Connect with us
Kucumbu Tubuh Indahku Review
Fourcolours Films

Film

Kucumbu Tubuh Indahku Review: Perjalanan Hidup Penari Lengger Lanang

Kehidupan yang terbentuk dari trauma, hasrat, dan cinta.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

“Kucumbu Tubuh Indahku” merupakan film drama Indonesia karya sutradara Garin Nugroho yang rilis pada 2018. Bercerita tentang perjalanan hidup bocah yang tinggal di suatu desa di Jawa pada 1980an, Juno adalah anak yang ditelantarkan orang tuanya, tumbuh besar mengalami trauma, hasrat, dan cinta hingga akhirnya menjadi penari Lengger Lanang.

Juno diperankan oleh tiga aktor dalam film ini; Raditya Evandra sebagai Juno kecil, Muhammad Khan sebagai Juno remaja, dan Rianto sebagai Juno dewasa sekaligus narator utama kita.

“Kucumbu Tubuh Indahku” berhasil mendapatkan delapan penghargaan dari dua belas nominasi di Festival Film Indonesia 2019. Termasuk Film Terbaik dan penghargaan Sutradara Terbaik pertama bagi Garin Nugroho pada ajang penghargaan paling bergengsi di Indonesia tersebut.

Meski sempat menuai kontroversi di negaranya sendiri, film ini telah diputar di berbagai festival film internasional dan tetap berhasil mendapatkan beberapa penghargaan lokal. Sempat diisukan sebagai film bermuatan LGBT yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia, film ini sebetulnya lebih dari sekadar film LGBT serta hendak mengeksplorasi kebudayaan Indonesia.

 

Perjalanan Hidup Juno dalam Empat Babak

“Kucumbu Tubuh Indahku” terinspirasi dari kisah penari Lengger Lanang, Rianto, penari Indonesia yang kini berdomisili di Jepang. Ia tubuh besar di Banyumas, provinsi di Jawa Tengah yang menjadi asal dari Tari Lengger. Rianto pun terlibat dalam film ini sebagai narator utama yang menuntun kita dalam empat babak kehidupan Juno.

Rianto menampilkan akting yang arahanya lebih teatrikal, membawakan monolog dalam bahasa lokal sebagai prolog dalam setiap babak kehidupannya. Kemudian dipadukan dengan tarian yang seiring babak akan terlihat perkembangannya. Dikarenakan Juno sebagai protagonis semakin banyak pengalamannya dalam menjalani kehidupan. Film ini didominasi dengan bahasa lokal, jadi terlihat sangat otentik.

Dua babak pertama mengangkat kisah masa kecil Juno yang ditinggal oleh ayahnya. Kemudian hidup dengan bibinya setelah tragedi yang  membuatnya harus berpindah tempat tinggal. Begitu juga memasuki masa remaja, selalu ada pengalaman indah untuk dikenang, sekaligus tragedi yang meninggalkan pahit di hati.

“Kucumbu Tubuh Indahku” akan mengingatkan kita pada Best Picture Oscar 2017, “Moonlight” oleh Barry Jenkins. Dimana juga tentang perjalanan seorang bocah dari masa kecil yang traumatis, diperankan oleh tiga aktor, serta transisi setiap babak yang terlihat jelas.

Jika “Moonlight” mengaplikasikan elemen art house dalam sinematografinya, film garin Nugroho ini memiliki elemen art house pada narasinya yang teatrikal. Kedua film ini memiliki banyak kesamaan secara konsep, namun muatan naskahnya tetap sangat berbeda.

Satu poin minus adalah eksekusi babak keempat yang transisinya terlihat terlalu jauh dari babak ketiga. Kemudian dialognya tiba-tiba terlalu teatrikal dan dramatis. Padahal tidak terlalu demikian di tiga babak petama. Jadi perubahannya terlalu kontras. Membuat penonton jadi tidak terlalu paham apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam babak tersebut.

Kucumbu Tubuh Indahku

 

Tentang Trauma, Hasrat, dan Cinta

Ada tiga komponen yang terlihat mendominasi kisah Juno dalam film ini; trauma, hasrat, dan cinta. Ada banyak kenangan pahit yang menimbulkan trauma dalam hidup Juno sejak kecil. Juno memiliki hasrat akan seni tari Lengger, yang akhirnya menjadi minatnya. Kemudian apalah hidup tanpa pengalaman cinta? Ada poin dalam kehidupan Juno ketika ia mengalami cinta pertama di masa remajanya dengan seorang petarung (Randy Pangalila). Dimana sebetulnya ditampilkan dengan sangat subtle dalam setiap adegan, namun tetap terasa tensi dan nuansa romantisnya. Tak lebih dari itu.

‘Tubuh’ yang dimaksud dalam film ini adalah ‘kehidupan’. Sementara ‘cumbu’ adalah kiasan hiperbola bagaimana Juno menyelami, mengalami, setiap hal yang terjadi dalam hidupnya, menyimpannya sebagai fragmen yang membentuk ‘tubuh’-nya. Jadi, ‘kucumbu tubuh indahku’ tak seharusnya dimaknai secara harfiah yang menimbulkan banyak asumsi negatif.

Setelah menonton filmnya, dijamin paham bahwa film ini tentang bagaimana Arjuno alias Juno mencintai hidupnya yang indah, bahkan ketika tak hanya terbentuk dari hasrat dan cinta, namun juga trauma dan luka.

Lebih dari Sekadar Film Bertema LGBT

“Kucumbu Tubuh Indahku” memang menjadi judul film Indonesia yang terlihat sangat berani. Dengan judul demikian, kemudian ditambah isu berlebihan tentang muatan LGBT dalam film ini, orang-orang asumsinya sudah kemana-kemana bahkan sebelum membaca sinopsis komplitnya.

Selain orientasi seksual Juno pada sesama gender, sebetulnya kesenian Lengger Lanang dekat dengan eksplorasi gender. Dimana penari laki-laki menari dengan penampilan perempuan, lengkap dengan makeup dan sanggul. Tarian yang dipertunjukan juga gemulai dan penuh lekukan khas tubuh perempuan. Medium seni yang mempertemukan maskulinitas dengan feminisme.

Namun, film ini tidak terlalu mengeksplorasi materi tersebut, hanya fokus dengan kisah Juno. Karena babak dimana Juno sudah menjadi penari ada pada babak keempat. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, babak keempat naskahnya tidak terlalu jelas. Mulai masuk juga muatan sosial dan politik di luar perspektif pribadi Juno.

Jadi, sebetulnya film ini masih sangat ‘ringan’ muatannya jika dimasukan kategori film bertema LGBT. Film lebih tentang kehidupan, lebih besar dari sekedar orientasi seksual Juno yang ‘kebetulan’ gay dalam kisah ini. “Kucumbu Tubuh Indahku” tersedia untuk di-streaming di KlikFilm.

Lost in Translation & Her: Kesepian dan Perpisahan dari Dua Perspektif

Film

Siksa Kubur & Badarawuhi di Desa Penari: Rayakan Lebaran dengan Film Horor Lokal

Entertainment

Monkey Man Monkey Man

Film & Serial Terbaru April 2024

Cultura Lists

Perfect Days Perfect Days

Perfect Days: Slow Living & Komorebi

Entertainment

Connect