Connect with us
The Summit of the Gods Review
Photo: Netflix

Film

The Summit of the Gods Review: Pendakian Melodrama Menuju Puncak Tertinggi

Film animasi Prancis adaptasi manga Jepang yang emosional dengan naskah terbaik.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Kegiatan Mendaki gunung, apalagi mendaki gunung tertinggi di dunia seperti Gunung Everest, seringkali memancarkan energi penuh optimisme, petualangan yang memacu adrenalin, sebuah agenda penaklukan yang hebat.

Mengapa para pendaki gunung terus berjalan, terus mendaki, apa yang mereka cari di puncak gunung tertinggi? “The Summit of the Gods” menjadi film animasi yang hendak mengajak kita untuk mengungkap jawaban yang tidak bisa dijelaskan oleh pernyataan lisan saja.

Diadaptasi dari manga Jepang karya Jiro Taniguchi, “The Summit of the Gods” (Le Sommet des Dieux) diproduksi oleh studio animasi Prancis, Folivari dan disutradarai oleh Patrick Imbert. Film animasi dieksekusi dengan dubbing sepenuhnya dalam bahasa Prancis.

Kita akan mengikuti seorang fotografer bernama Makoto Fukamachi, mengejar Habu Joji, pendaki gunung berbakat yang menghilang dari media setelah masa lalu yang tragis. Selain menginginkan sebuah pocket camera yang menjadi saksi menghilangnya pendaki terkenal yang menghilang, George Mallory dan Andrew Irvine, Fukamachi juga menginginkan jawab dari Habu Joji; apa yang membuat pendaki gunung ingin mencapai puncak Everest meski nyawa harus menjadi taruhannya?

The Summit of the Gods

Photo: Netflix

Animasi Minimalis Didukung dengan Naskah yang Menggugah

Tak kalah dengan produktivitas industri animasi Jepang, studio animasi Prancis juga merupakan salah satu yang unggul dalam skala internasional. Salah satu kekuatan utama pada animasi Prancis adalah penulisan naskahnya yang sangat filosofis dan emosional.

Beberapa animasi kerap menggunakan media ini untuk memberikan pesan yang bersifat metafora, contohnya saja “I Lost My Body” (2019) atau “The Red Turtle” (2016) yang bekerja sama dengan Studio Ghibli. Namun “The Summit of the Gods” merupakan film animasi yang menyajikan materi cerita eksplisit. Bagi kita yang kurang menikmati film animasi dimana kita harus menemukan makna dibalik kisah, tenang saja, film bertema pendakian ini sangat mudah untuk disimak.

“The Summit of the Gods” memiliki gaya animasi yang sangat minimalis, memberikan garis tegas bahwa setiap adegan adalah peristiwa “nyata”. Hanya ada beberapa adegan yang diberi sentuhan surealis jika berhubungan dengan halusinasi atau mimpi yang dialami oleh setiap karakter. Kemungkinan berlatar pada era 90-an, ada banyak visual yang berhasil membangkitkan suasana estetika Jepang retro. Meski memiliki animasi yang artistik dan memenuhi standar, aspek tersebut bukan keunggulan utama dari film animasi ini. Keunggulan utama dari film ini adalah naskahnya.

The Summit of the Gods

Film seperti “Everest” (2015) menjadi ajang unjuk produksi dalam skala besar, dimana pendekatan yang diharapkan lebih pada pengalaman visual yang nyata dan memacu adrenalin. “The Summit of the Gods” tidak perlu mengumpulkan ratusan crew logistik dan aktor ternama untuk mewujudkan proyek film ini. Kita tak perlu diperlihatkan sajian live action memukau untuk memahami naskah sempurna yang diadaptasi dari novel Baku Yumemakura ini.

Naskah yang disajikan sangat menyentuh dan emosional, bahkan bisa dinikmati oleh kita yang bukan penggemar film animasi. Itu ‘lah yang seringkali menjadi keunggulan dari film-film animasi Prancis. Naskah yang sajikan sangat bermakna dan padat, mulai dari pertanyaan pada prolog, hingga jawaban tidak bisa kita bayangkan pada akhir film, terutama bagi kita yang bukan seorang pendaki gunung.

The Summit of the Gods

Penulis Naskah Memahami Betul Trivia Tentang Pendaki Gunung

Bisa jadi karena penulis naskahnya memiliki kecintaan yang besar serta menghargai sumber materinya, “The Summit of the Gods” menunjukan berbagai hal teknikal maupun filosofi dari sebuah kegiatan mendaki.

Kita jadi mendapatkan pengetahuan baru tentang hobi atau profesi satu ini. Mulai dari teknik memanjat tembok gunung yang curam, setiap peralatan dan perlengkapan yang digunakan, hingga keputusan logis yang harus diambil oleh seorang pendaki gunung dalam situasi genting. Kemudian kontradiksi antara keputusan logis dengan prinsip moral seorang pendaki yang disajikan dalam sebuah adegan tragis.

Penulis naskah film animasi sangat berhasil membuat penontonnya memahami mengapa mereka (para pendaki gunung) melakukan apa yang mereka lakukan, mengapa mereka rela meninggalkan pekerjaan konvensional untuk sebuah petualangan yang mempertaruhkan nyawa. Naskah yang ditulis tak hanya kuat secara dialog dan narasi, namun juga berhasil diterjemahkan menjadi storyboard yang memikat secara visual.

Habu Joji akan menjadi karakter utama yang kita simak kisahnya melalui Fukumachi. Bukan sebuah kisah yang heroik dan penuh dengan penaklukan hebat, Habu memiliki kisah sebagai pendaki gunung yang melodrama dan membuat kita merasa miris hampir sepanjang film.

Pada akhirnya, film ini tidak akan memberikan jawaban yang kita harapkan, tidak dalam rangkaian kalimat yang konkrit. Kita tidak akan pernah menemukan jawaban yang pasti, namun kita akan tahu ‘mengapa’, setelah menyimak kisah Fukumachi dan Habu Joji yang dalam “The Summit of the Gods”.

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect