Connect with us
Film live-action remake merupakan salah satu komiditi dalam industri film Hollywood beberapa tahun belakangan ini.
Image via CapitalFM

Entertainment

Mengapa Era Film Live-Action Remake Harus Diakhiri?

Sejarah film live-action remake dan mengapa era ini harus segera diakhiri.

Film live-action remake merupakan salah satu komiditi dalam industri film Hollywood beberapa tahun belakangan ini. Walt Disney Studios menjadi rumah produksi film terbesar yang mengembangkan trend ini. Lebih dari yang ketahui, Disney telah mendaur ulang animasi klasik mereka bahkan sebelum era milenium.

The Jungle Book (1994) menjadi film live-action Disney yang pertama, sekaligus salah satu live-action terburuk hingga saat ini. Cinderella juga menjadi salah satu animasi yang telah di-remake berkali-kali. Mulai dari versi live-action pada tahun 1965 yang dibintangi oleh Lesley Ann Warren dan Cinderella pada tahun 1997 yang dibintangi oleh sederet cast Amerika-Afrika. Hingga Cinderella live-action yang mungkin paling familiar bagi kita pada tahun 2015, dibintangi oleh Lily James dan Richard Madden.

The Jungle Book (1994)

The Jungle Book (1994) | Disney

Memasuki tahun 2000-an, Mulan sebetulnya juga sudah pernah dirilis versi live-action-nya pada tahun 2009 dengan judul Mulan: Rise of a Warrior sebagai film laga kolosal produksi Mandarin dibintangi oleh Zao Wei. Sementara Alice in Wonderland (2010) yang disutradarai oleh Tim Burton menjadi gerbang baru dari era film live-action remake Disney dengan produksi yang mulai “mengagungkan” CGI. Diikuti oleh Malificient (2014), Cinderella (2015), The Jungle Book (2016), dan masih banyak lagi judul yang dirilis setiap tahunnya.

Mulan menjadi film live-action remake dari Walt Disney Studios yang rilis pada 2020. Lepas dari boycott dan isu sosial dan politik yang mengitari perilisan film adaptasi dari Disney Princess terbaik ini, ada banyak alasan mengapa Mulan live-action cukup menggeser esensi dari kisah Fa Mulan dari versi animasi tahun 1998.

Mulan 2020

Disney

Tak hanya Mulan, The Lion King yang rilis pada 17 Juli 2019 lalu bisa jadi merupakan proyek film remake paling konyol yang pernah dicetuskan oleh Disney. Secara teknis, film Disney paling legendaris ini hanya berubah menjadi film animasi 3D dengan gaya visual realistis. Menghilangkan adegan musikal yang lebih colorful dan dinamis dari versi animasi 2D-nya. Belum lagi beberapa adegan ikonik dan lucu dari versi animasinya yang dihilangkan, hal serupa juga terjadi pada film Mulan.

Jika kita melihat sejarah perkembangan film live-action (terutama Disney), lebih banyak pernyataan kontra daripada pro yang dilontarkan oleh media maupun masyarakat luas penikmat film-film Disney. Fakta ini akan sangat menyedihkan bagi kita generasi 90-an yang tumbuh besar menikmati film animasi Walt Disney dengan keajaibannya.

Ambisi Mewujudkan Animasi Menjadi Nyata dengan CGI dan Produksi Maksimal

Salah satu aspek yang ingin dibanggakan oleh industri hiburan satu ini jelas sekali adalah CGI. Kita sedang memasuki era dimana CGI sangat membantu produksi film terlihat lebih mahal dan menghibur secara visual, terutama untuk film-film komersil seperti semua film produksi Marvel Studios maupun berbagai film genre aksi dan kolosal yang mengandalkan CGI untuk menyempurnakan produksinya.

Banyak film live-action remake Disney yang memang patut diapreasiasi produksinya. Salah satu contohnya adalah Cinderella (2015) dimana adegan pesta dansa di istana tidak sepenuhnya mengandalkan CGI, namun detail desain interior ruangan yang menghadirkan properti nyata, dan desain busana hingga karakter figuran yang benar-benar diberi latar belakang kisah.

Mulan (2020) dan Aladdin (2019) juga memiliki produksi mendetail yang serupa. Sementara Beauty and the Beast (2017) lebih dominan dengan produksi CGI-nya yang sangat menawan dan berhasil membuat kita terpukau secara visual pada beberapa adegan, terutama setiap adegan musikal.

Namun, film lebih dari sekedar CGI yang semakin mutakhir dan produksi maksimal dengan sederet aktor terkenal. Cerita dan originalitas tetap menjadi poin utama dalam seni perfilman. Film live-action jelas sudah tidak memiliki nilai original, hanya materi film daur ulang dengan kemasan yang lebih “berkilau”. Banyak pula film live-action yang telah mengubah bahkan merusak penulisan ceritanya yang sudah sempurna. Hal tersebut dilakukan sekadar untuk menjadi bahan publikasi, bahwa ada hal baru yang hendak disajikan. Alasan untuk kita tetap menonton film yang sudah kita ketahui akhirnya.

Project Live-Action Anime yang Selalu Mengecewakan

Tak hanya Walt Disney yang punya hobi mendaur ulang koleksi film animasinya, banyak rumah produksi film Jepang maupun Hollywood yang kerap mendaur ulang anime. Hingga saat ini, sama sekali tidak ada film live-action remake dari anime yang berhasil dieksekusi dengan baik, justru selalu gagal total. Konsep memangkas serial anime yang bisanya memakan hingga 20 lebih episode menjadi film berdurasi 2 jam saja sudah sangat meragukan.

Salah satu contoh live-action remake anime produksi Hollywood paling buruk adalah Dragonball Evolution (2009) yang disutradarai oleh James Wong. Begitu juga dengan Death Note (2017) rilisan Netflix Original Movie yang sangat menodai citra Death Note sebagai salah satu manga sekaligus anime terbaik sepanjang masa. Dengan mengubah penokohan karismatik dan brilian Light Yagami menjadi Light Turner, yang tak lebih dari seorang remaja Amerika biasa-biasa saja. Kemudian mengubah setiap adegan kematian korban terlihat seperti film Final Destination.

Dragonball Evolution (2009)

Dragonball Evolution (2009)

Jika Death Note versi Netflix mengubah cerita hampir secara keseluruhan, Death Note live-action versi Jepang pada tahun 2006 masih mengadaptasi kisah Kira dan Detektif L dengan penokohan yang masih serupa. Terutama pada karakter L yang diperankan oleh aktor Kenichi Matsuyama. Namun, masih tetap ada perubahan dan modifikasi plot yang sangat jauh kualitasnya dari cerita originalnya.

Masih banyak lagi film live-action anime legendaris yang sayang sekali harus diproduksi secara asal-asalan dan memangkas cerita seenaknya. Mulai dari Attack on Titan (2015), Gintama (2017), Fullmetal Alchemist (2017) dan satu lagi film produksi Hollywood, Ghost in the Shell (2017). Lagi-lagi, beberapa dari judul tersebut memiliki produksi CGI yang sudah cukup memukau, namun naskah dan akting yang ditampilkan masih sangat jauh dari standar layak dan sempurna.

Mencontoh Kesuksesan Studio Ghibli Mempertahankan “Martabat” Seni Film Animasi

Jika mau jujur, tak ada motif lain dari rumah produksi maupun produser film live-action remake selain kebutuhan komersial demi profit berupa pendapatan box office. Sekalipun hal tersebut yang menjadi motivasi utama, bukan berarti mendaur ulang animasi lama menjadi produk baru harus selalu dihalalkan. Mau sampai kapan rumah produksi seperti Disney akan terus memperoduksi film live-action remake? Jika strategi ini terus berlangsung, tak menutup kemungkinan 10 tahun dari sekarang animasi 3D seperti Tangled (2010) hingga Frozen (2013) akan diproduksi live-action-nya. Tak ada nilai seni, originalitas, dan sentuhan “ajaib” yang selalu menjadi ciri khas dari setiap animasi Disney.

Kita bisa menengok Studio Ghibli sebagai rumah produksi film animasi Jepang yang sangat menghargai dan menyayangi setiap koleksi animasi klasik mereka. Meski sudah memasuki dekade baru, judul klasik seperti My Neighbor Totoro (1988), Grave of the Fireflies (1988), Princess Mononoke (1997), masih relevan dan masih banyak yang mencari akses untuk menonton film animasi tersebut. Tak hanya terjaga martabatnya sebagai animasi klasik yang menjadi kenangan generasi lama, banyak penggemar baru dari generasi muda masa kini juga masih bisa merasakan keajaiban dari dunia fantasi ciptaan Hayao Miyazaki.

My Neighbor Totoro (1988)

My Neighbor Totoro (1988) | Ghibli

Studio Ghibli juga memiliki strategi alternatif untuk tetap mendapatkan keuntungan dari koleksi animasi mereka tanpa harus mengorbankan karya aslinya. Mulai dari beberapa agenda rilis ulang di negara-negara besar, penjualan DVD original, hingga mengadakan tur melalui acara Studio Ghibli Fest. Festival tersebut sendiri sudah pernah diadakan di Indonesia pada 2018 silam. Salah satu cara memperluas pemasaran film-film Ghibli yang baru saja dieksekusi adalah bekerja sama dengan platform streaming Netflix.

Perlu diingat kembali, industri animasi dan film juga merupakan industri seni yang harus mengutamakan estetika dan originalitas. Dengan merilis versi live-action, Disney seakan-akan ingin mengakhiri era animasi 2D, mencipatkan pandangan bahwa produksi film masa kini harus serba digital dan produksi yang mahal. Sangat disayangkan mengingat karya-karya animasi klasik yang indah secara visual seperti Sleeping Beauty (1959) dan Alice in Wonderland (1951) tidak relevan lagi dan kecil kemungkinannya dinikmati anak-anak zaman sekarang. Film 2D juga memiliki keindahan visual dengan nilai seninya sendiri.

Jika memang Disney ingin membuat koleksi klasik mereka relevan di era modern ini, mereka lah yang memiliki kewajiban untuk menghargai karya-karya animasi tersebut. Sama halnya ketika orang tua kita memutar CD Queen atau The Beatles untuk membuat kita memiliki selera musik yang berkualitas, akan lebih baik mengajak anak-anak menonton film Disney klasik original untuk mengapreasi seni animasi 2D tersebut.

Conclave review Conclave review

Conclave Review – Drama Intrik di Balik Pemilihan Paus

Film

We Live in Time We Live in Time

We Live in Time Review: Perjuangan Pasangan Melawan Kanker & Waktu

Film

Auditorium ScreenX Terbesar Kedua di Dunia Hadir di CGV Cinemas Indonesia dengan Teknologi Dolby Atmos Auditorium ScreenX Terbesar Kedua di Dunia Hadir di CGV Cinemas Indonesia dengan Teknologi Dolby Atmos

Auditorium ScreenX Terbesar Kedua di Dunia Hadir di Indonesia

Entertainment

Gladiator I vs Gladiator II Gladiator I vs Gladiator II

Gladiator I vs. Gladiator II

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect