Charles Sobrahj adalah seorang warna negara Prancis berdarah Vietnam dan India, Ia terkenal sebagai pembunuh berantai yang kerap memburu turis pada tahun 1970-an dengan modus sebagai dealer batu berharga dan perhiasan.
Tak sendirian, Ia melancarkan aksinya dengan Marie-Andree Leclerc, wanita asal Kanada yang merupakan kekasih Charles. Kedua kerap memperkenalkan diri sebagai pasangan suami istri, Alain Gautier dan Monique. Sempat menggemparkan kepolisian internasional, Charles Sobrahj mendapatkan banyak nama julukan, mulai dari The Bikini Killer, The Splitting Killer, dan The Serpent.
Menonton kisah pembunuh sadis atau pembunuh berantai dalam format serial dokumenter mungkin sudah mulai membosankan. Format demikian sebetulnya juga lebih minim effort dalam segi produksi dan penulisan naskah yang lebih deskriptif tanpa dramatisir yang artistik.
“The Serpent” merupakan Netflix Original Series yang diadaptasi dari kisah nyata Charles Sobrahj, namun telah disesuaikan sebagai tontonan yang lebih dramatis, dimana nama korban telah dimodifikasi dan dialog juga diakui sepenuhnya adalah fiksi. Selain untuk menghargai keluarga korban, serial ini hendak menunjukan modus kriminal yang sangat cerdik dan berbahaya dan patut kita waspadai jika ingin travelling keliling dunia.
Penokohan Charles Sobrahj dan Marie Andree yang Didramatisir dengan Tepat
“The Serpent” berhasil menulis penokohan dua kriminal dalam kisah ini Charles Sobrahj dan Marie Andree, dimana dalam sebuah produksi serial fiksi adaptasi harus menampilkan karakter utama yang ikonik; layaknya Hannibal Lecter dalam “The Silence of the Lambs” atau Anton Chigurh dalam “No Country for Old Men”. Mulai dari cast, dramatisir karakter, hingga desain wadrobe mereka diaplikasikan spesial untuk membuat kedua karakter ini menonjol.
Hal ini tak lepas dari kualitas akting Tahar Rahim sebagai Charles Sobrahj dan Jenna Coleman sebagai Marie Andree yang konsisten secara teknis (mimik, gesture, dan aksen) hingga penyampaian emosi pada setiap dialog yang mereka eksekusi.
Charles Sobrahj dan Marie Andree dalam kisah ini kurang lebih hendak didramatisir layaknya Bonnie dan Cylde, namun tanpa diromantisasi. Kita bisa mencintai karakter villain seperti Joker, namun tidak Charles Sobrahj yang benar-benar melangsungkan tindak kriminal keji. Bahkan tanpa hiperbola dan secara eksplit menunjukan adegan pembunuhan, kita bisa melihat modus dan latar belakangan yang membuat tindakan Charles tidak bisa ditoleransi.
Serial Kriminal dengan Plot Dinamis dan Emosional yang Seru untuk Diikuti
Layaknya Sherlock Holmes yang selalu mengejar Moriarty, Charles Sobrahj selalu dihantui oleh sekretaris keduataan Belanda yang ambisius untuk menangkapnya, Herman Knippenberg, diperankan oleh Billy Howle. Tanpa adegan dimana keduanya benar-benar bertatap muka, dinamika investigasi dan pengejaran yang dilakukan oleh Herman memberikan sentuhan suspense ala serial detektif yang seru untuk diikuti.
Hubungan toxic yang terjalin antara Charles Sobrahj dan Marie Andree juga lebih dari sekedar bumbu romansa, namun mendukung bagaimana keduanya secara natural menjadi partner in crime.
Berbeda dengan film dokumenter yang secara gamblang bisa menyebutkan sifat-sifat dari seorang kriminal yang sedang dibicarakan, serial ini harus mampu membeberkan berbagai sifat Charles dalam berbagai rangkaian adegan. Salah satunya melalui interaksi romansanya, dimana kita akan melihat sifat Charles yang manipulatif dan ada kecenderungan sebagai pembohong patologis. Tak hanya Marie, kita juga akan “dibohongi” dengan drama cinta yang diciptakan oleh Charles.
Jenna Coleman patut diberi apresiasi lebih dengan penampilannya yang mampu membawakan perasaan Marie Andree sepanjang serial. Meski tampak tenang dan elegan dipermukaan, kita bisa melihat ada ketakutan, kecemasan, dan terutama cinta yang membelenggu Marie dalam situasinya bersama Charles.
Produksi Serial Kriminal yang Maksimal Sekelas Film Laga Hollywood
“The Serpent” memiliki konsep produksi yang sangat maksimal, tak kalah dengan film “James Bond” atau “Mission Impossible” yang membawa kita keliling negara serta hadirnya cast dari berbagai latar belakang bangsa.
Mulai dari turis yang menjadi korban, pihak kedutaan, kepolisian, dan karakter pendukung lainnya, benar-benar mampu menghantarkan aksen dan tampilan sesuai dengan representasi latar belakangan karakter dalam naskah. Tak terhitung juga berapa kali latar syuting berpindah lokasi; mulai dari Bangkok, Singapura, Nepal, Hong Kong, hingga Paris.
Keragaman dan totalitas dalam menghadirkan produksi serial ini akhirnya menghadirkan produksi visual yang sangat otentik. Dalam segi music dan sound, “The Serpent” dikemas dengan musik-musik retro rock dan pop dari tahun 70-an, kemudian beberapa visual bernuansa retro vintage sebagai transisi yang artistik.
Dalam segi editing, mungkin plot “The Serpent” akan terasa sedikit membingunkan dan melelahkan untuk diikuti. Namun kita akan mulai terbiasa setelah melalui episode kedua.
Buat penggemar kisah kriminal atau addicted dengan dokumenter kriminal yang sedang nge-trend, “The Serpent” bisa menjadi alternatif tontonan yang lebih fresh; dengan emosi yang terasa lebih nyata dan naskah yang memperhatikan penulisan kreatif.
Menonton film atau serial kriminal selalu berhasil menambah kepekaan dan insting kita untuk lebih waspada. Selain terhibur dengan produksi yang artistik, menonton “The Serpent” juga mampu membuat kita lebih waspada jika hendak wisata ke luar negri.