Quantcast
Bugonia Review: Kekonyolan Paranoia, Ambisi, dan Kepedihan di Bawah Neon dan Lebah - Cultura
Connect with us
The Housemaid Korea
Bugonia Review
Cr. Focus Features

Film

Bugonia Review: Kekonyolan Paranoia, Ambisi, dan Kepedihan di Bawah Neon dan Lebah

Ketika teori konspirasi bertemu realita kejam.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Bugonia (2025) adalah film terbaru dari sineas eksentrik Yorgos Lanthimos, sebuah black-comedy absurd dengan balutan fiksi ilmiah dan satir sosial yang membuat penonton terus bertanya: di mana batas antara paranoia dan kebenaran?

Film ini menampilkan konflik ekstrem antara keyakinan radikal dan realitas korporasi modern, disajikan dengan gaya visual, naratif, dan estetika khas Lanthimos—tak kenal kompromi, penuh ketidaknyamanan, sekaligus memikat dengan kecerdikannya.

Plot berpusat pada Teddy Gatz (diperankan Jesse Plemons), seorang pekerja pabrik yang terobsesi pada teori konspirasi: menurutnya, Michelle Fuller (diperankan Emma Stone), CEO perusahaan farmasi besar, bukan manusia—melainkan makhluk alien dari Andromeda yang menyamar dan berniat menghancurkan bumi. Yakin akan misinya, Teddy melakukan penculikan terhadap Michelle dengan bantuan sepupunya, Don, dalam upaya “menyelamatkan umat manusia.” Dari premis ini, “Bugonia” berkembang menjadi labirin paranoia, kekerasan, eksperimentalisme visual, dan kritik terhadap sistem korporat, konspirasi massal, dan alienasi modern.

Bugonia Review

Script tidak menuntun penonton menuju jawaban pasti. Alih-alih memberikan kejelasan, dialog-dialognya penuh subteks, ketidakpastian, dan ambiguitas—memperkuat ketegangan psikologis bahwa kebenaran bisa liar dan relatif. Karakter tidak diposisikan sebagai pahlawan atau penjahat mutlak, melainkan sebagai orang dengan trauma, ketakutan, dan obsesi. Eksekusi cerita juga sangat teatrikal: sebagian besar berlangsung di ruang sempit, intensitas dialog vs. kesunyian, kekerasan yang tiba-tiba meledak seperti jeritan dari bawah sadar—metode khas Lanthimos untuk menyampaikan absurditas kehidupan.

Sinematografi berhasil menciptakan estetika yang menyeramkan sekaligus memikat. Palet warna dingin, pencahayaan keras, penggunaan bayang-bayang, serta framing yang sering terasa seperti ruang tertutup—semua memperkuat nuansa klaustrofobik dan kegelisahan. Ruang bawah tanah, ruangan rumah, dan sudut gelap menjadi panggung utama film, membuat setiap detik terasa seperti berada di ambang ketakutan. Visual ini bukan sekadar latar, tapi bagian dari narasi: seperti kota modern yang memenjarakan jiwa, bukan hanya tubuh.

Akting Stone dan Plemons menjadi kekuatan emosional film. Emma Stone dengan keberanian total rela tampil botak untuk perannya—tindakan ekstrem yang seakan menandakan pengorbanan identitas demi realitas karakter. Ia menampilkan Michelle bukan sebagai villain atau korban tipikal, tetapi sebagai figur ambigu: dominan, misterius, dan sekaligus rentan. Plemons sebagai Teddy adalah gambaran manusia yang dihantui paranoia—pada satu sisi penuh empati, di sisi lain begitu fanatik bahwa nalar dan moral tergerus. Keduanya menari di antara realitas dan ilusi, membuat penonton tak pernah benar-benar nyaman.

Bugonia Review

Elemen teknis lainnya—seperti desain suara—juga patut diapresiasi. Dalam film ini, suara lebah digunakan sebagai bagian dari soundscape yang menciptakan suasana tegang dan mengganggu, memperkuat rasa paranoia dan alienasi. Ini bukan sekadar efek horor, melainkan medium untuk menyampaikan kegelisahan yang tak kasat mata. Perpaduan musik experimental dengan suara ambien menciptakan atmosfer di mana kenyataan dan mimpi buruk seakan mencampur, membuat penonton bertanya: mana kenyataan, mana ilusi?

Secara keseluruhan, “Bugonia” adalah karya yang tidak nyaman, tetapi sangat jujur pada obsesinya. Ia mengusik, mengguncang, dan menyodorkan cermin bagi penonton untuk bertanya: di mana batas antara kebenaran dan paranoia dalam masyarakat modern? Apakah kita hidup dalam realitas, atau realitas kita sendiri sudah menjadi ilusi? Film ini bukan hiburan ringan, ia adalah pengalaman sinematik yang brutal dan menggugah.

Kelebihan “Bugonia” terletak pada keberanian artistiknya, cara menyampaikan kritik sosial lewat absurditas, dan kekuatan emosional karakter. Namun kekurangannya adalah film ini sangat spesifik audiensnya—mereka yang siap menerima ketidakpastian, ketidaknyamanan, dan provokasi mental; bagi sebagian orang, pacing yang lamban dan kenyataan yang gelap bisa terasa berat.

“Bugonia” bukan film untuk semua, ia adalah teriakan sinematik di tengah dunia yang semakin absurd, namun tetap relevan dan menggigit.

Taxi Driver Taxi Driver

Taxi Driver: Potret Kegelapan Kota dan Jiwa yang Tak Terselamatkan

Film

Wicked: For Good Wicked: For Good

Wicked: For Good: Penutup Megah tentang Persahabatan, Kuasa, dan Harga Menjadi “Berbeda”

Film

Biopik Keras yang Menggugah: Christy dan Luka yang Tak Terlihat di Balik Sorotan

Film

Membongkar Asap Kebohongan: Mengapa The Insider Tetap Relevan Dua Dekade Lebih

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect