Disutradarai oleh Baltasar Kormákur, Everest (2015) adalah film survival drama yang mengangkat kisah nyata bencana di Gunung Everest pada Mei 1996. Film ini didasarkan pada laporan para penyintas, termasuk buku nonfiksi “Into Thin Air” karya Jon Krakauer, meski film ini mengambil pendekatan yang lebih luas terhadap kisah semua pihak yang terlibat.
Dengan jajaran pemain bintang seperti Jason Clarke, Josh Brolin, Jake Gyllenhaal, Keira Knightley, dan Emily Watson, Everest berupaya menghadirkan realisme mendalam tentang bagaimana alam—dalam wujud tertingginya—bisa mengalahkan ambisi manusia dalam sekejap.
Cerita mengikuti dua kelompok ekspedisi komersial: Adventure Consultants yang dipimpin oleh Rob Hall (Jason Clarke), dan Mountain Madness yang dipimpin oleh Scott Fischer (Jake Gyllenhaal). Kedua tim berusaha mencapai puncak Everest, namun kondisi cuaca ekstrem, kelelahan fisik, dan kesalahan perhitungan menyebabkan kekacauan besar. Film ini memperlihatkan momen-momen puncak keberanian dan keputusasaan para pendaki ketika badai salju menghantam mereka di atas ketinggian 8.000 meter.
Alur cerita dibangun dengan pace yang stabil, memperkenalkan karakter-karakter utama sebelum badai besar datang. Ini memungkinkan penonton mengenal dan merasa dekat dengan para pendaki, meskipun beberapa karakter terasa kurang tereksplorasi karena jumlah tokoh yang cukup banyak. Namun begitu, konflik moral—seperti batas antara profesionalisme dan empati, atau keputusan hidup dan mati—disisipkan dengan cukup kuat untuk menciptakan ketegangan emosional yang merayap perlahan.
Skenario yang ditulis oleh William Nicholson dan Simon Beaufoy cukup efektif dalam merangkai dialog yang tidak terlalu sentimental namun tetap menyentuh. Para karakter tidak terlalu banyak berbicara dalam adegan klimaks, dan justru itulah kekuatannya: film ini tahu kapan harus diam dan membiarkan visual serta atmosfer berbicara. Meskipun struktur naratifnya agak konvensional, Everest tetap terasa otentik karena berpegang teguh pada detail peristiwa nyata tanpa melodrama berlebihan.
Sinematografi oleh Salvatore Totino adalah salah satu kekuatan utama film ini. Gunung Everest ditampilkan sebagai entitas megah sekaligus mengerikan, dengan lanskap yang indah tapi membekukan. Penggunaan IMAX 3D membuat pengalaman menonton lebih imersif, membuat penonton seolah berada di lereng gunung bersama para pendaki. Efek visual dan tata suara digunakan untuk menegaskan ketegangan: angin yang menderu, jurang yang menganga, serta suara detak jantung yang melambat dalam kondisi oksigen minim—semuanya menambah lapisan ketakutan yang realistis.
Jason Clarke tampil menonjol sebagai Rob Hall, memerankan sosok pemimpin yang rasional dan penuh empati. Jake Gyllenhaal memberikan karisma santai sebagai Scott Fischer, walau screentime-nya terbatas. Josh Brolin sebagai Beck Weathers juga menyampaikan perjalanan emosional yang mengharukan—seorang pria keras kepala yang akhirnya bertahan hidup melawan segala rintangan. Keira Knightley sebagai Jan Hall dan Emily Watson sebagai Helen Wilton menambah kedalaman emosional sebagai dua wanita yang menunggu kabar dari basecamp dengan hati penuh ketakutan.
Everest bukan hanya tentang petualangan ekstrem, tapi tentang batas kemampuan manusia, harga ambisi, dan kesetiaan dalam kondisi paling mustahil. Film ini mempertanyakan: apakah mencapai puncak layak dibayar dengan nyawa? Dalam konteks ini, Everest menawarkan refleksi menyakitkan tentang keputusan dan konsekuensinya di tempat paling mematikan di Bumi.
Sebagai film bencana berbasis kisah nyata, Everest berhasil memadukan visual yang megah, drama manusia yang menggugah, dan ketegangan yang konstan. Meski sedikit terjebak dalam karakterisasi yang terbatas, film ini tetap efektif menyampaikan perasaan takut dan kagum terhadap alam yang tak terduga.
“Everest” adalah pengalaman menonton yang menegangkan, emosional, dan memukau secara visual—sebuah penghormatan penuh hormat kepada keberanian dan tragedi manusia di batas tertinggi dunia.
