Di layar lebar, guru bukan lagi sekadar pemegang kapur di depan kelas. Dalam film-film seperti “Dangerous Minds” (1995) dan “Freedom Writers” (2007), mereka menjelma menjadi penjinak konflik sosial, penyulut revolusi batin, dan kadang, penyintas sistem pendidikan yang sekarat.
Dua film ini seolah berasal dari cetakan narasi yang sama: seorang guru perempuan kulit putih mengajar murid-murid “bermasalah” dari lingkungan keras, penuh kekerasan, trauma, dan kemiskinan. Tapi saat ditilik lebih dalam, keduanya menawarkan pendekatan yang berbeda dalam merawat harapan di ruang-ruang belajar yang nyaris tak punya masa depan.
“Dangerous Minds” menyajikan LouAnne Johnson (diperankan Michelle Pfeiffer), mantan marinir yang masuk ke sebuah SMA di California untuk mengajar Bahasa Inggris. Sejak hari pertama, ia berhadapan dengan tatapan dingin para murid kulit hitam dan Latin yang sudah terlalu sering ditinggalkan guru sebelumnya. Bukannya menghafal puisi, mereka harus bertahan hidup dari jalanan dan perang antar geng. LouAnne menjawab ketidakpedulian itu dengan hal-hal yang tak biasa: puisi Bob Dylan, filosofi Kung Fu, dan sesekali… sebatang cokelat.
Yang membuat film ini tak mudah dilupakan adalah lagu tema ikoniknya: “Gangsta’s Paradise” oleh Coolio feat. L.V. Lagu itu tak hanya jadi latar musik, tapi nyaris menjadi jiwa dari filmnya—lagu rap yang keras, getir, dan penuh kesadaran sosial, menggambarkan betapa suramnya masa depan bagi anak-anak muda yang tumbuh di tengah keputusasaan. Suara Coolio yang berat, ditimpali lirik tajam dan paduan suara yang muram, menjadikan “Dangerous Minds” lebih dari sekadar drama kelas—ia adalah potret sebuah sistem yang gagal menampung harapan.
Sebelas tahun kemudian, “Freedom Writers” hadir dengan warna berbeda. Diangkat dari kisah nyata Erin Gruwell (diperankan Hilary Swank), seorang guru muda idealis di Long Beach yang menghadapi kelas multietnis pascakerusuhan rasial Los Angeles. Alih-alih membentengi diri dengan otoritas, Erin memilih membuka ruang dialog. Ia memperkenalkan buku The Diary of Anne Frank dan meminta para murid menulis kisah hidup mereka. Hasilnya adalah Freedom Writers Diary, catatan harian dari ruang kelas penuh luka yang berubah menjadi arena penyembuhan kolektif.
Tak seperti “Dangerous Minds,” “Freedom Writers” tak mengandalkan satu lagu ikonik, tapi didukung oleh sejumlah lagu hip-hop dan R&B dari era 1990-an dan awal 2000-an. Salah satunya adalah lagu “A Dream” dari Common feat. Will.I.Am, yang menyertai adegan penting dalam film—lagu yang memadukan pidato Martin Luther King Jr. dengan harapan akan keadilan. Musiknya tak sekeras “Gangsta’s Paradise”, tapi sarat kontemplasi dan harapan.
Nada film pun berbeda. “Dangerous Minds” cenderung melodramatis dan berfokus pada heroisme sang guru. “Freedom Writers” lebih humanistik dan egaliter, memberi ruang bagi murid untuk bersuara dan tumbuh atas nama mereka sendiri. Di film ini, sang guru juga belajar dari muridnya, dan pendidikan menjadi proses dua arah, bukan sekadar penanaman nilai dari atas.
Namun keduanya menyisakan pertanyaan yang sama: mengapa sistem sekolah, bahkan di negara semaju Amerika, bisa sebegitu gagalnya menangani murid dari kelas pekerja dan komunitas minoritas? Mengapa transformasi di ruang kelas harus datang dari satu guru “luar biasa”, bukan dari struktur yang berfungsi dengan baik?
Indonesia tidak kekurangan LouAnne atau Erin. Di banyak daerah, kita punya guru-guru yang mengajar di ruang kelas beratap bocor, bergaji pas-pasan, dan siswa yang lebih dulu putus asa ketimbang bisa membaca. Mereka mungkin tidak mengajarkan puisi Tupac atau lirik MLK, tapi mereka tahu caranya membuat anak-anak datang ke sekolah walau tanpa sepatu. Mereka mungkin tidak membuat buku harian kolektif, tapi mereka menyimpan kisah-kisah itu dalam ingatan dan keprihatinan.
Yang absen, seperti juga dalam dua film tadi, adalah sistem. Guru terlalu sering dijadikan satu-satunya sandaran, sambil dibebani target administratif dan jargon kurikulum yang berubah setiap lima tahun. Padahal yang dibutuhkan adalah keberpihakan struktural: pelatihan bermakna, jaminan kesejahteraan, dan ruang otonomi yang realistis.
Kisah “Dangerous Minds” dan “Freedom Writers” memang fiksi yang dibungkus kenyataan. Tapi refleksinya nyata: bahwa pendidikan sejatinya bukan hanya soal angka dan ujian, tapi tentang membangun relasi, menyalakan empati, dan memulihkan harapan. Persis seperti potongan lirik di “Gangsta’s Paradise”: “I’m 23 now but will I live to see 24?”—pertanyaan getir yang masih relevan di banyak ruang kelas kita hari ini.
Kita tak butuh Michelle Pfeiffer atau Hilary Swank untuk menyelamatkan sekolah-sekolah kita. Tapi kita perlu struktur yang memungkinkan semua guru menjadi agen perubahan—tanpa harus jadi pahlawan tunggal.
