“Melancholia” (2011) merupakan film karya sutradara Lars von Trier, dibintangi oleh Kirsten Dunst dan Charlotte Gainsbourg. Dalam film ini, Melancholia adalah nama planet biru yang secara perlahan diperkirakan akan menghantam bumi.
Melalui perspektif kakak beradik, Justine dan Claire, kita akan melihat perbedaan keduanya dalam mengilhami fenomena yang bisa menjadi akhir dari dunia. Meski masuk dalam kategori film fiksi ilmiah, dimana planet asing menjadi bintang utama, “Melancholia” lebih kental dengan nuansa drama dan estetika arthouse film.
Gambaran Akhir Dunia yang Menawan sekaligus Depresif dari Lars von Trier
Film dimulai dengan berbagai cuplikan slow motion yang dramatis dan theatrical. Ada sekitar 10 menit pertama kita akan melihat berbagai adegan dengan musik latar saja. Dimana sebetulnya berbagai sekuen adegan pada bagian prolog sudah memberikan pertunjukan besar akan plot dari “Melancholia” dari awal hingga akhir. Namun, sepertinya Lars memang tidak berniat menyajikan film dengan skenario yang monumental apalagi mengandung plot twist.
Akhir dari film ini juga cuma ada dua kemungkinan yang bisa kita tebak; dunia benar-benar hancur karena tertabrak planet biru, atau semuanya hanya paranoia yang akan berakhir. Dua objek utama yang hendak dieksplorasi adalah bagaimana kondisi mental manusia dalam situasi tersebut. Lars menggunakan visual sebagai media utama untuk menunjukan “keindahan” ketika bumi sudah menemui ajalnya.
Setelah prolog, kita akan memasuki babak pertama film yaitu pernikahan Justine. Mulai dari gaun pernikahan, lokasi pesta di sebuah mansion, hingga ambient yang dihadirkan sangat cantik untuk dipandang. Kental dengan nuansa klasik yang hangat dan elegan.
Meski dalam babak ini semua tampak bahagia, dari adegan interaksi pertama kita sudah bisa merasakan ada yang salah bersembunyi tak jauh dari balik permukaan pesta pernikahan yang tampak indah. Setiap frame nyaris sempurna seperti lukisan klasik berjudul ‘pesta pernikahan Justine’. Namun secara perlahan, kebahagian yang berusaha diukir justru berubah menjadi kenyataan yang sudah kita nanti-nanti.
Konsep dari fenomena planet biru juga singkat dideskripsikan dalam teori fiksi dengan indah. Diberi nama “Dance of Death”, alias tarian kematian antara planet Bumi dengan planet Melancholia.
Memahami Dua Jenis Manusia dalam Menghadapi Akhir Dunia
(Slight Spoiler)
Sebagai dua karakter utama, Justine (Kirsten Dunst) dan Claire (Charlotte Gainsbourg) tampil sebagai representasi dari dua kondisi kejiwaan manusia yang menghadapi apocalypse. Justine menjadi contoh orang dengan keadaan depresi serius.
Sebagai orang yang sudah putus asa dan tidak punya semangat hidup, Justine tampil sebagai pribadi yang lebih lapang dada untuk menerima bencana yang berpotensi memusnahkan planet dimana Ia hidup. Gambaran ini tidak ada bedanya dengan orang-orang dalam masyarakat kita yang mengalami depresi.
Bahkan tak sedikit dari mereka yang berani untuk mengakhiri hidupnya. Bentuk lapang dada Justine dalam menerima takdir bumi digambarkan dengan sendu membiru yang secara ajaib menenangkan. Meski didasari dengan rasa putus asa dan depresi yang mendalam, ironisnya hal tersebut justru mampu membuat manusia siap dan santai pada detik-detik terakhir.
Sebaliknya, Claire menjadi representasi orang yang normal, dengan kehidupan yang normal, mempunyai suami mapan dan anak yang Ia cintai. Claire tak rela jika dunia harus berakhir. Ia diperlihatkan selalu mengalami paranoia dan tak sanggup menghadapi fenomena tabrakan Bumi dengan Melancholia. Claire tidak seperti Justine yang sudah mati rasa.
Sebagai manusia, nalurinya untuk bertahan hidup masih sangat tinggi. Hal tersebut justru berdampak pada kegilaan dan kepanikan yang sia-sia. Sebagai manusia normal yang masih memiliki mimpi, dengan kehidupan yang stabil, dan masih bisa mencintai orang lain, berapa banyak dari kita yang bisa siap ketika ajal harus tiba lebih cepat dari yang kita duga?
Pada akhirnya, “Melancholia” bukan tentang plot atau kisah yang kronologis. Mengetahui apakah teori ‘Dance of Death’ akan terjadi antara Bumi dan Melancholia bukan tujuan akhir dari film ini. Namun bagaimana kesempatan ini digunakan untuk memahami kondisi mental manusia dalam menghadapi akhir dunia.
Konten depresi yang menjadi bagian dari cerita juga secara ajaib dikemas sebagai sesuatu yang indah dan menawan. Jatuhnya tidak terlalu depresif, namun menunjukan sikap lapang dada yang dramatis.