Connect with us
Superhero Fatigue
Spider-Man: Homecoming

Current Issue

Superhero Fatigue: Apa Kita Sudah Bosan dengan Superhero?

Menurut James Gunn, superhero fatigue tidak selalu salah genre superhero itu sendiri.

Hiburan bergenre superhero sudah menjadi niche paling populer yang tidak pernah ada matinya memasuki era perfilman modern. Masa-masa kejayaan MCU dengan “Spider-Man” pada era 2000an, hingga era “The Avengers” yang telah berakhir pada 2019 lalu.

Bahkan DC pun juga mencetak kesuksesan dengan ‘The Dark Knight Trilogy’ yang disutradarai oleh Christopher Nolan, kemudian “Justice League” dan “Suicide Squad” yang juga memiliki penggemar bahkan lepas dari kualitas filmnya secara keseluruhan.

Era DC Synderverse akan ditutup setelah “The Flash”, “Avengers: Endgame” telah menjadi akhir dari MCU Phase 3, era 2020an menjadi babak baru bagi film maupun serial bertema superhero. Sebelumnya kita telah membahas bagaimana MCU Phase 4 memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri, tak bisa dipungkiri banyak dari kita mungkin sudah memilih untuk pensiun dari hiburan bertema superhero, khususnya franchise besar seperti MCU dan DC.

Salah satu alasan yang sering dibahas sekarang mengapa banyak yang mulai lelah dengan film superhero adalah karena fenomena yang disebut sebagai ‘superhero fatigue’. Superhero fatigue merupakan istilah untuk mendefinisikan situasi dimana penonton mulai lelah dengan genre superhero.

Asumsi umum menyebutkan hal tersebut disebabkan oleh semakin banyaknya film dan serial superhero yang rilis hanya dalam jangka waktu tiga tahun belakangan. Jarak rilisannya juga sangat berdekatan dan membuat penonton overwhelming.

James Gunn

Cr. Frazer Harrison/Getty Images

James Gunn Berpendapat Superhero Fatigue Tidak Ada Hubungannya Dengan Superhero

James Gunn memiliki pendapat dengan perspektif baru menyinggung fenomena superhero fatigue. Melalui wawancaranya dengan Rolling Stones, Gunn percaya adanya fenomena superhero fatigue, namun hal tersebut tak selalu tentang superhero. “Saya berpikir hal seperti superhero fatigue memang ada. Saya pikir itu tidak ada hubungannya dengan superhero. Ini ada hubungannya dengan jenis cerita yang ingin disampaikan”, ungkap Gunn.

Bicara tentang cerita, James Gunn berpendapat hal tersebut terutama berhubungan dengan penokohan superhero yang ingin dipresentasikan. Kita mencintai karakter superhero ikonik seperti Batman, Superman, Iron Man karena mereka adalah karakter-karakter hebat yang berhasil mencuri hati penontonnya. “Dan jika (film) tersebut hanya sekumpulan hal tidak masuk akal di layar, (film) tersebut akan menjadi membosankan”, tambah Gunn.

“Saya lelah dengan sebagian besar film, karena tidak memiliki cerita yang membumi secara emosional. Itu tidak ada hubungan dengan apa mereka film superhero atau bukan”, ungkap sutradara “Guardian of the Galaxy” Vol. 3 ini.

Pernyataan tersebut menjadi opini menarik untuk dibahas; kita semua bisa lelah dengan segala jenis tontonan, baik itu film superhero atau film genre lainnya, jika naskah yang disuguhkan tidak mengandung cerita berkualitas dan hanya versi rip-off dari judul-judul populer. Lelah dengan genre tontonan tertentu juga bisa kita alami pada film bergenre action, romansa, dan horor yang plot-nya itu-itu saja, yang tidak ada gebrakan baru.

The Boys

Photo via GQ.com

“The Boys” Menjadi Contoh Serial Superhero Dengan Gebrakan Baru

Buat yang sudah lelah dengan tontonan superhero yang itu-itu saja, coba mulai nonton “The Boys” di Prime Video. Serial superhero ini juga diangkat dari komik bertajuk serupa oleh Garth Ennis dan Darick Robertson. Semesta superhero yang ditawarkan oleh “The Boys” versi Eric Kripke ini merupakan sajian satir yang ‘mencemooh’ franchise superhero besar seperti MCU dan DC. Karena Garth Ennis sebagai kreator materi sumbernya adalah orang yang membenci genre superhero.

“The Boys” merupakan serial superhero yang brutal, gore, intens, dengan twist penokohan superhero dan villain yang sangat segar. Terutama bagi penggemar MCU yang sudah semakin dewasa dan lelah dengan superhero yang heroik.

Tak selalu sajian satir, serial superhero seperti “The Umbrella Academy”, “The Sandman” dan “Moon Knight” menjadi beberapa sajian superhero yang masih diterima oleh penontonnya sebagai rilisan terbaru. Serial-serial ini juga menyajikan latar, penokohan superhero dan vibes yang baru sekaligus seru untuk diselami sebagai penggemar baru.

