“Heart of Stone” merupakan film Netflix Original terbaru yang dibintangi oleh Gal Gadot, Jamie Dorman, dan Alia Bhatt. Disutradari oleh Tom Hoper, film laga bertema agensi spionase ini hendak membawa kita ke dalam semesta yang cukup baru.
Setelah mengenal agensi-agensi rahasia seperti FBI, CIA, hingga MI6, hadir Charter sebagai organisasi rahasia yang memiliki tingkat kesuksesan lebih tinggi dalam melakukan operasi dengan panduan kecerdasan buatan (A.I.) mutakhir bernama Heart.
Rachel Stone adalah double agent yang berkerja untuk MI6 dan Charter. Dilatih untuk tunduk pada panduan Heart yang objektif dan logis, dalam keadaan yang bertentangan dengan panggilan hatinya, Stone memutuskan untuk melakukan hal radikal demi melindungi Heart agar tidak jatuh ke tangan yang salah.
Agensi Charter, Teknologi A.I. Mutakhir, dan Agen Stone
Melihat keterlibatan teknologi A.I. supercanggih yang kembali diperebutan melalui premisnya, “Heart of Stone” mengingatkan kita pada “Mission: Impossible – Dead Reckoning Part One” yang sukses di bioskop. Membuat film terbaru ini jadi terlihat seperti versi rip-off-nya. Meski bisa diasumsikan bahwa kesamaan konsep ini bisa jadi kebetulan, karena keduanya berada periode produksi yang hampir sama. “Heart of Stone” pun sebetulnya masih memiliki kesempatan dengan menghadirkan Charter.
Charter adalah agensi rahasia paling rahasia dalam semesta ini, didirikan sebagai benteng terakhir pemerintah dalam mempertahankan keamanan global. Hal ini karena mereka memiliki akses akan senjata A.I. paling mutakhir yang bisa merentas sistem di mana pun, kapan pun, bernama Heart. Charter juga diperlihatkan memiliki struktur organisasi dengan simbol-simbol kartu remi.
Agen Rachel Stone yang diperankan oleh Gal Dot adalah agen lapangan dengan nama 9 Heart. Kemudian dihirearki yang lebih tinggi ada Jack, Queen, dan King. Ada twist juga yang menarik dari konsep ini pada akhir film.
Namun konsep ini hanya menjadi latar dalam skenario, kualitas film tetap bergantung pada kualitas naskah dan eksekusi plot. Sayangnya, latar yang sudah menarik mengalami kemunduran daya tarik seiring berjalanan plot. Misi demi misi tidak diaplikasikan dengan rapi untuk nyaman disimak.
Eksekusi Babak Misi Kurang Monumental dan Tidak Memikat
Film action lebih dari sekadar bintang utama yang mempesona dan budget tinggi untuk menyajikan lokasi keliling dunia yang megah. Tanpa skenario dan arahan adegan yang dramatis, semuanya hanya buang-buang budget. Setelah “Red Notice” (yang juga dibintangi Gal Gadot) dan “The Gray Man” yang dibintang Ryan Gosling, “Heart of Stone” juga memiliki masalah yang sama. Lokasi boleh keliling dunia, permainan kamera dan drone boleh dramatis, namun presentasinya tidak memikat dan monumental.
Kalau melihat film-film spionase terbaik seperti “Mission: Impossible” dan ‘James Bond Series’ setiap babak misi memiliki arahan kamera dan narasi yang dapat suspense-nya. “Heart of Stone” tidak berhasil menghadirkan ketegangan yang sama. Sebetulnya babak opening hampir sempurna dalam menghadirkan adegan misi, namun akhirnya terasa antiklimaks. Semangat laga seiring berjalannya plot semakin menurun dan membosankan menuju akhir.
Transisi antar babak satu ke babak lainnya terlihat kurang fokus. Karena setiap babak juga semakin tidak berkesan, penonton bisa kehilangan arah plot. Karena setiap babak action hanya asal kencang, asal ramai, dengan baku tempak dan koreografi bertarung yang semakin tidak terstrukur.
Penampilan Akting dan Kualitas Produksi Serba Standar
Sebagai double agent Rachel Stone, penampilan Gal Gadot termasuk standar. Ini tidak membuat Agen Stone menjadi karakter yang ikonik dalam debutnya. Sebagai double agent, Gal Gadot juga tidak memiliki penampilan yang membedakan perannya. Dalam skenario ini dibutuhkan penampilan akting yang subtle, dimana sebetulnya lebih sulit dan teknik akting demikian bukan menjadi kekuatan utama Gal Gadot sejauh ini.
Alia Bhatt sebagai ‘guest star’ dalam “Heart of Stone” juga biasa saja karena naskahnya tidak terlalu mengeksplorasi karakternya melalui akting dan aksi. Lebih banyak penjelasan dan dialog saja. Meski tak diragukan lagi, aktris berdarah India ini memiliki kualitas akting yang keren dalam filmografinya. Jamie Dornan juga biasa saja, backstory karakternya sangat mudah untuk dilupakan.
Mengeksekusi adegan stun dalam film action merupakan tantangan tersendiri dalam skena ini. Dimana stun asli lebih diapreasi daripada CGI. “Heart of Stone” jelas melakukan banyak aksi yang dilakukan oleh Gal Gadot dengan bantuan CGI. Dimana tidak semua kualitasnya terlihat bagus, kita bisa lihat jelas bahwa adegan-adegan tersebut adalah CGI, sedikit menghilangkan ketegangan karena tidak menyakin penonton. Adegan bertarungnya juga tidak ada yang cukup keren koreografinya untuk tinggal di memori penonton.
Secara keseluruhan, “Heart of Stone” memiliki konsep agensi spionase yang sangat menarik dan potensial. Namun penampilan Gal Gadot sebagai bintang utama dan kualitas naskahnya masih gagal dalam menyajikan film action dengan presentasi yang solid.