Quantcast
Trash Review: Ketika Harapan dan Ketidakadilan Bertabrakan di Lorong-Lorong Kumuh Rio - Cultura
Connect with us
The Housemaid Korea

Film

Trash Review: Ketika Harapan dan Ketidakadilan Bertabrakan di Lorong-Lorong Kumuh Rio

Kisah petualangan anak-anak jalanan yang bertransformasi menjadi kritik sosial penuh ketegangan dan empati.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Film Trash (2014) garapan sutradara Stephen Daldry dan Christian Duurvoort menghadirkan perpaduan langka: sebuah petualangan kriminal yang dibalut kritik sosial tajam, namun tetap mempertahankan kehangatan kemanusiaan lewat perspektif tiga anak laki-laki yang hidup di daerah kumuh Rio de Janeiro.

Adaptasi dari novel remaja karya Andy Mulligan ini menempatkan penonton di tengah ketimpangan sosial Brasil modern, memperlihatkan bagaimana anak-anak yang hidup dalam keterbatasan justru menjadi figur paling berani menghadapi korupsi. Dengan gaya penyutradaraan yang energik, ritme cepat, serta tone realistis yang sesekali terasa pahit, Trash jadi tontonan yang lebih besar dari premisnya.

Plotnya dimulai ketika tiga anak pemulung—Raphael, Gardo, dan Rato—menemukan dompet misterius di antara tumpukan sampah. Temuan itu menyeret mereka ke dalam konspirasi yang melibatkan polisi korup, kandidat wali kota, dan seorang aktivis yang hilang secara misterius. Seiring petualangan yang semakin berbahaya, film ini membangun ketegangan secara konstan dan memanfaatkan lingkungan kumuh Rio sebagai latar yang bukan sekadar ruang, melainkan karakter itu sendiri.

“Trash” bergerak seperti thriller, namun denyut emosinya datang dari keberanian anak-anak ini untuk tetap memperjuangkan kebenaran meski dunia menempatkan mereka di posisi paling rendah.

Dari sisi script, skenario yang ditulis oleh Richard Curtis—nama besar di balik Love Actually dan About Time—menunjukkan kombinasi menarik antara humanisme dan ketegangan kriminal. Curtis memadatkan narasi menjadi kisah petualangan yang mudah diikuti, sekaligus menyisipkan kritik sosial pada ketidakadilan struktural, polisi brutal, dan korupsi yang merajalela. Meski begitu, beberapa dialog penyampaian moral terasa eksplisit dan terlalu “menjelaskan”, sehingga mengurangi naturalisme adegan tertentu. Namun secara keseluruhan, script berhasil menjaga ritme tanpa kehilangan fokus tematik.

Pembangunan plot “Trash” layak dipuji karena efisien dan penuh energi. Film ini bergerak cepat, hampir tanpa jeda, namun tetap memberi ruang bagi momen-momen emosional. Struktur naratif yang menggunakan teknik interview-style dengan para tokoh anak memberikan kesan dokumenter yang memperkuat realisme. Walau ada beberapa twist yang terasa mudah ditebak bagi penonton thriller berpengalaman, alurnya tetap menarik karena taruhannya—keamanan ketiga anak ini—terasa nyata di setiap langkah.

Sinematografi menjadi elemen yang membuat “Trash” bersinar dengan visual yang dinamis: kamera handheld yang gelisah, close-up yang intim, dan penggunaan cahaya alami yang mempertegas tekstur lingkungan kumuh Rio. Warna-warna kusam dan debu yang berterbangan kontras dengan energi anak-anak yang selalu bergerak, menciptakan perpaduan visual yang keras namun tetap hidup. Adegan kejar-kejaran di lorong sempit dan perbukitan sampah adalah salah satu yang paling memukau secara visual, menegaskan kemampuan Mantle menggabungkan realisme dengan estetika sinematik.

Dari segi akting, tiga pemeran anak—Rickson Tevez (Raphael), Gabriel Weinstein (Gardo), dan Eduardo Luis (Rato)—adalah inti keaslian film ini. Mereka bermain dengan spontanitas dan ketulusan yang jarang ditemukan pada aktor anak dalam film bergenre thriller. Sementara itu, Rooney Mara dan Martin Sheen tampil efektif sebagai pekerja kemanusiaan, meskipun kehadiran mereka lebih sebagai figur pendukung yang tidak mengambil alih sorotan. Para aktor lokal Brasil yang memerankan tokoh polisi dan politisi korup juga memberikan performa meyakinkan, menciptakan antagonis yang terasa dekat dengan kenyataan.

Screenplay memadukan dialog dengan aksi secara seimbang. Dialog-dialog antara anak-anak terasa natural dan penuh bahasa jalanan yang apa adanya, sementara adegan aksi dirancang tanpa berlebihan. Penyutradaraan Daldry menjaga agar film tetap grounded, tidak berubah menjadi melodrama atau aksi bombastis. Ia berhasil mengangkat isu besar—korupsi, kemiskinan struktural, dan nilai keberanian—tanpa kehilangan fokus pada cerita kecil ketiga anak sebagai pusat naratif.

Secara keseluruhan, “Trash” adalah salah satu film Brasil terbaik yang berhasil menyatukan elemen thriller, petualangan, dan kritik sosial dalam paket yang energik dan menyentuh. Meski beberapa bagian script terasa terlalu didaktik dan beberapa elemen plot dapat diprediksi, film ini tetap kuat berkat performa para pemeran muda, sinematografi yang tajam, dan pesan moral yang tetap relevan. Trash tidak menawarkan solusi besar, tetapi memberikan gambaran bagaimana harapan bisa muncul dari tempat yang paling tidak terduga.

Unthinkable Review: Teror, Moralitas, dan Batas Kemanusiaan yang Diuji Sampai Titik Terakhir

Film

Bugonia Review Bugonia Review

Bugonia Review: Kekonyolan Paranoia, Ambisi, dan Kepedihan di Bawah Neon dan Lebah

Film

Taxi Driver Taxi Driver

Taxi Driver: Potret Kegelapan Kota dan Jiwa yang Tak Terselamatkan

Film

Wicked: For Good Wicked: For Good

Wicked: For Good: Penutup Megah tentang Persahabatan, Kuasa, dan Harga Menjadi “Berbeda”

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect