Connect with us
The Neon Demon (2016)

Cultura Lists

10 Rekomendasi Film Arthouse yang Mudah Dipahami

Nikmati film-film artistik tanpa harus merasa bingung.

Arthouse film merupakan film yang dalam produksinya lebih mengutamakan visi seni dari pembuatnya ketimbang nilai komersial. Melalui genre ini, seorang sutradara mampu mengekspresikan dan mengeksplorasi materi film yang idealis, tanpa peduli dengan selera pasar atau penikmat film secara umum, oleh karena itu film arthouse cenderung memiliki niche atau segmentasi yang kecil.

Banyak film arthouse menyajikan materi sinematik yang surreal, absurd, dan sulit dipahami oleh penonton. Namun, tidak semua film arthouse sulit dipahami seperti “I’m Thinking of Ending Things” (2020) maupun “Mother!” (2017), kita bisa menonton film arthouse yang mudah dipahami sebagai pengalaman untuk semakin memahami dunia seni film.

Shirley (2020)

“Shirley” merupakan film adaptasi buku sekaligus biografi seorang novelis bernama Shirley Jackson, secara spesifik menceritakan proses penulisan novel “Hangsaman” pada 1951. Melalui film ini, kita akan diajak masuk dalam kepala seorang penulis yang sedang berusaha menulis cerita. Ada fase dimana pikiran sedang buntu, hingga momen ‘eureka’ menjadi awal mengalirnya sebuah cerita untuk ditulis.

“Shirley” menjadi salah satu contoh eksekusi dari film adaptasi buku terbaik dan artistik. Meski dengan visual yang surreal dan akhir cerita yang membutuhkan waktu untuk dipahami, “Shirley” tidak terlalu membingungkan untuk kita nikmati sebagai sebuah film.

The Neon Demon (2016)

Sejak awal memiliki ide tentang “The Neon Demon”, sutradara Nicolas Winding Refn memiliki niat untuk mengeksplorasi film ini sebagai media seni tanpa tujuan komersial. Bersama dengan Elle Fanning sebagai bintang utamanya, proyek ini berhasil menciptakan fashion film yang artistik sekaligus memiliki makna yang mendalam tentang self-love dan rasa percaya diri.

The Neon Demon Review

Buat kita yang menyukai seni panggung, sinematografi, dan dunia fashion, “The Neon Demon” bisa menjadi arthouse film yang sangat inspiratif. Plot film secara keseluruhan juga mudah untuk disimak. Awalnya kita mungkin cuma memiliki kesan bahwa “The Neon Demon” merupakan film yang cuma indah secara visual, namun seiring berjalannya waktu, akan muncul berbagai pemikiran baru dari film ini.

The Lobster (2015)

Bicara tentang arthouse film, kita tidak bisa melupakan sutradara Yorgos Lanthimos. Salah satu film terbaik yang patut kita tonton dari sutradara ini adalah “The Lobster”. Keseluruhan konsep dari film ini memiliki semesta distopia-nya sendiri, yaitu sebuah peradaban dimana orang single diidentifikasi sebagai pengidap masalah psikologis dan disamakan dengan hewan.

Jika kita mengizinkan diri untuk memahami tatanan dunia dalam “The Lobster”, maka film arthouse ini akan sangat mudah untuk disimak, karena plotnya juga kronologis yang mudah untuk diikuti.

Melancholia (2011)

Satu lagi film arthouse yang artistik dan melankolis dari Yorgos Lanthimos adalah “Melancholia”. Film ini bercerita tentang fenomena kemunculan planet Melancholia dekat orbit Bumi dan berpotensi menjadi akhir dunia. Namun, film bertema apocalypse satu ini dijadikan media oleh Yorgos untuk mengeksplorasi keadaan mental manusia dalam menghadapi dunia dari perspektif yang sangat mendalam dan filosofis.

“Melancholia” berhasil memotret keindahan dalam kesuraman saat-saat terakhir planet kita mengorbit.

The Witch (2015)

Memasuki era 2010-an, arthouse horror menjadi trend baru yang dieksplorasi oleh banyak sutradara, salah satunya Robert Eggers. Kita mungkin sudah mengenal karya terbarunya, “The Lighthouse” (2019), namun film arthouse horror-nya yang berjudul “The Witch” sepertinya lebih mudah untuk dipahami karena plotnya yang kronologis.

Dibintangi oleh Anya Taylor-Joy, film ini memiliki kualitas screenplay, sinematografi, hingga akting teatrikal yang berhasil menciptakan pengalaman horor artistik. Tidak terlalu banyak ‘easter egg’ atau teka-teki yang harus kita ungkap, just enjoy the show.

Roma (2018)

“Roma” karya Alfonso Cuaron merupakan film hitam putih modern yang sempat berjaya pada 2018 silam. Mulai dari mendominasi Venice Film Festival hingga Oscar 2019. Banyak orang mungkin cukup bosan dengan “Roma” yang bisa dibilang sebagai “artistic documentary”. Dan sah-sah saja jika kita merasakan hal tersebut, karena “Roma” memang dibuat oleh Alfonso berdasarkan visi pribadinya, Ia ingin menjadikan memori masa kecilnya dalam sebuah film yang artistik, bukan mencuri hati penontonnya.

“Roma” memiliki sinematografi hitam putih yang artistik dan teknik kamera yang khas pada saat film ini keluar.

Requiem for a Dream (2000)

Bukan film yang akan kita tonton dua kali, “Requiem for a Dream” menjadi film arthouse ikonik yang setidaknya patut kita tonton sekali seumur hidup. Mengandung konten yang disturbing, arthouse satu ini hendak mewujudkan mimpi buruk yang sempurna, konsekuensi buruk yang menanti dari keputusan yang salah.

Meski dengan visual yang terasa surreal dan bikin pusing, secara keseluruhan plot dari “Requiem for a Dream” termasuk mudah untuk disimak hingga akhir.

Frances Ha (2012)

Cukup serupa dengan “Roma”, “Frances Ha” merupakan film hitam putih yang mengikuti kehidupan protagonis, Frances yang diperankan oleh Greta Gerwig, disutradarai oleh pasangannya kala itu, Noah Baumbach. Tidak terlalu membosankan, film bertema quarter-life crisis ini memiliki visual yang artistik dengan segala kesederhanaannya, namun ceritanya relevan dan sangat mudah untuk diilhami.

What They Don’t Talk About When They Talk About Love (2013)

Ada juga film arthouse dari industri film lokal yang bisa kita tonton dan mudah dipahami. “What They Don’t Talk About When They Talk About Love” bisa dikategorikan sebagai arthouse film karena konsep visualnya yang jelas berbeda dengan film generik lokal pada umumnya. Nuansa arthouse sangat terasa dalam penulisan naskah dan plotting film dengan alternative side-story.

Bagi kita penonton dengan lima indera yang sempurna, menonton film karya Mouly Surya seakan membawa kita untuk memahami dunia yang baru; dunianya orang yang mempunyai disabilitas.

Bayu Biru (2005)

Satu lagi film arthouse Indonesia yang bisa kita tonton adalah “Bayu Biru” yang dibintangi oleh Tora Sudiro. Bercerita tentang seorang pekerja di department store yang memutuskan untuk pulang setelah bertahun-tahun meninggalkan rumah. Dengan kalimat kunci ‘terkadang apa yang kita ingat belum tentu kenyataan’, “Banyu Biru” hendak membuat film yang mengeksplorasi father-issue dengan cara yang tidak konvensional.

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect