Connect with us
American Fiction Review
Cr. Claire Folger/Orion

Film

American Fiction Review: Film Satir Sajikan Prespektif Baru dari Black Culture

American Fiction adalah kritik sosial akan steriotip Black Culture di media utama.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

“American Fiction” adalah film yang diadaptasi oleh Cord Jefferson dari novel “Erasure” oleh Percival Everett pada 2001. Dibintangi oleh Jeffrey Wright sebagai Thelonius Ellison alias Monk, seorang penulis yang dikritik karena tulisan kurang merepresentasikan rasnya sebagai keturunan Afrika-Amerika.

Film ini menjadi debut dari sutradara Jefferson, menjadi debut yang sukses dengan masuknya film ini dalam nominasi Best Picture Academy Awards ke-96.

Jeffrey Wright masuk nominasi Best Actor berkat penampilannya sebagai Monk, begitu pula Sterling K. Brown masuk nominasi Best Supporting Actor. Film ini juga masuk nominasi Best Adapted Screenplay dan Best Original Score. “American Fiction” kini tersedia untuk di-streaming di Prime Video.

Dalam pidato kemenangannya sebagai Best Lead Performance di Independent Spirit Awards, Wright mengungkapkan bahwa tidak ada yang mau mendanai film ini.

Jika dibandingkan dengan kandidat besar lainnya seperti “Oppenheimer”, “Barbie”, hingga “Maestro”, “American Fiction” memang jadi film dengan produksi paling sederhana. Namun film ini memiliki naskah yang kaya dan sangat penting untuk ditonton untuk memberikan perspektif baru akan Black Culture.

F_03320_R
Erika Alexander stars as Coraline and Jeffrey Wright as Thelonious “Monk” Ellison
in writer/director Cord Jefferson’s
AMERICAN FICTION
An Orion Pictures Release
Photo credit: Claire Folger
© 2023 Orion Releasing LLC. All Rights Reserved.

Ketika Penulis Kulit Hitam Dikritik Karena Kurang “Hitam”

“American Fiction” adalah film komedi satir yang tercurah dari rasa frustrasi protagonisnya, Monk. Ketika karyanya dianggap kurang merepresentasikan kebudayaan sebagai keturunan Afrika-Amerika.

Monk adalah pria kulit hitam namun dikritik karena kurang “hitam”, ia tak lantas mengikuti kata pasar, ia membalasnya dengan karya satir yang akhirnya menuai reaksi beruntut diluar dugaannya. Ketika ia berpikir masyarakat tidak bisa lebih rendah dari ekspektsinya, masyarakat membalas Monk dengan kesuksesan yang tidak ia harapkan dari tulisannya yang ia sebut sebagai “sampah”.

Selama bertahun-tahun, kita penikmat film Indonesia pun pasti familiar dengan steriotip yang ditentukan oleh Hollywood pada film-film dengan latar Black Culture. Mulai dari “The Color Purple”, “12 Years a Slave”, “Precious”, “The Blind Side”, dan masih banyak lagi.

Black movies produksi Hollywood kebanyakan tentang perjuangan kaumnya melawan kemiskinan, kekerasan polisi, kekerasan domestik, dan perbudakaan. Monk sebagai pria kulit hitam sama sekali tidak bangga, justru tersinggung karena kaumnya hanya memiliki definisi berdasarkan warna kulit mereka. Ini menjadi konflik utama “American Fiction” yang membuat film ini berbeda dari Black movies khas Hollywood.

Naskah Satir Menggelitik dan Berbobot oleh Cord Jefferson

Sebelum menyutradarai dan menulis “American Fiction”, Cord Jefferson telah terlibat dalam beberapa serial populer. Mulai dari “The Good Place”, “Watchmen”, dan konsultan naskah untuk serial terbaik HBO, “Succession”.

Melihat rekam jejak keterlibatannya dalam judul-judul tersebut membuat kita semakin memahami bagaimana Jeffreson memang memiliki bakat dalam menciptakan naskah satir yang cerdik, unik, dan berkelas. Sulit menemukan cela dalam naskah “American Fiction”. Mulai dari prolog, muatan, kemudian perkembangan konflik yang bergulir mulus seperti bola salju, kemudian ditutp dengan twist yang tidak akan kita duga dari film “sederhana” ini.

“American Fiction” secara keseluruhan adalah kritik dalam wujud film yang menghibur dan berbobot untuk Black Culture. Diarahkan pada dua belah pihak di media Amerika, kaum Afrika-Amerika yang bangga akan kebudayaan mereka untuk alasan yang kurang tepat, serta kaum kaukasia yang menikmati Black Culture dengan pemahaman yang banal.

Datang dari protagonis kulit hitam, membuat pesan yang disampaikan lebih mencelikan tanpa menimbulkan kontroversi. Setiap subyek dalam kisah ini berada pada posisi yang sempurna untuk menyampaikan pemikiran baru dari isu ras yang selama ini hanya satu dimensi.

Penampilan Terbaik Jeffrey Wright sebagai Karakter Berkelas

Bagi penggemar serial fantasi, mungkin sudah mengenal Jeffrey Wright melalui “Westworld”. Sementara penggemar film fantasi di panggung utama mengenalnya sebagai salah satu tribute tercedas dalam “The Hunger Games”. “American Fiction” bisa jadi breakthrough dari penampilan Wright sebagai bintang utama. Fakta bahwa ia telah memenangkan beberapa penghargaan dan masuk nominasi Best Actor Oscar menjadi statement kuat untuk penampilannya sebagai aktor berbakat.

Meskipun menjadi karakter yang dikritik oleh karakter-karakter lainnya sepanjang film, Monk akan mencuri hati kita, para idealis yang memiliki poin tepat namun tidak mudah diterima oleh masyarakat sebagai kebenaran yang menyinggung orang umum. Monk kerap diingatkan bahwa dirinya kesepian karena menjadi orang paling cerdas di ruangan. Memiliki kemampuan observasi dan berpikir kritis di atas rata-rata, hanya salah karena kalah keberpihakaan.

Sebagai pria Afrika-Amerika, Monk juga memiliki penokohan yang jauh dari steriotip Hollywood. Gaya humornya bahkan bisa dibilang layaknya pria kaukasia, mungkin tak banyak yang percaya ia datang dari keluarga kelas soal tinggi. Namun jika itu kebenarannya, masa orang mau mengelak hanya karena ia berkulit hitam? Jeffrey Wright mampu tampil sebagai Monk yang memikat; pria kulit hitam yang jauh dari kata serampangan, justru kalem namun tegas dan cerdas.

Buat penggemar film satir dengan isu komentar sosial, serta ingin melihat sudut pandang baru dari Black Culture, “American Fiction” adalah film yang patut ditonton.

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect