Connect with us
Photo: James Shaw

Current Issue

Sutradara Hollywood vs. Platform Streaming Film

Alasan beberapa sutradara Hollywood anti Netflix dan platform streaming sejenisnya.

Menonton film melalui platform streaming sudah menjadi alternatif hiburan terbaru selama satu dekade ke belakang dan masih berlanjut. Semakin banyak platform streaming international maupun lokal hadir dengan pilihan paket berlangganan dengan tarif terjangkau.

Pada awal kemunculannya, platform streaming film seperti Amazon Prime, Netflix, Hulu, dan platform streaming international lainnya memiliki tarif cukup tinggi dengan sistem pembayaran cukup rumit bagi kita yang berada di Indonesia. Namun sekarang, memiliki akun Netflix atau Disney+ Hostar sudah sangat biasa dan bukan lagi fasilitas mewah yang hanya dimiliki masyarakat modern menengah ke atas. Belum lagi banyaknya platform streaming lokal seperti Vidio dan Mola TV yang lebih murah lagi.

Alternatif platform ini semakin bersinar dan sukses pada tahun 2020, dimana industri perfilman tak luput dari krisis distribusi maupun produksi. Setelah penundaan tanggal rilis yang berlarut-larut, beberapa film akhirnya memutuskan untuk rilis di platform streaming. Salah satu berita yang cukup sensasional adalah ketika Warner Bros. memutuskan untuk menjual seluruh judul film yang belum rilis ke HBO Max untuk segera dirilis tahun ini.

Setelah membuat beberapa sutradara Hollywood mengungkapkan kritik dan rasa keberataan, isu ini kembali menimbulkan perdebatan antara platform streaming film vs. sutradara Hollywood. Bukan pertama kalinya, ada beberapa nama sutradara kawakan yang sebelumnya telah mengkritisi model bisnis Netflix untuk mendistribusikan film. Lantas, apa sebetulnya alasan para sutradara papan atas ini anti Netflix dan “kawan-kawannya”?

Platform Streaming Tidak Memberikan Experience Seperti di Bioskop

Sebelum menyebut HBO Max sebagai “platform streaming terburuk”, Netflix sudah mendapat kritikan pedas terlebih dahulu dari Christopher Nolan. Melalui wawancaranya dengan GQ, sutradara dari film “Tenet” ini mengungkapkan bahwa Netflix memiliki model kebijakan tidak masuk akal.

“Mereka (Netflix) memiliki kebijakan tidak masuk akal dimana semuanya harus dirilis (di bioskop) dan distream secara bersamaan”, ungkap Nolan. Baginya, sebuah film seharusnya memiliki kesempatan untuk dirilis terlebih dahulu di bioskop, setidaknya selama 90 hari semenjak tanggal rilis (menurut standar film untuk kualifikasi Oscar).

Christopher Nolan Behind the Scenes of 'Tenet'

Christopher Nolan Behind the Scenes of ‘Tenet’ (Photo: Warner Bros. Pictures)

Nolan juga sangat menjunjung tinggi hak penonton untuk “mengalami” experience film dengan menonton di layar lebar. Memang banyak sutradara yang sangat mengimpikan film mereka untuk tampil di layar lebar, baik untuk alasan profit maupun nilai seni film yang juga melibatkan experience penonton untuk menontonnya di bioskop; dengan layar besar dan sound system dengan standard khusus.

Pendapat tersebut dilontarkan oleh Nolan pasca perilisan “Okja” karya Bong Joon-ho di Netflix pada tahun 2017 silam. Baginya, akan ada perbedaan besar dengan menonton film ini di layar lebar dengan di layar laptop berukuran 15 inch. Okja, sosok gajah raksasa tak akan memberikan kesan yang menggugah jika ditonton di layar laptop, dimana Nolan bisa jadi benar akan poin ini.

Baca Juga: Horror Masterpiece di Era Perfilman Modern: Ari Aster, Robert Eggers, Jordan Peele

Beberapa film memang didesain untuk memberikan pengalaman tertentu dengan ditonton di bioskop. Beberapa contoh film lain yang akan lebih maksimal ditonton di layar lebar adalah film 1917 (2019), Everest (2015), The Revenant (2015), dan masih banyak lagi. Christopher Nolan juga bersikeras bahwa film terbarunya “Tenet” wajib ditonton di layar lebar.

Tidak Menggunakan Tolak Ukur Kesuksesan Melalui Penjualan Tiket

Salah satu tolak ukur kesuksesan sebuah film adalah penjualan tiket bioskop, berapa banyak orang rela mengeluarkan kocek untuk menonton film tertentu. Hal ini sangat berarti bagi sutradara Hollywood dan rumah produksi. Penjualan tiket sebuah film akan dibandingkan dengan biaya produksinya. Hal ini sebelumnya menjadi hal yang sangat penting bagi media maupun peminat film.

Bagi yang masih ingat, beberapa koran atau majalah kerap memperbincangkan film yang ‘flip’ maupun ‘flop’ dengan perbandingan satu ini. Pastinya target setiap filmmaker adalah mendapatkan profit dari penjualan tiket melebihi biaya produksi. Baik film dengan budget besar maupun dengan budget minim. Film dengan budget kecil yang mendapatkan penghasilan berkali lipat tingginya juga kerap mendapat apresiasi lebih hingga menjadi headline di media-media tertentu.

Quentin Tarantino (Getty Images/Vittorio Zunino Celotto)

Menjadi film peringkat tinggi di Box Office juga menjadi prestasi tersendiri bagi seorang sutradara. Dimana sangat mudah diperoleh oleh sutradara Hollywood dengan nama besar. Bahkan pada skenario tertentu, misalkan sutradara kawakan seperti Quentin Tarantino merilis film yang tidak bagus sekalipun sangat memungkinkan tetap tembus Top 10 Box Office pada awal pekan perilisannya.

Sementara Netflix dan platform streaming sejenisnya sama sekali tidak mengadaptasi model bisnis tersebut. Seperti yang kita ketahui, dengan membayar tagihan berupa tarif setiap bulan, kita langsung mendapatkan akses untuk banyak film dan serial tak terbatas. Hal ini secara tidak langsung membuat film kualitas A+ seperti “The Irishman”, selevel dengan film rating paling rendah di platform tersebut.

Tak hanya soal kualitas, melainkan nama sutradaranya. Ketika sutradara papan atas memutuskan untuk merilis filmnya di platform streaming, mereka juga memiliki kesempatan sama dengan sutradara indie yang masih membangun nama mereka di industri perfilman.

Netflix Original Movie Bukan “Film” dan Tidak Layak Masuk Nominasi Oscar

Tak Hanya Christopher Nolan, sutradara Steven Spielberg juga memiliki pendapat tentang film-film yang rilis di platform streaming. Bagi sutradara film “Schindler’s List” ini, Netflix Original Movie bukan “film”. Baginya, ketika film memutuskan untuk rilis di televisi atau media internet, film tersebut tidak bisa disandingkan dengan film yang rilis di bioskop.

Statement ini merujuk pada komplain Spielberg tentang Netflix Original Movie yang tidak memenuhi kualifikasi untuk masuk dalam nominasi Oscar. Ada banyak alasan lain yang dijabarkan oleh Spielberg akan kritik tegasnya ini melalui Indiewire setelah “Roma” tembus Oscar. “Roma” karya sutradara Alfonso Cuaron berhasil membawa pulang tiga piala Oscar pada tahun 2019. Mulai dari Best International Feature, Best Director, dan Best Cinematography.

Steven Spielberg (Photo via nytimes.com)

Film-film yang rilis di platform streaming dirasa lebih cocok untuk masuk dalam ajang penghargaan seperti Emmy Awards yang memang didedikasikan untuk serial atau acara televisi, kini berkembang untuk serial yang rilis di platform streaming juga.

Pada akhirnya, alasan yang cukup menonjol dari isu ini adalah model bisnis yang berbeda antara bioskop dan platform streaming film. Kebanyakan sutradara Hollywood memiliki jalan yang mudah untuk memanjat tangga Box Office, hal tersebut tak lepas dari kerja keras mereka selama bertahun-tahun sebelumnya. Begitu juga keuntungan khusus untuk dengan mudah masuk nominasi Oscar. Sementara platform streaming memberikan “jalan pintas” untuk sutradara baru maupun indie untuk bersanding dengan sutradara papan atas.

Masalah menghadirkan experience spesial bagi penonton, hal ini sepertinya bukan masalah besar yang harus dikhawatirkan oleh sutradara. Faktanya, tak semua orang datang ke bioskop untuk menonton film dengan khidmat, bukan? Masih banyak penonton “awam” yang hanya masuk bioskop untuk nongkrong atau bahkan mengganggu penonton lainnya dengan main handphone dan berbicara dengan keras. Begitu pula sebaliknya, tidak semua penonton yang hanya menonton dari rumah tidak mengapresiasi sebuah karya film.

Seperti halnya media musik sudah berubah serba digital, atau orang tidak lagi harus memiliki status tinggi untuk menyaksikan konser orkestra, alternatif distribusi film juga mulai mengalami perkembangan dengan berbagai alternatif platform. Setiap alternatif tetap memiliki sisi positif dan negatif masing-masing, semua tergantung preferensi dari sutradara maupun penikmat film.

The Zone of Interest The Zone of Interest

The Zone of Interest: Penjelasan, Pesan, dan Kisah Nyata di Balik Film

Film

The Outfit The Outfit

The Outfit Review: Drama Gangster Klasik Berlokasi di Satu Tempat Penuh Misteri

Film

The Taste of Things The Taste of Things

The Taste of Things: Kuliner Prancis & Period Drama Romantis

Film

King Richard Review King Richard Review

10 Film Biopik Inspiratif & Memotivasi

Cultura Lists

Connect