Memasuki semesta “The Continental: From the World of John Wick”, menjadi pengalaman yang terasa familiar sekaligus menantang dengan ekspektasi baru. Dari segi pemasaran, spinoff ini termasuk yang neutral dalam menentukan segmemtasi; bagi penggemar berat John Wick sekaligus menyambut penonton baru dalam dunia kriminal bawah tanah dengan sistem operasi raksasa.
“The Continental” rilis di tengah momen tren spinoff-spinoff lain yang tak kalah populer. Mengingat kesuksesan “House of the Dragon” (Game of Thrones spinoff) dan yang baru saja rilis “Gen V” (The Boys spinoff). Standar untuk serial standalone dari judul induk kini memiliki standar yang cukup tinggi daripada sekadar fans service.
Salah satu, mungkin satu-satunya alasan besar dari antisipasi tinggi akan “The Continental” pastinya adalah kesuksesan franchise “John Wick” yang dibintangi oleh Keanu Reeves. Apalagi “John Wick: Chapter 4” masih segar di memori penontonnya. Meski dengan popularitas materi induknya, sudah terbukti berkali-kali bahwa spinoff yang sukses adalah spinoff yang mampu berdiri sendiri dan memiliki pesonanya sendiri.
John Wick adalah pria sederhana dibandingangkan dengan Winston Scott yang menjadi jagoan kita dalam “The Continental”. Segalanya tentang John Wick adalah balas dendam dan gun-fu. Sementara Winston Scott adalah pebisnis, manajer dan pemiliki hotel Continental.
Kembali ke 1970an, masalah yang ditimbulkan oleh kakaknya, Frankie (Ben Robson), membuat Winston Scott harus kembali ke New York, tepatnya hotel Continental yang dijalankan oleh Cormac (Mel Gibson). Dibagi menjadi tiga episode atau tiga babak, Episode pertama adalah awal mula masalah, yang memberikan alasan untuk Winston kemudian membentuk tim pada episode 2, dilanjutkan episode 3 menjadi babak klimaks pertarungan antara dua kubu di hotel Continental.
Sekuen Pertarungan dan Gun-fu dengan Cita Rasa John Wick
Jika ada satu aspek yang diturunkan dari “John Wick” ke “The Continental”, sekuen laga dalam serial ini jadi salah satu yang terbaik. Ada banyak, banyak sekali adegan pertarungan skala kecil maupun skala besar yang ditampilkan, terutama pada episode 2 dan puncaknya episode 3. Mulai dari koreografi, gaya bertarung setiap karakter yang unik, hingga gun-fu yang bertubi-tubi menjadi hiburan utama dalam serial ini.
Bukan karakter utama namun memiliki kontribusi dalam adegan bertarung yang seru, diantaranya Mark Musashi dan Marina Mazepa sebagai Hanzel and Gretel. Kemudian Jessica Allain sebagai Lou dan Jeremy Bobb sebagai Mayhew, pertarungan mereka di kotak telepon umum menjadi salah satu duel singkat namun ikonik.
“The Continental” juga unggul dari segi desain produksinya, mulai dari interior hotel Continental hingga jalanan New York pada era 1970an yang didramatisir. Dengan sampah berserakan dan sudut-sudut gelap, latar sempurna untuk aktivitas kriminal. Ada banyak aset original dari semesta “The Continental” dihadirkan dengan niat dalam latar. Sinematografi dan editing untuk setiap adegan juga kurang lebih sudah maksimal. “The Continental” terlihat sebagai serial mahal dalam segi visual dan pilihan lagu sebagai soundtrack-nya.
Terlalu Banyak Karakter Baru dan Balas Dendam Berantai
“The Continental” harusnya bisa lebih solid hanya dengan fokus pada Winston Scott sebagai protagonis dan Cormac sebagai antagonis, mungkin sedikit backstory dari Charon yang memiliki reputasi di mata penggemar. Namun serial ini memiliki lineup karakter yang overwhelming, terutama karena kreator tampak ingin membuat setiap karakter spesial.
Colin Woodell sebagai Winston Scott muda setidaknya berhasil menjadi protagois yang memikat dalam serial ini. Begitu pula Mel Gibson sebagai Cormac, pebisnis berdarah dingin. Diikuti dengan penampilan Ayomie Adegun sebagai Charon muda yang tetap tenang sebagai tangan kanan pemilik hotel, namun kali ini lebih menarik dengan backstory level permukaan.
“John Wick” memikat karena setia pada konsep narasi minimalis, objektif jelas, kemudian diisi dengan sekuen laga yang menjadi hidangan utama. Namun “The Continental” hendak mendorong semesta kriminal bawah tanah ini melampaui batasan tersebut. Sayangnya, justru menghasilkan narasi yang tidak fokus.
Pada akhirnya, ini masih tentang balas dendam, namun rantai balas dendam yang berkesinambungan (maupun benar-benar agenda yang terpisah) dari lineup karakter. Jujur saja akhirnya menciptakan plot yang membosankan dan terkesan dragging dalam tiga episode masing-masing berdurasi 1 jam 30 menit.
The Continental Seharusnya Lebih Immersive dari John Wick
“John Wick” adalah film yang hanya berpusat pada karakter titular, namun mampu membawa kita pada semesta neo-noir kriminal yang immersive. Sementara “The Continental” yang seharusnya lebih luas dari “John Wick”, hanya mampu memberikan sedikit tentang semesta yang diadaptasi. Kembali lagi, ini karena narasinya yang terlalu sibuk mengeksplorasi karakter-karakter baru yang bahkan tidak dipedulikan oleh penonton.
Dalam setiap film terbaru “John Wick”, akan terungkap lingkup kekuasaan yang semakin besar dan tinggi dalam sistemnya. Dalam “The Continental”, kehadiran The Adjudicator (Katie McGrath) dan High Table yang hanya disebut-sebut sepanjang episode hanya hadir sebagai hantu dengan deadline. Tak lebih dari itu.
Hal-hal kecil dalam semesta “John Wick” seperti dokter spesialisasi mengobati para kriminal, penjahit untuk jas anti peluru, hingga toko senjata yang menampilkan banyak pistol keren saja berkontribusi besar dalam membangun vibes semesta yang ikonik. Elemen-elemen ‘aksesoris’ demikian sangat minim dalam “The Continental” yang berusaha terlalu keras untuk menyajikan narasi lebih kompleks dalam segi drama.
Pada akhirnya, “The Continental” merupakan spinoff yang masih tidak bisa melampaui “John Wick”. Serial ini bahkan tak memberikan fans service yang maksimal. Meski memiliki beberapa aspek yang patut diapreasi secara kualitas, namun lebih banyak aspek yang dimodifikasi dan tidak tepat sasaran untuk memikat penonton secara solid.
“The Continental” boleh mengambil inspirasi dari semesta “John Wick”, namun lupa prinsip dasar dari kesuksesan franchise laga tersebut; world building megah sebagai wahana untuk plot yang minimalis dan fokus.
