Di antara gemerlap panggung disko dan sorotan spotlight era 1970-an, sebuah lagu bangkit menjadi lebih dari sekadar irama. Ia menjelma menjadi representasi semangat zaman, bahkan penyelamat dalam arti harafiah. Lagu itu adalah “Stayin’ Alive” dari Bee Gees. Lebih dari empat dekade setelah dirilis, lagu ini tetap relevan, tak hanya sebagai pengingat nostalgis akan era disko, tapi juga sebagai penanda budaya yang abadi.
Dirilis pada tahun 1977, “Stayin’ Alive” adalah jantung dan jiwa dari soundtrack film fenomenal “Saturday Night Fever”. Tanpa perlu melihat filmnya, siapa pun pasti familiar dengan adegan ikonik Tony Manero (John Travolta) melenggang di jalanan Brooklyn, memancarkan kepercayaan diri yang rapuh namun penuh gaya, diiringi beat yang menghentak. Momen itu bukan sekadar adegan film; itu adalah deklarasi. Deklarasi tentang bagaimana sekelompok pemuda, di tengah rutinitas hidup yang keras, menemukan makna dan kebebasan di lantai dansa. “Stayin’ Alive” adalah anthem mereka, nyanyian perlawanan kecil terhadap kebosanan.
Apa yang membuat lagu ini begitu melekat? Secara musikal, ini adalah mahakarya disko. Ritme 4/4 yang stabil, bassline yang menggoda, serta vokal falsetto khas Bee Gees yang melambung tinggi, semuanya berpadu menciptakan energi yang menular. Kita bisa merasakannya di kaki, kepala, bahkan di dada. Ini bukan cuma lagu untuk didengar; ini lagu untuk dirasakan, untuk digerakkan. Penggunaan orkestrasi string yang megah menambah dimensi epik, mengangkatnya dari sekadar lagu dansa menjadi sesuatu yang lebih besar.
Namun, keabadian “Stayin’ Alive” melampaui sekadar aransemen musik yang brilian. Liriknya, “Whether you’re a brother or whether you’re a mother / You’re stayin’ alive, stayin’ alive,” adalah seruan universal. Ia bicara tentang resiliensi, tentang bagaimana kita semua berjuang untuk tetap bertahan, tetap “hidup” di tengah hiruk pikuk dunia. Ini adalah narasi perjuangan sehari-hari yang dibalut dalam melodi yang ceria dan energik. Ironi yang manis, bukan? Lagu tentang bertahan hidup di tengah kerasnya kehidupan, namun disajikan dengan tempo yang mengajak kita berdansa seolah tak ada beban.
Faktanya, kekuatan “Stayin’ Alive” begitu mendalam hingga melampaui ranah hiburan. Dunia medis, khususnya American Heart Association, bahkan merekomendasikan ritme lagu ini (sekitar 103 detak per menit) sebagai panduan tempo yang ideal untuk melakukan kompresi dada saat CPR. Ya, lagu yang tadinya mengiringi langkah Tony Manero kini secara harfiah bisa membantu seseorang stay alive. Sebuah ironi yang indah dan kuat, menunjukkan bagaimana seni dan sains bisa bertemu dalam titik yang tak terduga.
Dalam lanskap budaya populer, “Stayin’ Alive” terus direproduksi. Dari film komedi seperti Airplane! (1980) hingga animasi ‘Madagascar,’ bahkan serial drama kontemporer seperti ‘Yellowjackets’ yang menggunakannya untuk adegan CPR, lagu ini selalu menemukan tempatnya. Ia bukan lagi sekadar lagu disko; ia adalah sebuah penanda zaman, ikon budaya pop, dan simbol universal akan semangat untuk bertahan hidup.
“Stayin’ Alive” adalah bukti bahwa sebuah karya seni bisa melampaui masanya, menembus berbagai generasi, dan menemukan makna baru dalam konteks yang berbeda. Ia adalah pengingat bahwa terkadang, yang kita butuhkan hanyalah beat yang tepat untuk merasa bahwa kita masih, dan akan selalu, “stayin’ alive.”
