Akhir-akhir ini film fantasi menduduki posisi nomor satu dalam daftar film berpenghasilan tertinggi selama lima tahun terakhir berturut-turut. Ketika penonton datang ke bioskop, mereka lebih memilih untuk menonton film bergenre fantasi dan sci-fi daripada film bergenre romantis. Film fantasi menjadi populer di kalangan penonton terlepas dari kenyataan bahwa mereka tidak ada hubungannya dengan dunia dimana kita benar-benar hidup seperti contoh film bertemakan pahlawan super atau angkasa luar.
Penonton terobsesi dengan hal-hal yang tidak mungkin terjadi. Eskapisme dikatakan sebagai salah satu alasan mengapa orang menyukai film fantasi. Alasan penonton ingin meninggalkan kehidupan nyata mereka karena kehidupan nyata terasa lebih kejam dan pahit. Ketika menonton film biopik atau film drama yang penggambarannya nyata dengan realita, penonton akan merasa jenuh karena mereka membutuhkan hiburan. Itulah kenapa penonton tertarik pada hal-hal yang tidak mungkin terjadi dalam cerita fantasi, karena segala sesuatu mungkin terjadi dalam genre ini.
Meskipun begitu pembuat cerita fantasi juga tidak selamanya memasukkan hal yang tidak mungkin di dunia nyata di dalamnya. Pembuat cerita fantasi juga memasukkan perlambangan yang pada akhirnya menyerupai situasi di kehidupan nyata. Penonton akhirnya dapat memanfaatkan cerita fantasi bukan sebagai sarana pelarian melainkan sebagai sarana untuk mengatasi masalah nyata yang kini dihadapi umat manusia di zaman modern.
Ada banyak alasan berbeda mengapa film fantasi begitu populer, dan itu tergantung pada penonton dan budayanya. Beberapa alasan yang biasanya muncul kenapa film fantasi menjadi semakin populer adalah moralitas, eskapisme dan konsumerisme.
Eskapisme sebagai bentuk pelarian dari masalah di dunia
Salah satu alasan utama mengapa film fantasi begitu populer sekarang adalah karena film fantasi memberikan kesempatan bagi penonton untuk melarikan diri dari kenyataan. Kisah dalam film fantasi membuat penonton seperti tersesat di dalamnya dan melupakan dunia nyata. Inilah salah satu alasan mengapa cerita tentang situasi yang tidak mungkin terjadi menjadi menarik dalam budaya pop.
Eskapisme dalam hal ini bisa dibagi dalam dua sudut pandang yang berbeda. Eskapisme terjadi karena bosan dengan kehidupannya atau tidak ingin berurusan dengan hal yang sulit. Manusia lebih rentan mengalami kebosanan ketika hidup mereka dapat diprediksi dan terasa biasa-biasa saja. Hal itu membuat hidup terasa kurang menantang.
Meski begitu situasi kehidupan nyata, seperti kehilangan orang yang dicintai, korban perundungan atau individu dengan penyakit fatal, sering digunakan sebagai inspirasi untuk cerita film fantasi. Namun, meski tugasnya sulit, sang pahlawan super berhasil mengatasinya. Bagi banyak orang, pahlawan super bisa diterima karena mereka menghadapi tantangan yang sama dalam kehidupan nyata, dan menyelesaikannya akan menyenangkan.
Film “Spider-Man” series diperlihatkan bagaimana remaja pintar dan selalu menjadi target perundungan pada akhirnya menjadi pahlawan yang menyelamatkan dunia. Bahkan pesan moral utama dari film “Spider-Man” adalah dengan kekuatan yang besar datang pula tanggung jawab yang besar pula. Di satu sisi penonton senang dengan aksi Spider-Man yang tidak mungkin terjadi di kehidupan nyata dan di sisi lain penonton mendapatkan inspirasi untuk mengatasi permasalahan dalam hidupnya.
Film “Star Wars: The Force Awakens” (2015) tentu tidak akan terjadi di kenyataan. Cerita opera angkasa luar yang begitu megah dibutuhkan penonton untuk melepaskan diri dari kepenatan hidup. Penonton merasa film “Star Wars: The Force Awakens” memberikan sebuah inspirasi bahwa manusia biasa yang awalnya tidak memiliki kekuatan mampu menciptakan perdamaian dunia. Karakter Rey adalah perlambangan bagi orang-orang yang selalu diremehkan tapi justru menjadi sosok penting.
Film fantasy sebagai jawaban atas pertanyaan moralitas
Untuk waktu yang lama, moralitas telah menjadi masalah perdebatan bagi umat manusia karena telah menjadi masalah konteks. Di dunia post-modern sulit untuk mengatakan apa yang baik dan buruk saat ini. Moralitas perang adalah salah satu isu hangat yang diperdebatkan dan jarang diangkat dalam percakapan biasa.
Film “Wonder Woman” (2017) mengambil latar sejarah Perang Dunia Pertama. Tokoh Diana dalam film tersebut digambarkan sebagai perempuan polos yang menganggap bahwa perang terjadi karena Dewa Ares memengaruhi manusia untuk bertarung satu sama lain. Steve Trevor, teman Diana seorang pilot selalu meyakinkan bahwa bukan Ares lah yang menjadi penyebab peperangan tapi memang kemanusiaan sudah berangsur hilang.
Penonton ketika melihat “Wonder Woman” pada akhirnya akan menyadari bahwa peperangan terjadi karena adanya kepentingan dan memaksa kita untuk mempertanyakan moralitas yang terjadi pada peperangan. Akhir film “Wonder Woman” memperlihatkan hal tersebut bahwa ternyata memang Ares lah yang mengendalikan pemimpin dunia hingga mereka memutuskan untuk berperang.
Collateral damage atau dalam Bahasa Indonesia adalah kerusakan tambahan dalam perang seperti hilangnya nyawa manusia, tidak dapat dihindari dalam pertempuran. Hal itu selalu menjadi permasalahan utama dalam membahas moralitas dalam perang. Film “Avengers: Infinity War” mengangkat isu tersebut.
Diceritakan Thanos berambisi untuk melenyapkan separuh populasi di dunia dengan cara mengumpulkan batu infinity. Salah satu batu tersebut ada di kepala Vision dan salah satu cara menghalangi rencana Thanos adalah dengan mengambil batu tersebut dari Vision dan menghancurkannya namun cara tersebut bisa saja membunuh Vision. Captain America menolak rencana tersebut dengan mengatakan “we don’t trade lives”. Satu nyawa tidak bisa dikorbankan karena pada akhirnya semua orang akan dikorbankan.
Gagasan mengorbankan satu nyawa demi kemaslahatan orang banyak selalu muncul di dalam film bertemakan perang karena hal itu menjadi dilema moralitas di dalam cerita. Meskipun begitu, pada akhirnya walo ada individu yang dikorbankan peperangan tetap terjadi dan banyak korban jiwa berguguran.
Peperangan yang terjadi di dunia saat ini membuat individu mempertanyakan masalah tersebut dan tampaknya belum ada jawaban yang memuaskan; oleh karena itu, penonton menggunakan film-film fantasi untuk menemukan pemecahan atas dilema moral yang kompleks.
Konsumerisme sebagai salah satu alasan untuk menonton film
Konsumerisme mencirikan budaya dunia kontemporer, dimana individu dimotivasi oleh kebutuhan yang tak ada habisnya untuk memperoleh dan mengkonsumsi lebih banyak sebagai simbol kesenangan dan kepuasan. Setelah revolusi pertanian, masyarakat di dunia beralih dari produksi ke konsumsi, dan fantasi dalam budaya populer telah menjadi mesin penghasil uang. Revolusi industri membuat tempat bekerja menjadi begitu penuh tekanan dan stres.
Revolusi teknologi abad ke-21 juga turut menyebarkan konsumerisme di media. Media sosial dan internet memberi perusahaan film banyak cara untuk membuat orang menjadi bersemangat dengan film fantasi tertentu. Karena semua orang membahas tentang film yang akan datang, beberapa orang akan terbujuk untuk menontonnya bukan karena mereka tertarik terhadap pembahasan filmnya melainkan karena mereka tidak mau dianggap belum menontonnya dan dikucilkan dari obrolan.
Film-film dari Marvel Cinematic Universe adalah salah satu contoh kasus di atas. Ketika film dari MCU akan rilis, media sosial akan ramai membahas film tersebut sehingga menciptakan animo yang begitu besar untuk menontonnya. Ketika dalam suatu kumpulan terdapat satu orang yang tidak menonton, orang tersebut akan merasa diasingkan hingga akhirnya orang tersebut akan ikut menonton meski tidak begitu menyukai film bertemakan pahlawan super.
Film fantasi dan fiksi ilmiah memang akan selalu diproduksi oleh rumah produksi film dan tentu saja film genre tersebut selalu dihadirkan dengan skala besar dan visual yang menarik sehingga penonton dari berbagai kalangan akan menikmatinya. Tentu saja dengan ketiga alasan tadi juga memengaruhi penonton untuk menonton film tersebut. Pada akhirnya kita kembali ke tujuan awal menonton film yaitu ingin terhibur.