Film horror kerap dipandang sebelah mata karena memiliki materi cerita rekayasa dan tidak dekat dengan realita kehidupan. Apalagi untuk peradaban masyarakat modern yang semakin menyepelekan keberadaan makhluk halus. Film horror akhirnya cuma bisa dinikmati oleh penonton yang mudah takut, cukup dengan jumpscare dan sosok penampakan yang mengerikan.
Genre horror jadi kurang diapresiasi sebagai karya seni film, melainkan sekedar produk komersial di bioskop. Memang ada beberapa judul klasik yang mampu menembus penghargaan bergengsi Oscar, seperti The Exorcist (1973) dan Rosemary’s Baby (1968). Namun ada jedah cukup lama dalam industri film menanti kebangkitan film horror berkualitas memasuki era perfilman modern.
Martabat film horror kembali mencuat beberapa tahun belakangan ini. Mulai muncul bibit-bibit baru sutradara spesialis horror dengan ciri khasnya masing-masing. Setidaknya ada tiga nama sutradara yang akan kita bahas kali ini; Ari Aster, Robert Eggers, dan Jordan Peele.
Ketika sutradara lain sibuk mengadaptasi materi lama atau terus bermain dalam template kisah horror yang generik, ketiga sutradara ini menciptakan film horror dengan naskah original. Setara dengan Christopher Nolan yang dikenal sebagai master film suspense memutar otak, atau Quentin Tarantino yang khas dengan film laga eksentrik dengan kekerasan, ketiga sutradara baru ini memiliki karir yang menjanjikan sebagai sutradara spesialis film horror yang bermutu.
Sama-sama mencintai genre horror, ada signature atau cita rasa khas yang berbeda dari tiga bakal master horror terbaru ini. Membuat nama ketiganya paling menonjol diantara sutradara film bergenre serupa lainnya. Mari kita bahas bagaimana Ari Aster, Robert Eggers, dan Jordan Peele menemukan formula tetap untuk menciptakan film horror di industri film modern.
Ari Aster: Versi Terbaik dari Genre Horror Sekte
Hereditary (2018) menjadi film horror debut dari Ari Aster. Rilis di bawah naungan rumah produksi A24, Hereditary sudah mencuri perhatian para penikmat film setelah dipromosikan melalui press dan trailer pertamanya. Hal ini awalnya karena kredibilitas A24 yang selalu memproduksi film-film berkualitas di industri perfilman modern.
Kredibilitas itu pun terbukti dengan kualitas film Hereditary yang patut diberi apresiasi. Materi horror sekte dan ikatan keluarga yang dihadirkan dalam film ini berhasil membuat penonton merasa gelisah dan tidak nyaman. Tidak mengandalkan banyak jumpscare, namun hint-hint kecil seperti suara Charlie memainkan lidahnya mampu membuat kita merinding.
Kesuksesan Hereditary memicu kreativitas Ari Aster yang semakin totalitas dengan lahirnya Midsommar (2019). Masih mengangkat materi horror sekte, Midsommar memiliki latar belakang cerita yang lebih kaya. Sejarah dan fakta-fakta seputar komunitas pagan saja tak cukup untuk dieksplorasi dalam film berdurasi 148 menit ini. Namun tetap berhasil ditampilkan dengan porsi yang tepat untuk melengkapi plot film.
Kita bisa melihat dedikasi dan proses research Ari Aster saat menulis naskah Midsommar. Ada banyak referensi kebudayaan, kepercayaan, dan mitos yang lebih kompleks. Midsommar juga memiliki konsep yang bertolak belakang dari stereotip film horror pada umumnya. Kita semua pasti setuju dengan produksi film Midsommar yang maksimal, indah, dan menawan.
Meski dengan keindahan alam Swedia dan ornamen-ornamen yang didominasi dengan bunga warna-warni, penonton secara ajaib bisa merasakan kengerian dalam film ini. Aster membuktikan kekuatan spesialnya dalam menciptakan kisah horror dalam titik ini; Ia tidak butuh kegelapan dan scoring ekstra untuk menghadirkan teror pada penontonnya.
Ari Aster juga selalu beruntung mendapatkan aktris dengan penampilan terbaik sebagai protagonis dalam filmnya. Lihat penampilan Toni Collette dalam Hereditary dan Florence Pugh dalam Midsommar, keduanya selalu berhasil menampilkan akting kesedihan yang anomali, suara tangisan mereka saja mampu membuat penonton bergidik ketimbang iba. Keduanya juga mampu memberikan mimik muka yang emosional dan ikonik, menyakinkan kita tentang perasaan yang sedang mereka rasakan.
Robert Eggers: Adaptasi Kisah Legenda dengan Produksi Maksimal
Robert Eggers debut dengan film durasi penuh pertamanya, The Witch (2015). The Witch diangkat dari legenda penyihir wanita dengan latar waktu abad ke-17 di New England. Sudah banyak film horror adaptasi legenda yang dieksekusi oleh banyak sutradara, namun Eggers memiliki formula tepat untuk mengeksekusi materi tersebut. Ia tidak berusaha keras untuk mengkombinasikan legenda dengan peradaban modern, namun secara sederhana membawa penonton kembali pada masa legenda tersebut adalah teror supranatural yang nyata.
Membawa penonton modern melalui perjalanan waktu harus didukung dengan produksi maksimal dan tidak main-main. The Witch memiliki produksi dan visual yang disesuaikan dengan latar waktu lama yang dipilih. Mulai dari desain kostum, pemilihan lokasi, hingga penokohan karakter yang menyakinkan. Kemudian dikemas dengan penulisan dialog dan sinematografi yang artistik. Setiap aktor dalam film The Witch juga sangat kompak memberikan penampilan terbaik mereka.
Eggers terus mengasah sense of horror-nya, kita bisa melihat bahwa Ia menyukai kisah legenda, Ia mencintai dimensi horror satu ini. Kembali mengangkat film dengan latar waktu lawas, The Lighthouse menjadi salah satu film critical-acclaim pada tahun 2019 lalu. Film yang dibintangi oleh Robert Pattinson dan Willem Dafoe ini mengangkat kisah tentang dua penjaga mercusuar pada tahun 1890-an. Ada banyak referensi mitos seputar legenda laut yang diadaptasi dalam film ini, misalnya nasib buruk jika menyakiti burung camar, hingga penampakan putri duyung dan Poseidon, dewa penguasa lautan. Digabungkan menjadi satu dengan plot misteri thriller yang dekat dengan realita dalam kisah kedua penjaga mercusuar malang tersebut.
Jordan Peele: Kembali Mempopulerkan Segmentasi Black Horror
Jordan Peele merupakan seniman yang mampu membuat kita tertawa sekaligus ketakutan. Siapa sangka komedian asal Amerika ini memiliki imajinasi gelap dan mampu menulis naskah horror original yang mengerikan. Get Out (2017) menjadi karya debut sebagai sutradara film horror. Film tersebut diakui kualitasnya oleh Academy Award dengan membawa pulang penghargaan Best Original Screenplay pada tahun 2018 lalu.
Jordan Peele kembali mencetuskan trend black horror di industri perfilman Hollywood. Aktor kulit hitam memiliki sejarah selalu mati duluan dalam film horror Hollywood. Para warga keturunan kulit hitam ternyata cukup tersinggung dengan penulisan naskah demikian. Oleh karena itu, black horror merupakan subgenre dari horror yang lebih menyenangkan untuk ditonton oleh penonton kulit hitam.
Isu rasial di Amerika memang sebesar ini gapnya, hingga karya seni saja dikategorikan berdasarkan ras aktor dan penontonnya. Tidak terlalu banyak film black horror klasik yang mungkin kita kenal, Peele pun muncul sebagai sutradara yang hendak membuat genre ini kembali relevan. Get Out memiliki kisah yang tidak lepas dari isu rasial. Disajikan dengan penulisan yang cerdas sebagai kritik satire tanpa menyakiti ras manapun.
Black horror masih menjadi root dari film kedua Jordan Peele yaitu Us (2019). Film satu ini sebetulnya memiliki pengembangan cerita yang tidak sebagus Get Out, namun tetap masuk dalam kategori film horror berkualitas. Peele kembali menuangkan kreativitasnya dengan menciptakan karakter horror baru yang ikonik yaitu Red dan sesama kaumnya. Sosok berseragam merah dengan senjata gunting emas yang kontras dan mencolok dalam setiap adegan.
Berbeda dengan Ari Aster dan Robert Eggers yang masih mengambil referensi dari sekte atau legenda yang sudah ada, Jordan Peele ibarat Stephen King yang memiliki semesta horrornya sendiri; Ia melihat horror dari sudut pandang seorang keturunan kulit hitam di Amerika Serikat. Sekarang akhirnya banyak sutradara yang merilis film black horror, bukan? Jordan Peele perlu diapresiasi sebagai seniman yang memicu semangat sutradara lainnya dalam mempopulerkan genre horror ini.
Itu tadi analisa singkat bagaimana Ari Aster, Robert Eggers, dan Jordan Peele menciptakan masterpiece horror mereka. Setiap sutradara berhasil menemukan signature mereka dan setidaknya masih dipertahankan pada dua film mereka sejauh ini. Semoga ketiga filmmaker ini terus menghasilkan film horror berkualitas yang memenuhi ekspektasi kita.