“We Live in Time” merupakan film persembahan A24 terbaru yang disutradarai oleh John Crowley dan ditulis oleh Nick Payne. Crowley adalah sutradara dari film peraih nominasi Academy Awards, “Brooklyn” (2015). Film terbarunya kurang lebih memiliki nuansa slice of life yang serupa.
Ini adalah kisah cinta antara Tobias dan Almut, yang dibintangi oleh Andrew Garfield dan Florence Pugh. Pasangan ini bertemu dalam momen dan cara yang tidak terduga, mengubah kehidupan mereka dalam satu dekade.
Sembari menyambut cinta baru sekaligus menghadapi cobaan, Tobias dan Almut berusaha merangkai kehidupan yang berharga semaksimal mungin, sekalipun dalam waktu yang terbatas. “We Live in Time” adalah kisah Tobias dan Almut dalam suka maupun duka yang natural.
Film Romansa Komedi Bergaya Realisme yang Minim Dramatisir
“We Live in Time” memiliki ekspektasi tinggi sebagai film yang dirilis oleh A24. Film ini memiliki berbagai formula klasik komedi romantis (begitu pula drama tragedi), namun dikemas dengan realisme yang tidak mendramatisir. Jika dibandingkan dengan komedi romantis ala Hollywood, film Inggris ini memiliki tone yang lebih subtil dalam menyampaikan materi romansa dan komedinya.
Kita punya ekspektasi akan komedi, namun bukan materi komedi yang akan kita duga. Bukan karena mengejutkan, namun betapa realistisnya candaan dan kekonyolan yang terjadi di antara Tobias dan Almut. Begitu pula konflik dan pertengkaran diantara keduanya juga tidak dieksekusi berlebihan.
Sikap keduanya juga dewasa dan tidak berlebihan dalam menghadapi diagnosa Almut dengan kanker. “We Live in Time” sangat minim pendekatan yang bersifat romantisme dalam film romansa. Kita bisa melihat diri kita melakukan percakapan serealistis Tobias dan Almut dengan pasangan kita.
Tak akan Berkesan Tanpa Chemistry Andrew Garfield dan Florence Pugh
Penampilan Andrew Garfield dan Florence Pugh menjadi pilar dari kesuksesan “We Live in Time” dengan segala pujian akan realisme dalam film ini. Keduanya adalah aktor A-list dengan penampilan tak terelakan. Garfield dan Pugh juga memiliki kharisma untuk selalu berhasil mencapai chemistry dengan lawan main mereka, yang juga sukses mereka dapatkan dalam film ini.
Andrew Garfield sebagai Tobias adalah pria manis yang mendambakan hubungan ideal. Sementara Florence Pugh sebagai Almut adalah chef yang memiliki mimpi besar. Ada romantisme dalam realisme ketika keduanya berhasil sepakat dalam menjalani hubungan. Bagaimana keduanya mengalami perubahan secara alami seiring waktu berjalan.
Melihat mata berkaca-kaca Tobias yang tak kunjung menumpahkan air mata dalam film ini adalah penampilan subtil yang akan melekat pada penonton. Begitu pula presentasi Almut sebagai penyintas kanker yang tidak didramatisir, lebih menimbulkan simpati yang alami.
Alur Cerita Maju-Mundur Membuat Plot Lebih Dinamis
“We Live in Time” memiliki alur plot maju-mundur. Presentasi cerita yang acak membuat film dengan premis sederhana ini jadi lebih dinamis. Dimana berhasil memberikan perasaan urgensi dan waktu yang berlalu dengan cepat. Eksekusi ini sesuai dengan tema film yang hendak memberikan garis bawah pada ‘waktu’ dan ‘kenangan’.
Plot maju-mundur dalam film ini tidak sulit untuk dinavigasi. Secara keseluruhan tetap berhasil memberikan jawaban dan alasan lebih dari berbagai peristiwa penting dalam kehidupan Tobias dan Almut sebagai pasangan.
Ada juga twist yang pelan-pelan terungkap dari eksistensi hubungan pasangan ini. Dimana menjadi potrait hubungan modern masa kini, yang mungkin akan cukup mengejutkan. Sekali lagi, definisi ‘mengejutkan’ dalam film ini tidak sedramatisir ekspektasi kita. Namun tak lantas mengurangi bobot dari kisahnya.
“We Live in Time” adalah film komedi romantis yang bisa jadi berbeda dari ekspektasi kebanyakan dari kita. Film ini cocok buat kita penggemar drama slice of life yang lebih condong pada realisme daripada dramatisir. Penampilan Andrew Garfield dan Florence Pugh berhasil membuat kisah Tobias dan Almut singgah dalam pikiran penontonnya untuk waktu yang lama.