Connect with us
Plus Minus Avatar: The Last Airbender Live Action
Netflix

TV

Plus Minus Avatar: The Last Airbender Live Action

Kelebihan dan kekurangan adaptasi live action Netflix dari animasi paling legendaris.

Pertama kali mengudara pada 2005 di Nickelodeon, “Avatar: The Last Airbender” (ATLA) masih menjadi serial animasi terbaik yang legendaris. Diciptakaan oleh Michael Dante DiMartino dan Bryan Konietzko, ceritanya berlatar di empat negara representasi berbagai elemen; Air, Bumi, Api, dan Udara.

Dahulu kala keempat negara hidup dalam perdamaian, semua berubah ketika Negara Api menyerang. Hanya Avatar yang menguasai keempat elemen mampu mengembalikan keseimbangan, namun ketika dunia membutuhkannya, ia menghilang. Seratus tahun berlalu, Aang, pengendali udara terakhir berusia 12 tahun kembali, ialah Avatar yang diharapkan untuk menyelamatkan dunia.

Berakhir pada 2008, ATLA menuai banyak pujian dan masih dikenang sebagai salah satu memori terindah dari masa kecil penontonnya. Animasi ini termasuk salah satu yang memiliki fandom dengan dedikasi tinggi dan overprotective dengan karya OG-nya.

Layaknya “One Piece” yang telah sukses diadaptasi Netflix, serta “Naruto” yang dikabarkan akan diadaptasi juga menjadi live-action. Kini giliran Albert Kim yang mengembangkan ATLA sebagai serial live-action, dimana kedelapan episode dari season pertamanya telah rilis di Netflix.

Semenjak rilis pada 22 Februari, ATLA versi Netflix ini menuai ulasan dan tanggapan yang campur aduk. Ada penggemar lama yang tidak puas dengan modifikasi cerita, namun tak sedikit pula yang jatuh hati dengan produksi dan deretan aktor muda maupun senior yang mencuri hati melalui akting mereka. Berikut ulasan lengkap plus minus dari “Avatar: The Last Airbender” live-action versi Cultura.

Avatar: The Last Airbender Live Action Netflix

Plus: Visualisasi World-Building dan Produksi Desain

Hal pertama yang langsung memikat dari ATLA live-action ini adalah visualnya. Dalam mempresentasi berbagai negara, mulai dari desain negara, tata busana, makeup, dan keragaman ras aktornya membuat adaptasi live-action terlihat niat. Untuk level serial Netflix, menjadi tugas yang tidak main-main ketika tim casting harus melakukan audisi aktor internasional. Apalagi dengan prospek serial yang diharap lanjut untuk beberapa season kedepannya.

Untuk desain busananya, ATLA Netflix sangat setia dengan materi sumbernya. Berbeda dengan film ATLA pada 2010 dimana M. Night Shyamalan “terlalu kreatif” dalam melakukan perubahan karakter secara fisik. Albert Kim memilih untuk mempertahankan penampilan setiap karakter yang sudah ikonik untuk penggemar animasinya.

Kualitas CGI serial live-action ini juga sudah memenuhi standar. Kita ingin highlight kualitas CGI untuk hewan-hewan fantasi, monster, dan roh-roh dalam wujud besar yang sudah ditampilkan dengan baik dalam serial ini. Mulai dari Appa, Momo, Shirshu milik June, Koh, roh-roh hutan, dan puncaknya di episode terakhir, Roh Laut yang mengamuk di Suku Air Utara.

Plus Minus Avatar: The Last Airbender Live Action

Plus: Koreografi, Visual Effect, dan Sound Effect Pengendalian

Yang paling esensial dari ATLA pastinya pertunjukan ‘bending‘ alias pengendalian elemen yang epik seperti di animasinya. Serial live-action Netflix sudah cukup berhasil menampilkan aksi pengendalian elemen yang powerful. Tak hanya mengandalkan CGI untuk animasi elemen-elemennya, setiap aktor juga menampilkan koreografi yang mendekati versi OG-nya.

Terutama Dallas Liu yang jadi Zuko, ia melakukan hampir semua stunt-nya sendiri. Kemudian didukung juga dengan sound effect dan mixing sebagai sentuhan akhir yang menyempurnakan pertunjukan ‘bending‘. Terutama untuk aksi pengendali api, efek suara api dan visualnya benar-benar terasa panas. Efek lawan yang terkena serangan api juga diperlihatkan lebih brutal dalam live-action ini.

Adegan aksi Avatar Kyoshi pada episode 2 juga menjadi salah satu adegan terbaik dalam serial live-action ini. Meski pada akhirnya sifatnya lebih untuk fan service yang memberikan shock value pada plot.

Avatar: The Last Airbender Live Action Netflix

Plus: Penampilan Gordon Cormier, Dallas Liu, dan Paul Sun-Hyung Lee

Mendapatkan aktor yang sempurna untuk adaptasi live-action sudah jadi hal esensial. Gordon Cormier sebagai Aang sudah menjadi cast yang tepat. Penokohan Aang yang ceria dan akrab juga dipertahankan serta berhasil dibawakan oleh Cormier.

Kemudian Dallas Liu juga berkesan sebagai Zuko. Sedikit mengalami perkembangan karakter yang cepat, karena masih season pertama tapi kita sudah melihat sisi rapuh dari karakter yang bisa dibilang paling kompleks dalam ATLA sejak versi OG-nya.

Paul Sun-Hyung sebagai Paman Iroh juga jadi satu lagi yang penampilannya mencuri hati penonton. Bisa dibilang aktingnya paling bagus. Aktor-aktor yang masih muda sudah bagus, namun masih bisa dikembangkan lagi untuk season berikutnya. Kemudian ada Ian Ousley sebagai Sokka yang cukup berhasil menjadi comedy relief.

Beberapa chemistry emosional antar karakter juga sudah ditampilkan dengan baik. Mulai dari Aang dan Gyatso, Zuko dan Paman Iroh, Sokka dan Suki, serta percepatan untuk benih-benih pertemanan antara Aang dan Zuko.

Avatar: The Last Airbender Live Action

Minus: Tone Down Penokohan Beberapa Karakter Ikonik

Semenjak masa promosi, ATLA menerima kritikan karena beberapa aspek karakter dan cerita yang di-tone down. Mulai dari isu gender Sokka dan Pakku, yang akhirnya juga memengaruhi penokohan Katara.

Katara yang diperankan oleh Kiawentiio Tarbell sedikit kehilangan pesonanya sebagai pengendali air perempuan. Dengan menghilangkan diskriminasi gender yang ia terima dari Sokka dan Pakku, tidak ada trigger untuk menyulut penokohan yang di versi OG-nya lebih keras kepala dan garang. Katara live-action juga kehilangan chemistry dengan Aang yang sebetulnya memiliki benih asrama semenjak pertama kali keduanya bertemu.

Azula juga menjadi karakter paling ikonik yang di-tone down kegarangannya. Tidak semua karakter villain membutuhkan alasan baik untuk didukung oleh penonton. Azula versi OG justru dicintai oleh penggemar ATLA karena karakternya yang cerdik, mengintimidasi, tidak punya hati, dengan kecenderungan sociopath. Azula sudah sama ikoniknya dengan karakter jahat yang dikagumi karena kebengisannya seperti Homelander dan Joker.

Minus: Perubahan dan Pemangkasan Cerita karena Slot Episode yang Tidak Banyak

Banyak sekali plot yang dipangkas dalam ATLA live-action ini. Hal ini sebetulnya sudah tidak mengejutkan lagi, melihat slot episode season pertama hanya 8 episode dengan durasi rata-rata kurang dari 60 menit. Sebetulnya pacing cerita tidak terlalu cepat dari episode 1 hingga 2 saja. Setelah itu perkembangan ceritanya cepat sekali mulai episode 3.

Kemunculan karakter-karakter penting terasa sangat terlalu dini. Beberapa keputusan reveal juga kurang bijak. Contohnya reveal wajah Suki tanpa riasan di depan Sokka, serta identitas Raja Bumi. Sederhana namun sangat berpengaruh khususnya untuk penggemar animasi.

Kita juga tidak melihat aksi Tim Avatar dengan rencana-rencana cerdik mereka seperti di versi OG-nya. Momen pertemuan Roku yang seharusnya menjadi salah satu episode krusial dan terbaik di animasinya juga dipresentasikan biasa saja. Aang juga tidak ada plot berlatih pengendalian air dalam season ini. Setidaknya adegan penutup pada episode terakhir dengan visual pertempuran yang epik berhasil menyelamatkan ATLA live-action ini.

Pada akhirnya, “Avatar: The Last Airbender” tidak bisa dibilang gagal total. Serial adaptasi ini telah memperlihatkan usaha semaksimal mungkin sesuai dengan aturan main serial baru di Netflix. Terutama dari segi desain produksinya untuk presentasi world-building ATLA yang megah hanya dalam 8 episode. Karena tidak bisa dipungkiri, ada juga ternyata penggemar OG yang masih mau mengakui kualitas serial adaptasi ini. Namun tidak bisa menyalahkan juga untuk pengemar lama yang kurang puas dengan detail-detail yang membut versi OG-nya sempurna.

ATLA live-action masih bisa jadi tontonan yang bagus untuk penonton baru karena tidak akan membanding-bandingkan dengan animasinya. Secara keseluruhan, “Avatar: The Last Airbender” live-action adalah serial Netflix yang layak ditonton, namun ATLA Nickelodeon masih jadi animasi sempurna dan legendaris yang sulit ditandingi.

A Town Without Seasons Review: Suka Duka Warga Hunian Sementara yang Eksentrik

TV

Hazbin Hotel Hazbin Hotel

Hazbin Hotel Review: Balada Hotel di Neraka

TV

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Damsel Damsel

Damsel Review: Aksi Menegangkan Millie Bobby Brown Melawan Naga

Film

Connect