Connect with us
perempuan tanah jahanam
Base Entertainment

Film

Perempuan Tanah Jahanam Review

Bagaikan The Wailing versi 2.0

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Joko Anwar memang sudah berkecimpung lama di dunia hiburan. Ia juga telah banyak menghasilkan film-film berkualitas. Namun sejak menyutradarai Pengabdi Setan, namanya benar-benar diperhitungkan. Karyanya masuk jajaran wajib ditonton oleh pecinta film di Indonesia. Apalagi setelah ia menjadi pembuka dari Jagat Sinema Bumilangit dan menyutradarai Gundala. Sikap hormat tak hanya datang dari kalangan penikmat film tetapi juga para pelaku industri hiburan lainnya. Bagaimana dengan Perempuan Tanah Jahanam?

Teasernya saja sudah membuat kita bergidik. Lagi-lagi Joko bekerja dengan deretan aktris dan aktor yang sudah pernah bermain di filmnya seperti Tara Basro, Asmara Abigail, dan Ario Bayu. Kita akan terkecoh dan melihat karakter Asmara di teaser yang begitu mengerikan. Kata-katanya terasa sangat menjual. Beberapa penggemar film mencoba membandingkan jargon yang digaungkan Asmara seperti jargon Shaarefa Daanish di Rumah Dara (2009). Keduanya juga memiliki kemiripan yaitu terletak di antah berantah.

Sebenarnya kalau ingin menikmati Perempuan Tanah Jahanam ada baiknya menonton Pengabdi Setan dan The Wailing (2016) terlebih dahulu. Mereka menawarkan vibes yang sama. Beberapa unsur utama di ketiga film itu pun serupa yaitu ilmu hitam, keluarga, dan tentang anak yang dikutuk. Sebenarnya bila ada terlalu banyak kesamaan bisa jadi akan membosankan. Namun jangan khawatir, dengan formula yang tepat maka ketiga film ini akan terasa berbeda di mata penonton.

Kisahnya tentang Maya dan Dini, dua perempuan yang bekerja sebagai penjaga loket karcis tol shift malam. Maya sebenarnya memiliki nama asli Rahayu tapi entah mengapa sang bibi mengubah namanya. Sebenarnya Maya dan Dini bukan teman sepantaran juga memiliki latar belakang yang berbeda. Hanya saja kejamnya kehidupan di kota membuat mereka akrab. Sebetulnya Maya mengeluhkan gangguan salah seorang pengendara yang selalu melewati loket karcisnya di malam hari. Ternyata lelaki itu benar-benar berniat buruk kepada Maya. Akibat trauma, mereka berdua resign dan mengadu nasib menjadi penjual pakaian.

Sayangnya menjadi pedagang tidaklah mudah. Mereka mulai kehabisan uang. Maya dan Dini memutuskan pulang ke kampung Maya dengan harapan mendapatkan warisan. Kabarnya kedua orangtua Maya memiliki rumah yang berukuran besar. Keduanya datang dengan menyamar sebagai mahasiswi yang akan melakukan penelitian mengenai kehidupan dalang. Mereka pun datang dengan sikap ala perempuan kota. Tetapi keanehan mulai muncul. Tidak ada anak-anak di kampung itu. Warga desanya juga muram. Ada terlalu banyak kuburan di sana. Setiap hari, ada saja yang mati.

Kita harus memberikan standing ovation atas kehadiran Christine Hakim sebagai antagonis di film ini. Meskipun scene-nya sedikit—yang sangat disayangkan—ia mampu memukau dengan performa khas aktris papan atas. Dialognya mungkin sedikit. Tapi patut digarisbawahi seluruh tutur kata, gerak-gerik tubuhnya, hingga ekspresinya akan meninggalkan bekas mendalam. Sebagai seseorang yang baru pertama kali bermain film horor, Christine jelas terlihat seperti seorang yang sudah sangat ahli. Tubuhnya yang tremor terlihat alami begitu pula bibirnya yang tersungging itu justru menambah ngeri.

Tara Basro dan Marissa Anita pun bermain cukup apik. Dialog-dialog yang nakal dan kasar mereka ucapkan secara alami. Tak ada kesan malu-malu atau ragu. Bahkan ada adegan di mana Tara buang air kecil dan Marissa masuk ke dalam sana. Pada adegan itu, Tara benar-benar membuka celananya. Sebuah totalitas. Begitu juga dengan Asmara, Ario, dan para pemain pendukung yang menggunakan dialog Bahasa Jawa dengan luwes. Mereka mampu berakting apa adanya tanpa terasa kaku atau aneh.

Salah satu detail kecil yang patut dipertanyakan adalah scene pendalangan. Mengapa para dalang di dalam film ini tidak bercerita seperti yang seharusnya? Kita tentu tahu selain ada perangkat gamelan dan sinden yang menyanyi, si dalang bertugas mendongeng. Tak hanya sekadar memainkan wayang-wayang kulit tersebut. Namun seluruh dalang di film ini memainkan wayang dengan mulut tertutup. Untungnya baik pemain gamelan maupun sinden berperan bagus. Kita takkan melihat mereka tampil setengah-setengah. Apalagi adegan menari Christine yang cukup membius. Sangat magis.

Salah satu kelebihan Perempuan Tanah Jahanam dibanding Pengabdi Setan adalah skenario yang lebih rapi dan plot hole yang lebih minim. Meski lagi-lagi patut dipertanyakan kenapa Joko senang sekali menggunakan pemeran bapak yang memiliki usia tak jauh beda dengan pemeran anak, untunglah makeup di film ini cukup meyakinkan. Si pemeran bapak terlihat cukup tua. Begitu pula dengan sebutan film horor. Sebenarnya film ini lebih cocok disebut thriller. Perempuan Tanah Jahanam juga lebih mudah dicerna dibanding The Wailing dan memiliki skenario lebih masuk akal. The Wailing sendiri terlalu rumit sehingga membuat penonton memiliki beragam interpretasi.

Scene ketika Maya mendapat penglihatan mengenai kejadian sebenarnya itu membuat alur film sedikit melambat dan membosankan. Meski scene itu diperlukan, sebetulnya bisa saja durasinya diperpendek. Begitu pula jump scare yang bertebaran di mana-mana dan sesungguhnya tidak perlu karena tidak ada hantu di sana. Secara garis besar, tetap saja Perempuan Tanah Jahanam sangat perlu diapresiasi. Sebuah karya anak negeri yang unik.

12.12: The Day 12.12: The Day

12.12: The Day Review – Kudeta Militer dan Periode Tergelap Korea Selatan

Film

Look Back Review Look Back Review

Look Back Review: Nostalgia & Tragedi

Film

Conclave review Conclave review

Conclave Review – Drama Intrik di Balik Pemilihan Paus

Film

We Live in Time We Live in Time

We Live in Time Review: Perjuangan Pasangan Melawan Kanker & Waktu

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect