Film horor merupakan genre film yang populer di Indonesia. Setiap tahun pasti ada judul baru yang siap untuk ditonton di bioskop. Bahkan pada masa pandemi, tetap saja ada film horor baru yang masuk dalam katalog layanan streaming. Mulai dari “Ghibah”, hingga “Pulang” karya sutradara Teddy Soeriaatmadja yang bisa kita tonton di Netflix.
Telah mengalami perkembangan selama bertahun-tahun, film horor Indonesia sempat mengalami pasang surut kualitas. Mulai dari fenomena film horor yang mengeksploitasi aktris-aktris seksi, hingga akhirnya kini film horor lokal mulai menunjukan potensi sesungguhnya.
Kini film horor lokal tak kalah seram dengan film horor Jepang maupun Thailand. Mari simak perkembangan pasang surut trend dan kualitas film horor Indonesia.
Berjayanya Suzanna dan Horor Kearifan Lokal di Era 1980-an
Sejarah perkembangan film horor Indonesia telah diukir sejak era 80-an. Masa ini bisa disebut sebagai ‘Golden Age’ perfilman horor klasik Indonesia. Pada era inilah The Queen of Horror Indonesia, Suzanna berjaya dalam sederet film sebagai hantu-hantu kearifan lokal. Mulai dari “Sundelbolong” (1981), “Nyi Blorong” (1982), “Ajian Ratu Laut Kidul” (1991), dan masih banyak lagi.
Dalam segi cerita, setiap film yang diperankan oleh Suzanna tidak jauh dari tema balas dendam wanita yang mati secara mengenaskan, kemudian kembali dalam wujud makhluk halus yang menyeramkan dengan kekuatan yang cukup untuk menghabisi setiap pihak yang bertanggung jawab atas kematiannya.
Selain “opera sabun” horor tentang balas dendam wanita, film dengan tema horor klenik lokal ikonik juga lahir dalam era ini. Salah satunya yang paling populer adalah “Pengabdi Setan” (1980) yang disutradarai oleh Sisworo Gautama Putra, naskah ditulis oleh Subagio S. Kemudian ada juga “Ratu Ilmu Hitam” (1981), “Santet” (1988), dan beberapa judul lainnya. Film-film tersebut mengandung materi sekte dan perdukunan, yang diakhiri dengan pesan-pesan keagamaan.
Film horor Indonesia 80-an terasa lebih relevan dan berdampak karena mengadaptasi kepercayaan akan makhluk halus maupun hal klenik yang masih sangat diyakini adanya oleh masyarakat pada masa tersebut.
Bagi kita penonton modern, film-film horor klasik Indonesia masih terasa menyeramkan dan menimbulkan perasaan tidak nyaman karena kualitas sinematografi yang kasar, pencahayaan redup yang terdistorsi, secara tidak langsung terasa seperti rekaman masa lalu yang terasa surreal dan asing. Rasa yang tidak familiar tersebut cukup untuk menimbulkan kegelisahan bahkan pada adegan ketika hantunya belum muncul.
Terpengaruh Trend Hollywood, Urban Legend dengan Aktor Remaja Sekitar 2000-an
Industri perfilman Indonesia sempat mati suri sekitar tahun 90-an karena invasi film barat dan kebijakan undang-undang. Hingga akhirnya masuk ke tahun 2000-an, film horor lokal kembali bersaing di bioskop.
Terinspirasi dari film-film horor barat, Indonesia juga mengadaptasi banyak materi urban legend lokal, kemudian memilih sederet aktor dan aktris remaja sebagai bintang dalam filmnya. Mulai dari “Jelangkung” (2001), “Hantu Jeruk Purut” (2006), “Terowongan Casablanca” (2007), “Suster Ngesot” (2007), dan masih banyak lagi.
Film-film tersebut identik dengan plot sekelompok remaja yang berpetualang ke tempat-tempat angker. Tidak terlalu serius, dialog diselingi dengan candaan remaja agar situasi dalam sebuah adegan terasa lebih natural.
Konsep horor petualangan dalam film pada era ini bisa juga karena pengaruh trend reality show horor yang sangat populer pada masa tersebut seperti “Dunia Lain”, “Ekspedisi Alam Gaib”, dan masih banyak lagi. Dimana segmentasi acara tersebut lebih memikat bagi para penonton remaja bahkan anak-anak.
Bagi para millennial, pastinya masih ingat dengan zaman sekolah dimana setiap pagi kita akan berdiskusi dengan teman-teman tentang reality show horror yang diputar di stasiun televisi lokal pada malam sebelumnya.
Heboh Konten Dewasa yang Bersembunyi dalam Film Horor Memasuki Era 2010-an
Memasuki era 2010-an, film horor Indonesia mengalami penurunan kualitas yang sangat drastis. Ironisnya, era ini bisa jadi salah satu era paling produktif dalam industri film horor lokal. Entah apa yang ada dipikiran filmmaker pada masa tersebut, banyak film horor yang isinya penuh dengan konten dewasa yang seronok.
Mulai dari “Suster Keramas” (2009) yang dibintangi oleh bintang film dewasa asal Jepang, Rin Sakuragi, hingga film dengan judul yang sudah mengindikasikan konten dewasa seperti “Rintihan Kuntilanak Perawan” (2010). Kemudian salah satu yang paling sensasional adalah “Arwah Goyang Karawang” (2011) yang dibintangi oleh pedangdut, Dewi Persik dan Julia Perez.
Film tersebut justru populer karena drama pertikaian yang terjadi di antara kedua aktris utamanya saat proses syuting. Dimana produsernya mengklaim bahwa film ini memperlihatkan pertengkarang sungguhan antara Julia Perez dan Dewi Persik dalam suatu adegan.
Baca Juga: Pengabdi Setan: Dulu vs Sekarang
Masih banyak lagi film horor grade rendah yang rilis pada era yang kurang lebih bertahan selama lima sampai tujuh tahun tersebut. Dimana identik dengan cast artis, model, hingga bintang film dewasa yang seksi, kemudian adegan-adegan “horor” yang dimanipulasi sedemikian rupa agar terlihat sensual.
Mulai dari pemilihan angle kamera hingga pemilihan wardrobe aktris. Sama sekali tidak mengeksplorasi materi horror secara maksimal, konten horror hanya menjadi ‘kesempatan’ atau ‘wadah’ untuk mengeksplorasi materi yang lebih tidak senonoh.
Horor Lokal Naik Kelas Lagi pada Tahun 2017
Sesungguhnya ada banyak film horor lokal berkualitas yang telah rilis pada era-era sebelumnya. Mulai dari “Rumah Dara” (2010) yang sangat underrated, hingga “Modus Anomali” (2012) karya sutradara Joko Anwar. Namun, media pada masanya lebih berpihak pada film-film horor yang kontroversial dan sensasional. Kesadaran masyarakat untuk menonton film yang berkualitas dalam segi cerita maupun produksi pada masa tersebut juga tidak setinggi sekarang kala itu.
Awal dari kembalinya martabat film horor lokal dimulai dari perilisan “Danur” dan “Pengabdi Setan” remake pada 2017. Kedua film ini mulai memahami pentingnya promosi besar-besaran untuk mencapai kesuksesan film. “
Danur” sendiri merupakan film horor yang diangkat dari buku best seller karya Risa Saraswati. Dimana setiap buku yang Ia tulis adalah berdasarkan kisah nyata dengan teman-teman hantunya, karena Risa mengklaim bahwa dirinya memiliki anugerah untuk melihat makhluk tak kasat mata sejak kecil. Latar belakang tersebut saja sudah cukup menarik sebagai bahan promosi, kemudian dipilihlah artis muda yang sedang populer pada masanya, Prilly Latuconsina sebagai bintang utamanya.
Dengan segala pemberitaan gaib dalam proses syuting film “Danur”, pada akhirnya film ini sukses untuk menarik penonton dan benar-benar menyuguhkan film horor yang sesungguhnya.
Joko Anwar juga mencurahkan usaha terbesarnya untuk mempromosikan “Pengabdi Setan”. Mulai dari pemberitaan media, hingga menyempatkan diri untuk mampir ke kanal YouTuber lokal untuk mempromosikan filmnya. Alhasil, “Pengabdi Setan” remake akhirnya “meledak” di bioskop dan menjadi stimulus sehat bagi sineas Indonesia untuk mengeksplorasi materi horor yang lebih berkualitas.
Mulai muncul berbagai rilisan horor lokal terbaik seperti “Sebelum Iblis Menjemput” (2018), “Kafir: Bersekutu dengan Setan” (2018), hingga “Perempuan Tanah Jahanam” (2019) dan “Mangkujiwo” (2020). Kebangkitan horor lokal ini kebetulan juga bersamaan dengan kebangkitan film horor di Hollywood dengan munculnya film seperti “Get Out” (2017), “Hereditary” (2018), dan masih banyak lagi.
Meski masih ada banyak film horor Indonesia dengan plot yang tidak masuk akal dan produksi yang setengah-setengah, namun penonton masa kini sudah semakin sadar akan sebuah kualitas film.
Hal ini juga dipengaruhi dengan banyaknya media online lokal yang mengulas film seperti Cultura Magazine, hingga kanal YouTube lokal yang juga mengulas film dalam format video. Semoga kualitas film horor lokal semakin meningkat dan semakin banyak lagi eksplorasi cerita yang menyuguhkan hal baru bagi penikmat film lokal seperti kita.