membutuhkan panggung untuk memberikan dampak. Lebih dari sekadar skandal internet atau kasus pembunuhan sadis. Beberapa film dokumentasi memiliki visi mengungkap dokumentasi terpendam, contohnya seperti “Summer of Soul” (2021) yang memenangkan Academy Award tahun ini.

Summer of Soul Review

Searchlight Pictures

Salah satu trend produksi dokumenter yang telah dipopulerkan oleh Netflix terutama pada kategori true-crime adalah sinematrografi yang diberi sentuhan artistik. Kita (seharusnya) tidak menonton dokumenter untuk terpukau dengan sinematografinya, kita menonton untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam yang belum diungkap oleh media lain.

Nilai artistik dari sebuah dokumenter lebih condong pada kerapian naskah dan editing dari footage asli dari materi yang sedang dibahas. Mulai dari footage wawancara dengan narasumber, hingga dokumentasi yang mendukung topik. Jajaran narasumber yang terlibat dalam dokumenter juga harus kredibel dan mampu menyangkut berbagai aspek yang bersinggungan dengan topik utama.

Netflix telah menjadi platform yang berjasa untuk kebangkitan film dokumenter hingga eksekusi dokumenter hibrida lainnya. Namun, jika tidak pandai-pandai menyaring judul dokumenter untuk dimasukan dalam katalog mereka, Netflix bisa mengubah standar film dokumenter ke arah yang menjauh dari definisi awal film dokumenter. Jika platform ini tidak bisa mencegah hal tersebut, mungkin kita saja sebagai penonton yang harus mulai selektif ketika menilai konten dokumenter di Netflix.

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect