Sudah menjadi pengetahuan umum ketika film-film fiksi lebih berjaya di pasaran. Fantasi yang ditawarkan hingga jalan cerita yang dianggap tak membosankan membuat karya fiksi digemari semua kalangan. Namun, kini film dokumenter telah menjadi tontonan lazim. Terutama karena kita tak perlu mengeluarkan biaya dengan membeli satu lembar tiket bioskop. Kita dapat menontonnya berkali-kali di rumah melalui layanan streaming.
Meningkatkan permintaan publik terhadap film dokumenter membuat pasar kembali bergairah. Para produsen film dokumenter bahkan mengaku mendapat tawaran dari calon pembeli yang sebelumnya tak pernah ada. Kita juga dapat melihat bahwa para penyedia layanan streaming menyediakan cukup banyak film dokumenter untuk dapat dinikmati. Netflix bahkan menerima piala Oscar dan BAFTA pertamanya dari film dokumenter, bukan serial televisi populer. Netflix dianggap berjasa karena mampu merevitalisasi industri dokumenter.
Baik Netflix maupun Amazon nampaknya berancang-ancang untuk lebih banyak memproduksi film dokumenternya sendiri. Para penyedia layanan streaming diketahui menyiapkan ruang lebih luas untuk menayangkan film dokumenter. Kebangkitan film dokumenter membuat para filmmaker mendapat tekanan baru untuk menyesuaikan idealisme mereka dengan selera pasar. Proyek mereka harus cukup komersial untuk mendulang banyak penonton. Meski demikian, mereka belum bisa mengharapkan pendapatan yang besar seperti layaknya film fiksi.
Industri hiburan di Australia mengambil langkah lebih ekstrim. Melihat peminat film dokumenter yang makin tinggi, Australia meluncurkan layanan streamingnya sendiri. Namun, ini adalah layanan streaming khusus film dokumenter yaitu iWonder. Meluncur sejak Maret 2019 lalu, iWonder menawarkan lebih dari 1,000 judul film dokumenter. Biaya yang dibebankan kepada pelanggan tiap bulan pun sama dengan yang umumnya diminta layanan streaming lain yaitu $6.99. Namun, adakah yang benar-benar mau berlangganan hanya untuk menonton dokumenter tiap hari?
James Bridges, chief executive dari iWonder, bersikap optimis. Berdasarkan data yang dimiliki ia menyebutkan bahwa rata-rata milenial berlangganan tiga hingga enam layanan streaming. Konsumen yang menjadi target justru adalah orang-orang yang telah berlangganan layanan streaming lainnya. James berpikir mereka akan menyadari bahwa layanan yang mereka bayar kurang mengakomodasi kebutuhan mengenai konten berkualitas. Di situlah iWonder akan tampil dengan konten-konten spesialnya. Strategi yang cukup unik meski berisiko.
Di luar itu, Netflix dan Amazon tengah memerebutkan Louis Theroux. Ia adalah seorang pembuat dokumenter yang selama ini telah bekerja sama dengan stasiun televisi BBC. Kabarnya, kontrak kerjasama Louis dengan BBC akan segera berakhir. Isu merebak bahwa Amazon menawarkan angka yang besar untuk dapat meraih Louis ke dalam genggamannya. Sementara itu Louis dianggap mungkin saja memilih Netflix karena hubungan personal keduanya. Namun dapat dipastikan beberapa karya Louis masih akan mengudara di BBC.
Sebenarnya perang memerebutkan Louis bukanlah hal aneh. Ia telah memproduksi film dokumenter di BBC sejak 1990-an. Artinya ia memiliki pengetahuan yang dalam soal pasar film dokumenter. Karyanya pun hampir tak terhitung jumlahnya. Selain memproduksi dokumenter di televisi, ia juga memproduksinya dalam skala layar lebar. Salah satu film layar lebarnya, My Scientology Movie, meraih pendapatan 1,1 juta euro.
Tantangan film dokumenter di Indonesia
Dikutip dari Katadata, Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) menyatakan ada tiga tantangan dalam pengembangan film dokumenter nasional. Ketiga hal adalah peningkatan kompetensi pembuat film, akses pembiayaan, serta fasilitas untuk mendapatkan tempat penayangan. Wakil Kepala BEKRAF Ricky Pesik menyatakan Indonesia harus memposisikan diri sebagai tempat perkembangan film dokumenter yang tepat, karena dokumenter adalah bagian penting dalam ekosistem perfilman.
BEKRAF memilih melakukan perbaikan ekosistem film dokumenter dari para pembuat film terlebih dahulu. Alasannya, infrastruktur untuk industri film dokumenter belum berlangsung secara tepat. “Porsi industri yang peduli film dokumenter sangat kecil, tetapi potensi pembuat film sangat besar,” ujarnya. Menurut Ricky, pola stasiun televisi di luar negeri sudah lebih berkembang karena memiliki alokasi khusus untuk film dokumenter. Selain itu, pertumbuhan platform digital cukup agresif dan membutuhkan banyak konten yang bisa memenuhi permintaan global. Ini menjadi peluang film dokumenter bisa berkembang. Selain platform digital, film dokumenter sangat bergantung pada selera masyarakat dan investor. Indonesia juga memiliki nilai budaya dan sosial yang menarik minat pasar asing.
Indonesia mampu memproduksi lebih banyak film-film dokumenter berkualitas sebagai refleksi sosial serta media edukasi. Dengan makin banyaknya filmmaker muda berbakat dan perkembangan teknologi yang semakin pesat, diharapkan akan lebih banyak juga investor yang mau mendanai film dokumenter.