Sekalipun kita sudah lelah dengan tontonan superhero, bukan berarti genre superhero tidak akan bisa kita nikmati lagi. Kita hanya butuh cita rasa baru. Ketika ada serial atau film superhero yang memang baru dalam segi naskah dan konsep secara keseluruhan, kita pasti akhirnya juga tertarik untuk mengikuti.

Gundala Review

Gundala

Menurunnya Antusiasme Film Superhero Indonesia, Apa Karena Fenomena Superhero Fatigue?

Angka sendiri yang membuktikan bahwa film superhero Indonesia beberapa tahun belakangan memiliki jumlah penonton yang terus menurun. “Gundala” yang rilis pada 2019 sempat booming dengan label ‘film superhero pertama Indonesia’. Melihat pencapaian penonton yang tembus 1 juta penonton (tepatnya 1.081.450), membuktikan bahwa penonton Indonesia sebetulnya memiliki antusias tinggi untuk menyambut film superhero lokal. Namun, mampukah antusiasme tersebut dipertahankan dengan presentasi film yang berkualitas?

Kemudian “Sri Asih” rilis sebagai film kedua dari Jagat Sinema Bumilangit pada 2022 kemarin, dengan perolehan jumlah penonton hanya 570.619 (per 7 Desember 2022). “Virgo and The Sparklings” yang rilis pada 2 Maret kemarin lebih mengenaskan lagi, hanya memperoleh angkat penonton sebanyak 54.115. Kemudian turun layar hanya setelah 8 hari tayang di bioskop.

Sementara dari Jagat Satria Dewa merilis film pertama mereka pada 9 Juni 2022, “Satria Dewa: Gatotkaca”. Film arahan Hanung Bramantyo ini juga termasuk flop karena perbandingan budget dengan angka penjualan tiketnya. ‘Gatotkaca’ diproduksi dengan anggaran Rp 24 miliar, namun pendapatan kotornya hanya Rp 7,3 miliar.

Kalau mau menyalahkan promosi, semua film superhero lokal ini sebetulnya sudah melakukan yang terbaik selama masa promosi. Pilihan sutradara dan bintangnya pun juga yang memiliki nama besar di skena perfilman Tanah Air.

Jangan menyepelekan selera penonton lokal, kita memang selalu mengharapkan sesuatu yang baru, namun kalau kualitas naskahnya tidak ada gebrakan yang spesial, minat kita juga akan menurun. Kemudian franchise superhero lokal akan terus kehilangan kepercayaan dari penonton jika tak kunjung membuktikan pada penonton kalau film superhero lokal memang worth to watch di bioskop.

Qodrat

Cr. Magma

Buktinya film superhero lokal seperti “Qodrat” bisa sukses dalam era yang sama dengan keempat film tersebut. Memang bukan film superhero mainstream, Ustaz Qodrat ibarat John Constantine versi Indonesia dengan latar belakang agama Islam. Film arahan Charles Gozali ini memiliki ide yang kreatif, berkualitas, sekaligus memiliki potensi marketing yang memanfaatkan selera penonton Indonesia. Horornya dapat, nuansa ‘superhero’-nya juga dapat. “Qodrat” sukses di bioskop Indonesia dengan perolehan angka penonton sebanyak 1,7 juta.

Kesuksesan “Qodrat” menjadi bukti bahwa kegagalan beberapa film superhero lokal lainnya bukan karena superhero fatigue. Memang karena kualitas cerita dan penokohannya, “Qodrat” merupakan film superhero horor lokal yang menyajikan sesuatu yang baru dan seru.

Pada akhirnya, opini James Gunn tentang fenomena superhero fatigue menjadi perspektif baru yang memiliki poin untuk disetujui. Bahwa superhero fatigue lebih dari sekadar rasa bosan karena terlalu banyak rilisan superhero, kualitas dari tontonan superhero yang disajikan juga jadi faktor penting. Ibarat superhero adalah produk hiburan yang sedang populer dan banyak yang memproduksi, harus memiliki standar yang lebih tinggi untuk menarik perhatian penontonnya.

Conclave review Conclave review

Conclave Review – Drama Intrik di Balik Pemilihan Paus

Film

We Live in Time We Live in Time

We Live in Time Review: Perjuangan Pasangan Melawan Kanker & Waktu

Film

Auditorium ScreenX Terbesar Kedua di Dunia Hadir di CGV Cinemas Indonesia dengan Teknologi Dolby Atmos Auditorium ScreenX Terbesar Kedua di Dunia Hadir di CGV Cinemas Indonesia dengan Teknologi Dolby Atmos

Auditorium ScreenX Terbesar Kedua di Dunia Hadir di Indonesia

Entertainment

Gladiator I vs Gladiator II Gladiator I vs Gladiator II

Gladiator I vs. Gladiator II

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect