Connect with us
Lika-Liku Seni Mural Jalanan
Photo via Flox.co.nz

Culture

Lika-Liku Seni Mural Jalanan

Mural adalah perlawanan bagi seni yang eksklusif untuk golongan elit. Melalui sejarah, asal mula pernyataan tersebut dapat ditelusuri pada masa revolusi Meksiko.

Mural memiliki sejarah yang sangat panjang. Sejak manusia mengenal dunianya, saat itu pula bentuk kuno dari mural telah muncul. Hal ini sejalan dengan naluri manusia untuk menciptakan sesuatu. Dan seperti mural, hasil ciptaan itu memiliki nilai estetika. Karya seni adalah produk kebudayaan yang diciptakan selama manusia masih menjalani kehidupan di bumi.

Seni mengalami perubahan, tak ubahnya juga dengan seni mural. Setiap peradaban memiliki muralnya tersendiri. Pada masa peradaban kuno, lukisan di sebuah bidang datar dapat ditemukan di gua-gua atau batu, untuk menceritakan peristiwa yang terjadi di sekitar sang pelukis.

Mural pada zaman kemerdekaan

Mural pada zaman kemerdekaan. (Source: visualjalanan.org)

Definisi mural yang kita pahami sekarang memang sudah jauh dari peradaban kuno tersebut. Sekarang ini, mural diasosiasikan sebagai street art yang muncul di lingkungan urban. Jika pada abad pertengahan dan renaissance, lukisan mural sering ditemukan di gereja maupun interior gedung, pada masa modern mural sering ditemui di tembok-tembok polos yang dilalui banyak orang setiap harinya.

Populernya Mural Sebagai Street Art oleh Diego Rivera

Perubahan dari mural sebagai seni tingkat tinggi menjadi seni yang bisa dilakukan oleh siapa saja dapat ditarik kembali ke masa setelah perang dunia pertama, lebih tepatnya pada revolusi Meksiko. Diego Rivera (1922-1953) merupakan perintis lukisan mural asal Meksiko. Karya pertamanya adalah “Man at the Crossroad” yang dipesan untuk dilukis di Rockefeller Building, New York.

Lukisan ini menggambarkan kehidupan sosial modern pada saat itu, dimana seorang wanita kaya terlihat bermain kartu dan merokok di sebelah kiri, sementara di sebelah kanan tergambar pemimpin revolusioner Lenin bergandengan dengan sekelompok pekerja multi-ras. Di bagian atas sang wanita kaya terdapat gambar tentara dan mesin perang, sementara di atas Lenin ada gambar unjuk rasa hari buruh. Bagi Rivera, lukisan ini mewakili keadaan sosial yang kontras.

Tentu saja lukisan ini kemudian membuat marah sang pemesan karena muatan anti-kapitalisnya. Oleh karena itu Rivera melukis ulang lukisan tersebut di Meksiko, dengan judul “Man, Controller of The Universe”, dengan beberapa perubahan.

Man at the Crossroad

Man at the Crossroad (1933) | Photo via Wikipedia

Di dinding Palacio Nacional Mexico, Rivera melukis sebuah komposisi yang sangat ramai dan rumit berjudul “From the Conquest to 1930”. Melalui mural ini, Rivera mewakili adegan-adegan penting dari sejarah Mexico, termasuk adegan penaklukan oleh Spanyol, perjuangan kemerdekaan dari Spanyol, perang Meksiko-Amerika, revolusi Meksiko, dan Meksiko masa depan yang dibayangkan.

Meksipun banyak sekali peristiwa yang bisa dilukiskan dalam periode ratusan tahun sejarah Meksiko, Rivera berfokus pada tema-tema yang didorong oleh konflik kelas serta perjuangan rakyat Meksiko melawan penjajah asing. Melalui mural tersebut, Rivera meyakinkan warga Meksiko tentang kekuatan lokal yang mereka miliki dan membuat mereka merasa memiliki kota tersebut.

Dengan dua orang lainnya, yaitu José Clemente Orozco dan David Alfaro Siqueiros, mural berkembang menjadi bentuk ekspresi, sering menjadi objek kontroversi dan simbol solidaritas, kebebasan, dan harapan. Mural yang muncul pada momen revolusi Mexico ini kemudian menginspirasi gerakan serupa di seluruh dunia.

Bukan Hanya Seni, Mural Menjadi Politik Sehari-hari

Fenomena ‘politik sehari-hari’ atau everyday practice of politics didefinisikan oleh Giddens sebagai bentuk keterlibatan politik dimana pelakunya menggabungkan kehidupan sehari-hari dengan aktivitas politik yang sedang berjalan.

Arena politik sehari-hari tidak di institusi politik formal, markas partai politik, hingga ruang rapat mahasiswa. Tema yang dibahas lebih kepada urusan sehari-hari yang menyangkut pelayanan publik, seperti sulit beli beras, kualitas sekolah anak, usaha yang digusur, dan lain-lain. Singkatnya, everyday politics adalah politiknya orang ‘biasa’, kepentingannya mencakup hal-hal yang ditemukan sehari-hari dalam kehidupan.

Bentuk mural sebagai urban street art dapat dikategorikan sebagai politik sehari-hari, karena mural dekat dengan kehidupans sehari-hari misalnya kritik sosial atau isu-isu yang sedang hangat di masyarakat. Melalui lukisan mural, rakyat yang tadinya tidak tertarik dengan isu tersebut akan lambat laun ambil bagian di dalamnya.

Poster Perjuangan Boeng Ajo Boeng!

Poster Perjuangan Boeng Ajo Boeng!

Di Indonesia, gerakan yang sama muncul pada masa revolusi kemerdekaan. Ketika Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tidak serta merta semua rakyat langsung mengetahui berita itu. Untuk mengobarkan api perjuangan melawan Belanda yang berusaha menanam cengkeraman kembali, para pelukis turut ambil bagian. Yang paling terkenal adalah seruan “Merdeka Ataoe Mati” yang muncul di gerbong-gerbomg kereta dan tembok-tembok.

Selain dilukis langsung di dinding, seruan juga disebarkan dalam bentuk poster yang kemudian ditempel di dinding. Contohnya, lukisan Affandi yang melukiskan gambar orang yang dirantai, namun rantai itu sudah putus. Gambar tersebut diikuti sebuah tulisan singkat namun sangat tepat konteksnya dengan peristiwa yang sedang terjadi, “Boeng, ajo boeng!”. Lucunya, ide tulisan ini diberikan oleh Chairil Anwar, yang mendapat inspirasi dari kata-kata yang biasa diungkapkan oleh pelacur-pelacur Jakarta yang menawarkan dagangannya pada zaman itu.

Ragam seni mural dan street art lainnya bertumbuh lagi seiring menguatnya protes terhadap orde baru. Setelah Soeharto mengundurkan diri, seni jalanan berkembang seperti cendawan di musim hujan. Karya-karya mural yang tumbuh di tembok-tembok kota menjadi ikon protes terhadap situasi sosial dan politik di Indonesia. Salah satunya adalah sketsa wajah Munir, sosok pembela HAM yang meninggal karena diracun, karya seniman Yogyakarta yang menjadi begitu ikonik di Indonesia.

Sketsa Munir di jalanan Yogyakarta

Sketsa Munir di jalanan Yogyakarta. (Source: Antitank)

Pentingnya Komunitas Mural di Perkotaan

Bukan rahasia lagi jika keberadaan mural membuat lingkungan menjadi lebih indah. Warna-warni yang dihasilkan membuat tembok yang tadinya tidak diperhatikan menjadi diperhatikan. Sesuatu yang terkesan biasa dan membosankan dapat disulap menjadi suatu pemandangan, yang tentu saja menambah pengalaman menyenangkan bagi yang melewatinya.

Keberadaan mural mampu menarik perhatian warga lokal maupun turis. Menariknya sebuah kota untuk dikunjungi akan berpengaruh pula kepada lokasi-lokasi wisata yang ada di sekeliling, dan meningkatkan pendapatan ekonomi suatu daerah.

Kegiatan pembatasan terhadap kreativitas para muralis sebenarnya tidak bisa dilakukan, selama mural tersebut tidak melanggar hukum yang jelas. Bentuk pembatasan yang ditunjukkan dengan penghapusan mural sebenarnya sama dengan penindasan.

Sebagai seni yang dilakukan oleh kelompok non borjuis, mural sebenarnya sedang menyuarakan bahwa siapa saja dapat membuat karya. Berbeda dengan galeri atau museum yang hasil karyanya hanya dapat dinikmati secara eksklusif, mural tidak terikat dengan eksklusivitas. Maka, penghapusan mural disebut penindasan karena menegaskan otoritas elit kepada rakyat biasa.

“If you want to know what is actually occurring inside, underneath, at the centre, at any given moment, art is a truer guide than politics, more often than not,” — Wyndham Lewis, 1884-1957

Penyambutan Rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah di Pelabuhan Benteng Selayar-1 Penyambutan Rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah di Pelabuhan Benteng Selayar-1

Selayar dan Kejayaan Maritim Nusantara

Culture

Eksplorasi Pesona Kebudayaan Jepang Melalui Anime

Culture

Steven Spielberg Steven Spielberg

Mengenal Steven Spielberg dari Filmografinya

Culture

Virgin The Series Virgin The Series

Virgin The Series vs Euphoria: Menilik Lika-liku Kehidupan Generasi Muda di Era Modernisasi

Current Issue

Connect