Semenjak pandemi, menonton film di streaming platform sudah menjadi hiburan sehari-hari. Meski masa karantina ketat sudah berakhir, gaya hidup streaming film telah menjadi bagian besar dalam alternatif hiburan kita yang tak akan menghilang. Semakin banyak juga film yang rilis di streaming platform.
Tak hanya Netflix Originals, kini ada Hulu, hingga film-film dari studio besar seperti Marvel dan Warner Bros. yang menjadi streaming platform sebagai alternatif perilisan untuk menekan budget distribusi.
Padahal, tak lantas semua film terasa berkesan jika ditonton di layar laptop, TV atau smartphone saja. Hal ini masih menjadi nilai yang dipertahankan oleh sutradara-sutradara Hollywood yang idealis. Mereka tak ada salahnya, memang ada banyak film yang akan memberikan kesan berbeda jika ditonton di layar lebar. Berikut sederet film streaming yang seharusnya lebih seru jika ditonton di layar lebar.
The Dig
“The Dig” merupakan film Netflix Original yang dibintangi oleh Ralph Fiennes dan Carey Mulligan. Belatar di Suffolk, Inggris pada 1939, film ini merupakan karya biopik sinematik tentang Basil Brown, seorang arkeolog amatir yang menemukan kapal peradaban Anglo-Saxon. Proyek galian ini memiliki peran yang besar pada sejarah Dark Ages peradaban manusia.
“The Dig” disajikan dengan sinematografi yang menggugah sesuai arahan Mike Eley. Didominasi dengan warna-warna earth tone yang hangat, mengeksploitasi keindahan latar syuting yang sebagian besar diambil di Suffolk, nyaris berdekatan dengan situs penggalian asli dalam kisah ini. Ada banyak frame wide angle yang membuat kita rindu bioskop. “The Dig” merupakan salah satu jenis film yang patut ditonton di layar lebar untuk pengalaman maksimal.
The Power of the Dog
“The Power of the Dog” merupakan salah satu film terbaik 2021 lalu. Dibintangi oleh Benedict Cumberbatch, tentang seorang cowboy di Montana pada 1925. Film arahan jane Campion ini memiliki narasi visual yang kuat. Perlu memperhatikan setiap adegan untuk memahami keseluruhan plot.
Sayang sekali kita tidak bisa melihat film ini di bioskop lokal untuk sekarang. Sinematografi yang menonjolkan pesona perbukitan di New Zealand memberikan keindahan sinematik yang dijamin menggugah penontonnya jika ditonton di layar lebar. Setidaknya disarankan untuk menonton “The Power of the Dog” di layar televisi atau PC, karena sayang banget kalau cuma nonton di layar smartphone.
The Gray Man
“The Gray Man” merupakan Netflix Original bergenre laga dengan hype yang sangat tinggi beberapa bulan lalu. Meski sayang ceritanya tidak terlalu berkesan, film garapan Russo bersaudara ini setidaknya diproduksi untuk tampil di layar lebar.
Buat yang cukup puas dengan film laga penuh ledakan dan adegan bertarung yang epic, “The Gray Man” akan lebih maksimal ditonton di layar lebar. Karena kalau tidak, film ini sama sekali tidak banyak menyuguhkan keseruan dalam aspek lainnya. Ada banyak wide shot, hingga pergerakan kamera drone yang dramatis untuk mengekspos setiap lokasi baru dalam petualangan Six yang diperankan oleh Ryan Gosling.
Prey
“Prey” merupakan film prequel dari franchise “Predator”, berlatar 300 tahun sebelum film pertama yang dibintangi oleh Arnold Scwahneger. Menjadi satu-satunya orang yang menyadari kehadiran makhluk asing di hutannya, Naru nekad berburu sendiri sekaligus membuktikan dirinya pada orang-orang yang selama ini meremehkan kemampuannya. Padahal ada banyak film ‘Predator’ terbaru beberapa tahun belakangan dengan rating rendah yang tetap tayang di bioskop. Dengan kualitas produksi yang dipresentasikan oleh Hulu Original ini, harusnya “Prey” layak banget masuk bioskop.
Berbeda dengan film ‘Predator’ lainnya dengan kecanggihan senjata dan militer melawan makhluk asing yang tak lihai dalam berburu, “Prey” memiliki latar peradaban tribal yang etnik. Panorama alam yang masih murni sebagai latar orang-orang suku asli dengan peralatan berburu seadanya, menciptakan fusion tema dengan kecanggihan alien yang sangat menarik secara sinematik.
The Summit of the Gods
Tak hanya film live action, ada banyak film animasi juga akan terasa lebih menarik jika ditonton di layar lebar. Salah satunya adalah film animasi Prancis’ “The Summit of the Gods”. Film ini diadaptasi dari manga Jepang tentang seorang pendaki gunung yang hendak mendaki Gunung Everest dengan perasaan bersalah yang masih menghantuinya.
Sebagai film tentang pendakian gunung, ada banyak panorama pegunungan yang ditampilkan sangat indah dalam animasi bergaya realistis ini. Bukan jenis pendakian dengan motivasi menaklukan puncak tertinggi yang heroik, “The Summit of the Gods” merupakan kisah yang emosional, dijamin mengunggah penontonnya dengan keagungan latar Gunung Everest.
Bubble
“Bubble” menyajikan ilustrasi dan animasi berkualitas tinggi yang memenuhi ekspektasi penontonnya. Bagi yang datang dari fandom “Attack on Titan”, kita akan dimanjakan dengan aksi parkour yang kurang lebih sama konsepnya dengan aksi scout regiment dan survey corps dengan 3D maneuver gear.
Dengan durasi film 1 jam 40 menit, ada banyak porsi adegan sekuen parkour yang memuaskan penonton. Dipadukan dengan musik latar originalnya, “Bubble” sepertinya akan lebih maksimal jika ditonton di layar lebar. Karena film animasi merupakan salah satu karya visual yang sangat kuat secara estetika visual dan musiknya, ceritanya sebetulnya biasa saja.
The Sea Beast
Film animasi anak yang sempat trending di Netflix beberapa waktu lalu, banyak setuju “The Sea Beast” pasti akan lebih seru kalau ditonton di layar lebar. Penampakan monster laut yang super besar dalam setiap adegannya tidak main-main serunya. Film animasi terlihat sangat memaksimalkan gambaran monster laut dengan ukuran yang tidak masuk nalar. Bisa jadi stimulasi visual yang membangkitkan antusiasme penonton, terutama anak-anak.
Setiap adegan pertarungan dengan monster laut dalam skala besar juga dieksekusi dengan arahan yang maksimal. Mulai dari arahan animasi hingga koreografi gerakan setiap pemburu dalam satu misi diatur secara detail.
The White Tiger
“The White Tiger” bisa jadi film berlatar India terbaik yang ada di Netflix hingga saat ini. Film bergenre neo noir ini bercerita tentang seorang pemuda dari kasta rendah yang bekerja untuk juragan tanah yang kaya raya. “The White Tiger” bisa jadi film berlokasi di India dengan sinematografi terbaik sejauh ini.
Kebanyakan film berlokasi di India menampilkan latar di kota yang ramai dan kumuh dengan formula yang masih kurang sempurna. Otentik, namun kurang sedap dipandang mata. Paolo Carnera sebagai sinematografer telah melakukan kerja bagus untuk menyajikan visual berkualitas tinggi pada film ini.
Ada banyak warna, filter, dan desain frame yang diaplikasikan dalam film ini, namun hasilnya sangat pas dan tidak overwhelming. Mulai dari lokasi-lokasi underground city dengan lampu neon, hingga lokasi VIP dengan segala kemewahan yang kontras dengan daerah pinggiran kota.
The Night House
“The Night House” menjadi film horor dengan narasi visual yang juga kuat. Setiap misteri, teka-teki, dan pemahaman plot dipresentasikan dalam setiap adegan yang detail. Bercerita tentang seorang wanita yang ditinggal suaminya bunuh diri tanpa alasan jelas. Ia mulai menguak misteri supranatural yang disimpan oleh rumah tempat tinggalnya yang dibangun oleh suaminya tersebut.
Ada banyak ‘penampakan’ yang dihadirkan secara subtle, memanfaatkan arsitektur hunian bagai puzzle dan maze. Mungkin kalau cuma nonton melalui layar kecil, ‘penampakan’ yang sebetulnya menakutkan sekaligus tricky tidak akan kelihatan.
The Irishman
Semenjak film ini rilis pertama kali di Netflix, Martin Scorsese selayak sutradara memohon agar kita tidak menonton filmnya ini via smartphone. Film bergenre mafia ini memiliki durasi yang cukup panjang selama 3 jam. Selain tidak boleh ditonton di layar kecil, sutradara senior juga menyarankan penonton untuk menonton “The Irishman” dalam satu dudukan, dari awal hingga akhir. Jangan di-pause apalagi dipisah menjadi dua atau lebih sesi menonton layaknya serial.
Meski terdengar nitpicky, Scorsese ada benarnya juga dalam tips menikmati film di platform streaming agar tetap sama serunya dengan menonton di bioskop.