Akhir-akhir ini industri film banyak memperbincangkan “Doctor Strange in the Multiverse of Madness” (2022) yang baru saja dirilis 5 Mei 2022.
Perbincangan terhadap sekuel Doctor Strange ini tidak hanya berkutat pada review, namun juga kontroversi karakter lesbian America Chavez sebagai salah satu tokoh utama dalam film ini.
Dilansir dari The Hollywood Reporter, penyertaan karakter lesbian menyebabkan “Doctor Strange in the Multiverse of Madness” (2022) dilarang tayang di beberapa negara seperti Arab Saudi dan Mesir sampai pihak Disney mau untuk menyetujui penghapusan adegan yang mengandung referensi LGBTQ tersebut.
Ini bukan kali pertama Disney menyertakan superhero LGBTQ dalam filmnya. Sebelumnya, Disney telah menuai kontroversi dengan memperkenalkan Phasos sebagai superhero gay pertama dalam film “Eternals” (2021).
Mungkin banyak dari kita yang bertanya-tanya kenapa beberapa tahun terakhir banyak film-film populer yang secara implisit menyuarakan atau menyertakan tokoh LGBTQ di dalamnya. Seperti contoh perilisan “Fantastic Beasts: The Secrets of Dumbledore” (2022) pada 13 April lalu yang sempat menimbulkan kontroversi di beberapa negara, termasuk di Indonesia.
Pasalnya film ke-3 dari trilogi Fantastic Beasts ini akhirnya mengungkap orientasi seksual Profesor Albus Dumbledore (Jude Law) sebagai gay melalui salah satu dialognya. Hal ini berimbas pada keputusan Warner Bros untuk memotong adegan dialog film untuk penayangannya di Tiongkok dan Arab Saudi.
Perjalanan Panjang Film sebagai Media Representasi LGBTQ
Kita semua tahu bahwa representasi LGBTQ melalui media film sebenarnya bukan hal yang baru dalam industri ini. Bahkan penyuaraan kelompok LGBTQ melalui media film telah dimulai lebih dari 100 tahun yang lalu.
Film populer pertama yang secara gamblang menampilkan tokoh LGBTQ adalah “The Rocky Horror Picture Show” (1969). Film drama musikal ini dianggap sebagai film pertama yang menampilkan serangkaian karakter gay secara eksplisit serta menjadi film pertama yang menunjukan representasi positif dari kelompok tersebut.
Namun, perjalanan panjang film sebagai media representasi LGBTQ tidak selalu berjalan mulus. Tema LGBTQ dalam industri film sempat menurun pada tahun 1980-an akibat stigma negatif terhadap kelompok-kelompok yang dianggap penyebab krisis AIDS waktu itu. Hingga pada tahun 1985, gelombang tren LGBTQ melalui film mengalami comeback dengan dirilisnya “Desert Heart” (1985) besutan sutradara Donna Deitch. Film ini dianggap sebagai film lesbian pertama yang terbilang sukses mencetak $2,5 juta sebagai box office.
Seiring berjalannya waktu, industri film getol mengangkat tema LGBT, atau hanya menyematkannya secara implisit sebagai perwujudan eksistensi kelompok tersebut.
Gelombang Tren yang Semakin Berkembang
Dalam beberapa tahun terakhir memang ada banyak contoh film yang sukses mempresentasikan kelompok LGBTQ dalam sinema. Pada tahun 2017, “Moonlight” (2017) karya Barry Jenkins menjadi film LGBTQ pertama yang memborong banyak piala Oscar untuk kategori Best Picture dan Best Writing. Lalu “Love, Simon” (2018) yang juga menjadi film produksi Hollywood pertama yang menampilkan karakter utama gay.
Tidak hanya itu, film-film produksi Disney yang dikenal dengan target market “family” pun beberapa kali menciptakan karakter gay dalam filmnya sejak perilisan “Beauty and The Beast” (2017).
Gelombang tren film sebagai media representasi LGBTQ dapat dikonfirmasi bila melihat data dari Statista yang mengatakan industri film memang banyak menyematkan LGBTQ dalam film-film populer maupun film anak melalui penokohan, plot, maupun kru-kru di balik layar. Pada tahun 2019, 45 karakter LGBTQ muncul di film-film populer di Amerika Serikat. Secara keseluruhan, antara 2014 dan 2019 terjadi peningkatan jumlah karakter LGBTQ dalam film populer sebanyak 190%.
Pengaruhnya dalam Industri Film
Melihat banyaknya film populer yang mengangkat tema LGBTQ seperti “Moonlight” (2017), “Bohemian Rhapsody” (2018), “Rocketman” (2019) yang terbilang sukses dari segi gross income dan rating penonton, menjadikan media film sebagai strategi penguat eksistensi LGBTQ yang akan terus berkembang.
Berdasarkan penelitian Studio Responsibility Index, ada peningkatan persentase film dengan karakter LGBTQ. Sebagian besar karakter-karakter ini juga merupakan karakter utama yang substansial. Sekitar 80% dari film rilisan 2020 memiliki karakter LGBTQ dengan screentime lebih dari 10 menit.
Namun, di satu sisi berkembangnya gelombang representasi LGBTQ melalui media film akan menjadi boomerang bagi industri film itu sendiri. Hal ini disebabkan masih banyak negara-negara yang memberlakukan kebijakan sensor ketat untuk materi yang mengandung unsur pornografi dan homoseksual secara eksplisit maupun implisit, termasuk di Indonesia sendiri.