Connect with us
Penyambutan Rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah di Pelabuhan Benteng Selayar-1
Photo Cr. Dicky Bisinglasi/Cultura

Culture

Selayar dan Kejayaan Maritim Nusantara

Bagaimana Selayar di masa lalu, masa kejayaan maritim Nusantara, hingga masa kini.

Setidaknya mulai abad ke-8, Indonesia sudah unggul dalam budaya maritimnya. Saat itu orang Jawa telah berhasil membuat bahtera raksasa, namanya Jung atau Djong, yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti Perahu.

Gaspar Corriea, seorang sejarawan Portugis pada abad ke-16 mencatat ada kapal raksasa dari Jawa yang tidak mempan ditembak meriam. Hanya tembus 2 lapis saja dari total ada 4 lapisan kapal tersebut. Pada masa tersebut Nusantara sudah menjadi destinasi para pelaut sejagad karena perdagangan rempah-rempahnya. Hampir sebagian besar dari rempah-rempah yang ada di dunia dapat ditemukan di wilayah Nusantara. Jalur pelayaran perdagangan rempah-rempah ini kemudian dinamakan ‘Jalur Rempah’.

Dalam sejarah aktivitas Jalur Rempah, Selayar memegang peranan penting arus lalu lintas pelayaran dari dan menuju wilayah timur Nusantara. Selayar menyandang status resmi sebagai sebuah Kabupaten Kepulauan yang berpenduduk sekitar 130 ribu jiwa di bawah wilayah administratif provinsi Sulawesi Selatan. Berlokasi tepat di selatan pulau Sulawesi, Kabupaten Kepulauan Selayar terdiri dari 123 pulau-pulau kecil dan Pulau Selayar seluas 2000 km2 sebagai pulau utama. 95% wilayahnya terdiri dari lautan, di antara Laut Flores, Selat Makassar, Laut Banda dan Laut Jawa.

Penyambutan Rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah di Pelabuhan Benteng Selayar

Penyambutan Rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah di Pelabuhan Benteng Selayar (Dicky/Cultura)

Selayar sering disebut sebagai ‘Tana Doang’, yang memiliki beberapa versi artian. Doang yang berarti Udang, diadopsi karena bentuk pulau utamanya yang menyerupai udang. Ada juga versi yang mengatakan bahwa Doang diambil dari kata Doa, mengingat zaman dahulu Selayar merupakan tempat para persinggahan para pelaut dari kapal-kapal di jalur pelayaran Jalur Rempah untuk berdoa, rehat, menunggu musim angin tergantung arah tujuan mereka, sambil mengisi perbekalan untuk pelayaran selanjutnya.

Sedangkan nama Selayar sendiri diambil dari kata Cedaya dalam bahasa Sansekerta, yang berarti Satu Layar. Konon banyak perahu dengan satu layar (selayar) singgah di wilayah ini. Mpu Prapanca menulis dalam karyanya; Kitab Negarakertagama, pada pertengahan tahun 1364, bahwa pada masa itu kerajaan Majapahit saat dipimpin oleh Raja Hayam Wuruk yang bergelar Rajasanegara, Selayar digolongkan kedalam “Nusantara”, yakni pulau-pulau kecil di luar Pulau Jawa. Hal ini menandakan bahwa armada laut Majapahit di kala itu pun pernah singgah di wilayah Selayar.

Narasi Melayu abad ke-16 juga menyebutkan bahwa anak Raja Riau yang berlayar dan terbawa angin dan arus akhirnya tiba di Buki (salah satu nama kecamatan di Selayar saat ini). Nahkodanya kemudian berkata “Kita salah layar!”. Dari sinilah lahir versi lain kata Selayar yang berasal dari salah layar, juga lahirnya kerajaan Buki.

Rangkaian Prosesi Ritual A’bokong Bura’ne

Rangkaian Prosesi Ritual A’bokong Bura’ne (Dicky/Cultura)

Dalam kitab hukum pelayaran dan perdagangan Amanna Gappa pada abad ke-17, Selayar disebut sebagai salah satu tujuan niaga karena letaknya yang strategis sebagai tempat transit pelayaran menuju timur dan barat. “Orang yang berlayar dari Makassar ke Selayar, Malaka dan Johor, harga sewanya 6 rial dari tiap 100 orang”, begitu salah satu bunyi perundangan yang tersebut dalam naskahnya.

Selain singgah, pelaut-pelaut dunia juga mengangkut berbagai komoditi perdagangan dari Selayar. Pakar sejarah maritim, Dr. Abd. Rahman Hamid, menceritakan bahwa pada masa itu Selayar sudah cukup masyhur akan komoditi hasil laut dan kayu-kayu lokal untuk reparasi kapal para pelaut yang singgah. Selayar tak lepas dari kapas sebagai bahan baku tekstil. Pada dekade awal abad ke-17 Selayar sudah terkenal dengan kain-kain sarung tenunnya seperti Lipa Tjoera, Lipa Lompo, Gabara, Pabasa dan Ginggang. Tekstil ini diperdagangkan ke Maluku, Kepulauan Sunda (Manggarai, Tanimbar, alor), Makassar, Banjarmasin, Kutai, bahkan Manila.

Pada abad ke-18 hingga 20, trend perdagangan di Selayar beralih ke komoditi teripang dan kopra. Di abad ke-19, hubungan Makassar dan Selayar meningkat sehubungan adanya permintaan teripang dari China. Teripang-teripang tersebut, termasuk dari daerah lain, dipusatkan di pelabuhan Makassar. Para pelaut dari Selayar, Makassar, Mandar, Bugis dan Buton mencari teripang hingga ke pantai utara Australia. Rute pelayaran ini akhirnya membentuk rute perdagangan maritim baru, utara-selatan, antara China-Nusantara-Australia.

Masyarakat Selayar Memanjat Kelapa dalam Kehidupan Sehari-hari

Masyarakat Selayar Memanjat Kelapa dalam Kehidupan Sehari-hari (Dicky/Cultura)

Selayar: Rayuan Pulau Kelapa

Kelapa diketahui telah eksis sejak masa pra-sejarah, terutama di sekitar daerah tropis. Beberapa sumber online menyebutkan bahwa kelapa berhasil tercatat telah dibudidayakan dari pegunungan Andes, Kolombia, Amerika Selatan, ribuan tahun sebelum masehi. Ada pula versi yang menyebutkan bahwa kelapa berasal dari Asia Selatan dan orang-orang Austronesia di Asia Tenggara yang kemudian menyebar ke daerah lain.

Sementara budidaya kelapa di Nusantara tercatat baru dimulai pada abad ke-19, di wilayah timur; Manado dan Ambon (1853), Selayar (1855), daerah lain di Sulawesi Selatan (1860), dan Gorontalo 1864. Melihat peta tahun persebaran tersebut, Selayar merupakan pioneer di wilayah Sulawesi Selatan. Dari Selayar kemudian bibit kelapa kemudian disebarkan ke daerah lain di wilayah tersebut.

Dr. Rahman menyebutkan bahwa kopra merupakan komoditi paling laris dan mahal pada abad ke-19 hingga akhir abad ke-20. Pada masa itu, kopra yang berasal dari kelapa menjadi komoditas andalan Sulawesi Selatan, kemudian diikuti oleh Kalimantan Barat, Bali-Lombok dan Manado. Selayar adalah pemasok utama kopra di Sulawesi Selatan. Minyak Kelapa dari Selayar juga diperdagangkan hingga wilayah Nusa Tenggara Barat (Bima dan Sumbawa), Jawa (Surabaya, Gresik dan Semarang), Bali, dan Kalimantan (Banjarmasin).

Alat Bantu Panjat Kelapa - Tarambang dari Bahan Kain Karung Tepung Terigu

Alat Bantu Panjat Kelapa – Tarambang dari Bahan Kain Karung Tepung Terigu (Dicky/Cultura)

Pada tahun 1880-an, pedagang kopra asal Selayar tercatat berangkat menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Jamaah haji terbanyak berasal dari Batangmata, wilayah bagian utara pulau Selayar. Bahkan pada abad ke-20 banyak orang Selayar yang memakai gigi emas sebagai sebuah gaya hidup dan simbol strata sosial. Fenomena kekayaan material dari hasil perdagangan kopra ini kemudian melahirkan istilah “Emas Hijau dari Selayar.”

Christiaan G. Heersink, seorang Belanda, dalam tulisannya “Selayar and the Green Gold: The Development of the Coconut Trade on an Indonesian Island (1820-1850)” pada tahun 2009, menyebutkan bahwa untuk pertama kalinya kopra diekspor ke Eropa sebagai bahan baku sabun dan margarin. Saat itu ⅓ kopra yang ada di dunia berasal dari wilayah Netherland Indies, yakni Nusantara, termasuk Selayar.

Data yang dikutip dari website www.worldpopulationreview.com menyebutkan bahwa Indonesia masih menempati urutan pertama penghasil kelapa dunia, dengan 17.159.938 metric-ton pada tahun 2021, disusul Filipina dan India di urutan kedua dan ketiga. Sementara permintaan akan kebutuhan kelapa dunia pada tahun yang sama, 2021, adalah 19,9 juta metric-ton.

Kegiatan Minum Air Kelapa Massal di Lapangan Benteng, Selayar - 1

Kegiatan Minum Air Kelapa Massal di Lapangan Benteng, Selayar (Dicky/Cultura)

Kelapa dan Kearifan Lokal Selayar

Kelapa sudah familiar dengan penduduk Selayar bahkan sedari bayi. Anjoro dalam bahasa lokal berarti kelapa, dan Tahuni yang artinya ari-ari bayi. Anjoro Tahuni, kemudian dikenal sebagai sebuah ritual turun temurun penanaman ari ari bayi dengan tunas kelapa di masyarakat desa Bontolempangan, Kecamatan Buki, Selayar.

Proses kelahiran bayi dibantu oleh Sandro, sang Dukun Beranak. Setelah melalui beberapa tahapan ritual kemudian ari-ari bayi dipotong dengan menggunakan sahille atau sembilu, yang kemudian ditaburi dengan bubuk kunyit untuk mengobati bekas lukanya. Ari-ari tersebut diletakkan di dalam sebuah kendi.

Prosesi ini cukup panjang dengan berbagai rangkaiannya. Salah satunya adalah prosesi siraman yang disebut dengan bakbese. Dalam bakbese, ibu dan si bayi didudukkan di sebuah kelapa yang bertunas. Setelah sang sandro membakar kemenyan untuk memulai ritual, lalu si bayi dimandikan dengan air kelapa yang diikuti oleh 4 orang anggota keluarga yang lain secara bergantian.

Rangkaian Prosesi Ritual Anjoro Tahuni

Rangkaian Prosesi Ritual Anjoro Tahuni (Dicky/Cultura)

Setelah semua rangkaian prosesi selesai kemudian ari-ari bayi ditanam dengan satu tunas kelapa. Ritual Anjoro Tahuni dimaksudkan sebagai penandan kelahiran bayi, yang juga sebuah harapan dari orang tua agar kelak sang bayi bersifat seperti kelapa; punya banyak manfaat dan berguna banyak orang terutama bagi kedua orang tuanya.

Ada pula ritual A’bokong Bura’ne. Saat anak laki-laki tumbuh dewasa, orang tua akan mempersiapkan sebidang tanah dengan bibit pohon kelapa sebagai sunrang atau mahar untuk meminang perempuan pilihannya suatu saat nanti. Besaran mahar ditentukan melalui kesepakatan kedua belah pihak dan tergantung derajat sosialnya masing masing. Ada yang sebanyak 44 bibit pohon kelapa, ada pula yang 88 buah. Rangkaian prosesi ini dimulai dengan menyanyikan barasanji atau lagu tradisional Selayar, yang dihadiri oleh Opu (kakek dan nenek) dan pemangku adat setempat sebagai saksi untuk menghindari sengketa di kemudian hari.

Rangkaian Prosesi Ritual A’bokong Bura’ne Selayar

Rangkaian Prosesi Ritual A’bokong Bura’ne (Dicky/Cultura)

Bekal mahar sebidang tanah mempunyai filosofi dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Sementara pohon kelapa yang berdiri kokoh menjulang tinggi, melambangakn kemandirian.

Kelapa pun dipilih karena serba guna dan banyak manfaatnya, dari akar, buah hingga ujung daunnya. Pohon kelapa juga dapat tumbuh dimanapun sebagai harapan agar si anak lelaki nantinya menjadi pribadi yang adaptif, menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Tak cuma ritual, Selayar pun kondang dengan kuliner berbahan kelapanya. Sebut saja Roti Kaya, roti tawar yang diisi dengan selai kelapa dan gula merah. Tai Nyonyo, kudapan dari bahan ampas kelapa setelah proses pengolahan minyak kelapa yang rasanya gurih manis. Lazimnya, Tai Nyonyo dipergunakan untuk campuran bahan pembuatan sambal agar lebih gurih dan nikmat. Putu Cangkiri, Buah Pariah, Apam dan Palu Bandang, semuanya juga melibatkan kelapa sebagai salah satu bahan dasarnya. Sementara Saronso adalah minuman dari parutan kelapa yang dibalut dengan gula merah cair.

Jejak Jalur Rempah di Selayar

Selayar ramai disinggahi pelaut-pelaut dunia pada era Jalur Rempah. Hingga saat ini masih terdapat bukti-bukti fisik yang seolah menjadi saksi bisu kejayaan Selayar di masa lampau. Salah satunya adalah jangkar raksasa raksasa dan meriam, yang saat ini dimuseumkan di wilayah kampung Padang, tak jauh dari lokasi bandara Aroeppala, Selayar.

Dari catatan di sebuah text yang digantung di dinding museum, Jangkar ini merupakan peninggalan dari saudagar keturunan Cina bernama Gowa Liong Hui (Baba Bos Kamar) yang pada abad ke-17, selama bertahun-tahun dia singgah di Kampung padang dengan kapalnya yang berukuran besar. Suatu hari kapalnya rusak hingga tidak dapat dipergunakan untuk berlayar lagi. Sedangkan meriamnya berasal dari saudagar keturunan China lain bernama Baba Desan dari Goa yang membawa kapal bermeriam untuk mengantisipasi bajak laut.

Saat itu, Padang, yang wilayahnya adalah pesisir, adalah tempat persinggahan untuk mengisi air bersih dan perlindungan dari cuaca buruk. Kedua jangkar dan tiga buah meriam tersebut kapal tersebut akhirnya diamankan oleh penduduk setempat.

Potret Abdul Rachman dengan Jangkar Raksasa dan Meriam di Kampung Padang

Potret Abdul Rachman dengan Jangkar Raksasa dan Meriam di Kampung Padang (Dicky/Cultura)

Jangkar yang panjang batangnya mencapai 2 meter 29 centimeter dan meriam terbesar berdiameter 25 cm ini konon dipikul oleh 70 orang warga kampung Padang dengan bantuan palang kayu sepanjang 5 meter, menurut cerita Abdul Rachman (53 tahun), yang saat mudanya termasuk dalam 70 orang yang mengangkat jangkar tersebut.

Selain jangkar, ada juga sebuah Gong Nekara perunggu yang dipercayai datang dari kebudayaan Indo-China, tepatnya dari kebudayaan Dongson yang berkembang di Vietnam. Orang orang Dongson dikenal sebagai petani dan pelaut handal di kala itu. Nekara ini ditemukan warga kampung Rea-Rea pada tahun 1686, yang kemudian dijadikan benda pusaka kerajaan Putabangun. Nekara ini diyakini sebagai yang terbesar di Asia Tenggara, bahkan di dunia, menurut lama situs resmi Jalur Rempah Kemdikbud. Nekara ini berfungsi dalam ritual keagamaan, simbol status sosial, isyarat perang, dan penunjuk arah mata angin.

Di Museum Nekara juga terdapat koleksi keramik dari Dinasti Sung, China, pada abad ke-8 dan 9, hingga Dinasti Ming abad ke-14 dan 15 yang ditemukan di perairan Selayar. Keramik keramik tersebut kebanyakan berupa cepuk atau tempat perhiasan, botol dan mangkuk.

Permainan Tradisional Bangkeng Aka_daro - Alas Kaki dari Tempurung Kelapa

Permainan Tradisional Bangkeng Aka_daro – Alas Kaki dari Tempurung Kelapa (Dicky/Cultura)

Mulai 23 November hingga 2 Desember 2023 lalu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan teknologi (Kemendikburistek) Republik Indonesia melalui salah satu programnya; Muhibah Budaya Jalur Rempah 2023 kembali menggelar ekspedisi pelayaran dengan kapal legenda TNI Angkatan Laut, KRI Dewaruci, dari Surabaya, Jawa Timur, menuju Selayar, Sulawesi Selatan.

Tahun ini Selayar dipilih sehubungan dengan diadakannya Festival Budaya Maritim Kepulauan Selayar yang mengambil tema “Kepalaku Budayaku, Lautku Kehidupanku.” Sebanyak 45 orang peserta yang terdiri dari 20 orang Laskar Rempah terpilih dari beberapa daerah di Indonesia, peneliti, media, dan influencer terpilih untuk mengikuti perjalanan napak tilas kejayaan maritim Nusantara pada masa Jalur Rempah silam.

Eksplorasi Pesona Kebudayaan Jepang Melalui Anime

Culture

Steven Spielberg Steven Spielberg

Mengenal Steven Spielberg dari Filmografinya

Culture

Virgin The Series Virgin The Series

Virgin The Series vs Euphoria: Menilik Lika-liku Kehidupan Generasi Muda di Era Modernisasi

Current Issue

WHITE SAVIOUR SYNDROME DALAM FILM HOLLYWOOD WHITE SAVIOUR SYNDROME DALAM FILM HOLLYWOOD

White Saviour Syndrome Dalam Film Hollywood

Culture

Connect