Connect with us
Gundala Review
Gundala

Film

Gundala Review: Lahirnya Superhero Indonesia

Negeri ini butuh patriot, negeri ini butuh film-film berkualitas.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Screenplay Films dan Bumilangit Studios telah memperkenalkan Jagat Sinema Bumilangit alias Bumilangit Cinematic Universe (BCU). Ada sekitar tujuh film yang diadaptasi dari komik superhero populer asli Indonesia akan difilmkan. Semuanya sudah disiapkan untuk rilis beberapa tahun ke depan.

Untuk memulai jilid 1, film Gundala yang disutradarai oleh Joko Anwar telah tayang di bioskop mulai 29 Agustus 2019. Gundala merupakan adaptasi dari tokoh komik “Gundala Putra Petir” karya Harya Suryaminata “Hasmi” yang pertama kali keluar tahun 1969. Komik Gundala diangkat ke layar lebar pertama kali oleh sutradara Lilik Sudijo dan Teddy Purba sebagai pemeran Gundala pada 1981.

Sancaka kecil (Muzakki Ramdhan) adalah seorang anak dari keluarga miskin, ayahnya (Rio Dewanto) seorang buruh pabrik. Ayah Sancaka terbunuh dalam aksi demo jebakan yang diatur pemilik pabrik. Demi melanjutkan kehidupan, ibu Sancaka, Kurniati Dewi (Marissa Anita) harus mencari uang untuk melanjutkan kehidupan.

Suatu hari Kurniati terpaksa meninggalkan Sancaka untuk bekerja di luar kota. Namun Kurniati tak kunjung kembali dan meninggalkan Sancaka kecil seorang diri. Sancaka mulai mengamen dan sering diperlakukan tidak adil oleh para anak jalanan. Suatu hari Sancaka dikeroyok sekelompok anak jalanan, untungnya ia ditolong oleh Awang (Fariz Fajar) dan akhirnya Sancaka diajar bela diri oleh Awang.

Sancaka (Abimana Aryasatya) beranjak dewasa dan bekerja sebagai security di percetakan koran. Suatu hari Sancaka terpaksa menolong tetangganya Wulan (Tara Basro) yang tinggal bersama adiknya Teddy karena diganggu preman pasar. Setelah kejadian itu akhirnya Sancaka mulai terlibat dalam membela pedagang pasar dan kembali dikeroyok preman. Pada saat terpojok, kekuatannya bertambah dan tangannya dapat mengeluarkan petir sehingga mampu mengalahkan puluhan preman pasar.

Gundala Review

Sancaka (Abimana Aryasatya) | Screenplay Films

FIlm Gundala (2019) dibuat realistis dan melengkapinya dengan latar yang membumi sekaligus memperlihatkan keadaan Indonesia yang begitu kental. Suasana lokal yang dibangun juga mampu menggambarkan Indonesia yang butuh pahlawan. Skenario lucu dengan jokes yang terasa dekat dengan keseharian kita mampu membuat penonton tertawa dan terhibur.

Kritikan pedas dalam film ini sering ditujukan pada anggota dewan yang terhormat dengan segala intrik politik atas nama rakyat. Selain itu isu sosial dengan adanya generasi amoral dan perselisihan antar rakyat dari perbedaan juga diperlihatkan dalam film ini. Bagaimana masa lalu dan cara pandang juga mampu merubah manusia walaupun dengan latar belakang yang sama. Juga banyak pesan moral yang bisa diambil dari film ini, yang pastinya erat hubungannya dengan kondisi sehari-hari.

Untuk sebuah origin story, film Gundala sudah cukup memenuhi syarat karena tidak hanya memberikan kisah yang dalam tapi juga karakterisasi yang kuat. Bagaimana Sancaka kecil melewati masa kelam tanpa orang tua dan tumbuh menjadi Sancaka dewasa yang penuh kegelisahan terhadap keadaan negerinya. Karakter Sancaka ditampilkan secara kontradiktif dengan karakter Pengkor (Bront Palarae). Sancaka dan Pengkor terlahir dari sebuah kondisi yang hampir sama, tapi respon masing-masing pribadi dalam menghadapi masalah membentuknya menjadi sosok yang berbeda.

Tone dan mood yang tergambar dalam film ini terasa dark dan serius. Penonton dapat merasakan hal-hal penting yang diangkat dan menjadi masalah utama dari film ini. Petir Sancaka yang direalisasikan melalui VFX juga cukup baik. Meskipun tidak sesempurna film Hollywood, namun VFX di film ini tidak bisa disepelekan karena terlihat natural dan cukup menyatu dengan lingkungan serta akting dari para pemain. Selain itu, efek horor dalam film ini lumayan mampu menampilkan kesan mistis layaknya Gundala versi komik. Terlihat cukup jelas ciri khas Joko Anwar dalam film ini.

Dari sisi scoring, film ini berhasil menghadirkan deretan musik latar yang megah dan emosional sekaligus menghadirkan nuansa patriotik yang selaras dengan tema Gundala. Sekilas ada lagu ‘Keheningan Malam’ yang didengarkan oleh Teddy kecil di walkmannya terkait film “Pengabdi Setan”. Dan bukan Joko Anwar namanya kalau tidak menyelipkan suatu unsur yang terkait dengan film terdahulunya.

Keseruan beberapa aksi dalam film ini juga memperlihatkan adegan dengan koreografi yang baik. Teknik pengambilan gambar juga cukup mampu membuat adegan aksi menjadi intens walaupun kurang greget tapi mampu menjadikan film ini family friendly untuk ditonton. Selain itu, adegan Sancaka jatuh di aspal karena dilempar oleh preman dari rooftop terasa biasa saja.

gundala review

Pengkor | Screenplay Films

Untuk akting hampir semua bermain dengan sangat baik walaupun masih ada beberapa yang kurang natural. Akting Muzakki Ramdhan mampu membuat penonton tertawa dan juga bersedih, cara berdialognya pun cukup baik dan natural. Abimana Aryasatya bermain sangat baik dibanding beberapa perannya di film sebelumnya. Ia mampu mendalami peran Sancaka dan Gundala. Tara Basro, Lukman Sardi dan Donny Alamsyah juga berperan dengan baik. Bront Palarae sangat pantas memerankan Pengkor dan mampu menyeimbangi cerita dari film ini. Juga ada beberapa cameo yang mengejutkan dalam film Gundala.

Sayangnya terlalu banyak karakter yang dimunculkan dalam film ini menyebabkan beberapa karakter pendukung tidak mendapatkan porsi yang cukup. Banyaknya karakter juga membuat adegan Gundala melawan anak-anak yatim asuhan Pengkor terasa kurang klimaks. Karakter Sri Asih sempat terlihat dalam film ini, karena memang kabarnya Sri Asih yang diperankan Pevita Pearce akan diproduksi setelah Gundala (2019).

Kekurangan lain dari film ini terlihat pada sisi editing dan dialog yang nampak cringe di beberapa bagian. CGI juga ada yang nampak kurang halus walaupun tidak buruk dan tidak mengurangi kualitas secara signifikan. Pacing dalam film ini juga naik turun terutama di pertengahan. Untungnya bisa kembali menemui ritmenya di sepertiga akhir.

Secara keseluruhan Gundala berhasil mendapatkan sajian superhero lokal dan memulainya dengan sangat baik. Joko Anwar dengan visi dan kemampuannya berhasil mewarnai film Indonesia yang “itu-itu saja”.

Film ini juga mampu membuktikan bahwa produk atau karya lokal tidak kalah menarik dengan buatan luar selama dikemas dengan baik. Story yang dibangun memberikan rasa penasaran untuk tetap menantikan film-film superhero lokal lainnya, khususnya dalam Jagat Sinema Bumilangit atau BCU.

Sebuah label bahwa film Indonesia memiliki kualitas yang buruk sebetulnya merupakan kesalahan rumah produksi yang memproduksi film komersil untuk meraih keuntungan sebanyak (mungkin) tanpa mempedulikan kualitas dari produk/karya yang mereka hasilkan. Memang masih banyak film dengan kualitas yang kurang baik di film Indonesia, tetapi kita tidak bisa memukul rata dan menganggap bahwa semua film Indonesia adalah film yang buruk.

Visi dan kerja keras semua yang terlibat dalam film Gundala patut diapresiasi. Semoga dengan hadirnya Gundala bisa membuat para sineas dan investor membuat film-film berkualitas yang tidak hanya mengikuti selera pasar, bahkan kalau perlu mampu membuat selera pasar baru yang lebih maju dan berkualitas.

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect