Pada Desember 2018 silam, “Spider-Man: Into the Spider-Verse” rilis dan memberikan pengalaman menonton film animasi yang baru. Mungkin masih ada yang belum menonton film animasi Spider-Man ini hingga sekarang, dimana sekuelnya, “Spider-Man: Across the Spider-Verse” sedang ramai ditonton di bioskop.
Pada titik ini, Spider-Man merupakan salah satu superhero MCU yang paling banyak diadaptasi dalam film live-action maupun animasi. Mulai dari “Spider-Man” pada 2002 versi Tobey Maguire, “The Amazing Spider-Man” versi Andrew Garfield pada 2012, hingga Spider-Man era The Avengers yang dibintangi oleh Tom Holland.
Mungkin ada dari kita yang masih butuh diyakinkan; mengapa “Spider-Man: Into the Spider-Verse” sangat populer dan highly recommended? Karena ini bukan pertama kalinya film animasi ‘terbaik’ trending dan populer di media mainstream. Lebih dari sekadar film animasi terbaik, ‘Spider-Verse’ merupakan film animasi revolusioner di era modern.
Untuk memahami seberapa krusialnya trend animasi yang telah diterobros oleh Sony Pictures, kita harus mundur pada 1995, ketika “Toy Story” rilis sebagai film animasi dengan teknologi CGI pertama.
Toy Story Memulai Trend CGI dan Visual Animasi yang ‘Realistis’
“Toy Story” merupakan film animasi durasi panjang pertama yang menerapkan visual animasi realistis dengan teknologi CGI dari Pixar Animation. Film animasi tersebut menjadi pembuka era baru media animasi modern, dari 2D menjadi 3D. Sejak saat itu, semua film animasi dari berbagai studio (mayoritas di industri Hollywood) berusaha memproduksi film animasi dengan gaya visual seperti Pixar.
Mulai dari “Antz” pada 1998 sebagai film animasi pertama DreamWorks Pictures, kemudian ada “A Bug’s Life” (1998) dari Walt Disney Pictures. Trend animasi ‘seperti Pixar’ terus bergulir dengan rilisnya film animasi-animasi ikonik seperti, “Sherk” (2001), “Monsters, Inc.” (2001), “Ice Age” (2002), bahkan serial kartun Nickelodeon, “The Adventure of Jimmy Neutron” (2002).
Sederet film animasi 3D di atas merupakan beberapa yang populer pada era awal animasi CGI. Dimana para animator mengusahakan visual yang terlihat mendekati realism, namun masih memiliki elemen kartun atau animasi, menciptakan visual kartun yang surrealis.
Obsesi Media Modern dengan Realism
Kurang lebih selama dua dekade, media mainstream akhirnya dipenuhi oleh rilisan animasi yang terus mengadaptasi visual 3D ala Pixar. Beberapa yang populer di antaranya, “Up” (2009), “How to Train Your Dragon” (2010), “Brave” (2012), “Big Hero 6” (2014), “Frozen” (2013), dan masih banyak lagi. Bahkan studio animasi Jepang yang terkenal mempertahankan idealisme-nya pada animasi 2D, Studio Ghibli, akhirnya merilis film animasi 3D pertamanya pada 2020, “Earwig and the Witch” yang justru gagal daripada revolusioner.
Pada era ini, studio animasi besar tidak lagi berusaha menciptakan presentasi visual animasi yang baru, namun beralih menjadi terobsesi dengan visual bergaya realism. Media juga akhirnya mengagung-agungkan aspek ini ketika mengulas rilisan animasi baru. Bagaimana film-film animasi ini menghasilkan hasil rendering 3D yang semakin mendekati realita.
Salah satu contohnya, kita bisa melihat bagaimana “Toy Story” pertama hingga “Toy Story 4” memiliki visual yang semakin halus, semakin detail, dan semakin mendekati gaya realism. Kemudian media yang memuji realism pada bulu Sullivan dari “Monster, Inc.” dan rambut Merida dalam “Brave” disebut-sebut melalui proses rendering paling sulit di Walt Disney Studio pada masanya.
Hal ini akhirnya memberikan pemahaman baru pada masyarakat luas; semakin realitis suatu karya animasi, maka semakin bagus animasi tersebut. Itu mengapa kemudian timbul demam live-action, semua orang berbondong-bondong penasaran bagaimana anime dan kartun favorit mereka akan terlihat di dunia.Padahal seharusnya animasi menjadi media yang melampaui realita.
Terobsesi mengembangkan animasi yang semakin dekat dengan realita adalah bentuk dari kemunduran medium animasi. Animasi sudah sepatutnya bersifat imajinatif, stylish, dan mendobrak batasan-batasan realita. Media yang mampu memfasilitas para seniman film untuk mewujudkan imajinasi mereka yang tidak bisa diwujudkan di medium realism. Idealisme animasi inilah yang kembali diangkat oleh “Spider-Man: Into the Spider-Verse” dari Sony Pictures.
Spider-Verse Hadir sebagai Trendsetter di Era Animasi Modern
Spider-Man sendiri awalnya terkenal sebagai komik dari Marvel Comics, otomatis banyak juga penggemar komik yang berada dalam segmentasi penonton film-film Spider-Man selama ini. “Spider-Man: Into the Spider-Verse” lebih dari sekadar film animasi adaptasi komik, namun ini adalah animated-comic pada level berikutnya.
‘Spider-Verse’ memiliki konsep visual yang berbeda, unik dan berani, yaitu mengkomikan animasi. Benar-benar membebaskan diri dari standar dan aturan animasi yang sedang ngetren pada era modern. Padahal memang tidak ada aturan dalam animasi, tim animasi Sony Pictures akhirnya mengambil kebebasan tersebut dalam mengerjakan ‘Spider-Verse’. Bermain dengan texture, motion, dan storyboard yang sangat berbeda dari animasi-animasi populer pada masanya.
Hasilnya? “Spider-Man: Into the Spider-Verse” menjadi film animasi Sony dengan pendapatan tertinggi sepanjang masa hingga 190 juta dollar Amerika. ‘Spider-Verse’ benar-benar memberikan pengalaman menonton film animasi yang terasa segar dan menstimulasi penonton secara visual. Terutama bagi kita yang memang penggemar komik dan animasi.
Melihat kesuksesan Sony Pictures dengan ‘Spider-Verse’ dan gaya animasinya yang stylish, akhirnya studio-studio animasi besar kembali berani mengaplikasikan gaya animasi yang stylish daripada yang berpacu pada realism.
Beberapa contohnya adalah “Puss In Boots: The Last Wish” (2022) dan “The Bad Guys” (2022). Kemudian apresiasi yang kembali didapatkan oleh animasi-animasi dengan visual stylish seperti “Klaus” (2019), “Arcane” (2021), “Cyberpunk: Edgerunners” (2022) dan masih banyak lagi.
Masyarakat kembali diingatkan bahwa animasi bagus bukan animasi yang berusaha menyamai realita, namun justru yang mampu melampaui realita dan memperlihatkan dunia visual baru yang sebelumnya tidak pernah kita alami.
Mengingat kata bijak dari Guillermo del Toro yang 2022 lalu sukses dengan “Pinocchio”-nya, ‘Animasi bukanlah genre untuk anak-anak. Ini (animasi) adalah medium seni, ini adalah medium untuk film’.