Connect with us
White Shoes & The Couples Company
WSATCC (Photo: Reza Fauzi)

Music

Interview: White Shoes & The Couples Company

Bicara tentang album “2020” dan tanggapan WSATCC seputar platform musik digital.

White Shoes & The Couples Company (WSATCC) merupakan band pop asal Jakarta yang masih eksis berkarya hingga saat ini. Pada Desember 2020 kemarin, mereka akhirnya merilis full album ketiga mereka yang bertajuk “2020”.

Dengan menganut konsep cita rasa soundtrack film, “2020” dirilis dalam CD yang juga dilengkapi dengan buku untuk menemani pendengar saat mendengarkan lagu-lagu dalam album ini.

Sebagai band pop yang debut pada 2005 silam, masih banyak karya mereka yang belum didigitalkan. Namun secara perlahan, mereka memiliki niat untuk mengikuti perkembangan distribusi musik modern dengan mengandalkan platform digital.

Mari simak interview bersama White Shoes & The Couples Company seputar album “2020” dan tanggapan mereka dengan industri musik yang telah beralih ke platform digital.

Apa yang membuat WSATCC masih setia dengan genre retro pop hingga saat ini?

Sebetulnya kita tidak mendefinisikan diri sebagai retro pop, karena instrumen dan nuansa musik yang digunakan selalu berkembang. Kita juga sempat disebut sebagai chamber pop sebelum menggunakan bass dan synthesizer. Kita lebih menyebut musik kita sebagai Indonesian Pop biar variabelnya lebih luas.

Pada awalnya kita memang mengambil estetika musik pop 60-an, 70-an karena menurut kita memiliki nilai lebih. Jadi akhirnya secara tidak langsung memengaruhi cara kita memilih sound, cara kita berdandan, cara mempresentasikan lagunya. Cuma kalau dibilang retro pop sebenarnya nggak juga ya, karena kita termasuk modern. Mulai dari instrumen musik sampai sound effect secara digital. Tapi kalau ada yang mau bilang kita retro pop, boleh. Cuma kita nggak mau self-proclaim sebagai band retro pop.

Kalau gaya berpakaian, WSATCC padahal identik dengan penampilan vintage (retro). Bagaimana kalian men-self-proclaim seputar dandan manggung kalian?

Awal mulanya kita sebetulnya ingin tampil rapi saja. Karena kita dulu mulai band ini ‘kan waktu kita masih mahasiswa, dimana kita biasanya cuma kaosan dan pakai celana belel. Ketika manggung ingin terlihat rapi, pakai kemeja. Terus karena kita suka belanja kemeja di secondhand market, jadi ketemunya yang model lama dan harga murahnya. Tapi selain murah sebetulnya menurut kita jadi kelihatan lebih necis. Waktu kita dengerin musik kita, dandan seperti itulah yang emang matching sama lagunya. Jadi kita juga menyesuaikan dengan lagu pada saat itu.

WSATCC telah merilis album “2020” pada Desember 2020 kemarin. Bisa jelaskan konsep dan materi musik yang terkandung dalam album tersebut?

Kebetulan kita semua suka film. Referensi visual kita juga makin banyak. Akhirnya terbentuk konsep album yang emang kesannya soundtrack dari sebuah film. Jadi, setiap lagu dalam album “2020” adalah soundtrack dari satu film. Ketika ada 11 lagu berarti ada 11 film yang berbeda, dari 11 sutradara yang berbeda juga. Dan setiap lagu mempunyai cerita dan tone, warna film yang berbeda-beda, karakternya berbeda-beda juga. Hasil dari karangan kita dari tahun 2016.

Menarik! Jadi, persiapan albumnya sudah sejak tahun 2016, ya?

Baru obrolan doang pada tahun 2016. Cuma eksekusi baru mulai tahun 2019-an. Secara penajaman visual, packaging, dan segala macamnya. Konsepnya kurang lebih seperti itu. Jadi ketika orang dengerin satu lagu. Misalnya “Rumah”, kita kasih visualnya dan sinopsis dari film tersebut supaya ketika orang mendengarkan punya theater of mind tentang lagu tersebut. Harapannya seperti itu.

Makanya, kita juga bikin dalam bentuk buku, bukan cuma album doang, karena banyak yang ingin kita ceritakan dalam satu album. Kita juga ingin menciptakan mood karena mood merupakan salah satu yang paling penting dalam film. Kita banyak menciptakan mood dalam album ini.

Apa kalian mengatur mood secara urut dalam tracklist album “2020”?

Tidak juga, sih. Karena ini dari film yang berbeda-beda, bukan satu film. Namun, ketika kita mulai menyusun lagu-lagu untuk album ini, kita paham memang harus ada lagu yang pelan, ada yang harus up beat. Jadi dinamika album tetap kami perhatikan, agar album secara keseluruhan terdengar dinamis. Kemudian visual mengikuti dari album.

Platform digital seperti YouTube hingga berbagai platform streaming music sedang menjadi media yang paling gencar dimanfaatkan oleh musisi masa kini untuk mempromosikan karya mereka. Apa pandangan WSATCC tentang berbagai platform digital tersebut?

Bagus, bagus sekali. Digitalisasi itu semakin mempermudah kita untuk menemukan musik. Jadi lebih banyak referensi. Sekarang juga ada banyak baru yang bukan dari Jakarta tetap bisa diakses. Kalau jaman dulu tidak semua orang bisa punya vinyl, tapi kalau sekarang semua orang punya handphone (untuk mengakses platform musik digital).

WSATCC

WSATCC Irama Cita

WSATCC termasuk musisi dari era musik yang masih mengandalkan rilisan fisik. Banyak dari album kalian yang belum didigitalkan. Apa ada niat untuk kedepannya atau memang ingin mempertahankan karya dalam bentuk album fisik saja?

Kita sudah mulai merilis lagu di platform musik digital, Spotify, untuk album “2020”. Ada dua single yang sudah dirilis, “Irama Cinta” dan “Folklore”.

Kalau melihat bentuk distribusi musik yang sekarang sudah serba digital, menurut WSATCC, apa kelebihan dari album fisik yang tidak dimiliki oleh musik di platform digital?

Digital itu bagus, tapi ada esensi tertentu yang hilang ketika kita mendengarkan sebuah lagu. Misalkan, bagaimana kalian menikmati artwork dari album itu. Jadi kalau dulu kalian beli kaset, terus dapat sticker, terus kita bisa baca liriknya, siapa saja yang terlibat dalam album tersebut. Hal tersebut yang hilang dari platform digital, jadi kita cuma langsung stream lagunya saja. Menurut kita, musik bukan cuma lagu aja ada banyak elemen pendukung yang membuat musik itu jadi kaya.

Jadi, membeli album fisik masih penting. Mau kalian sudah download secara digital kalau bisa tetap beli album fisiknya. Karena perjalanan artwork dari musisi itu juga penting bagi kita. Album fisik juga memiliki kualitas audio yang lebih tinggi. Karena album musik pada akhirnya mengandung audio dan visual.

Tak hanya musik yang sudah mengalami digitalisasi, sekarang semakin banyak kegiatan bermusik yang dijalankan secara virtual, salah satunya konser virtual. Bagaimana pandangan WSATCC tentang perubahan trend konser virtual yang semakin marak selama masa pandemi ini?

Menarik kalau menurut kita. Soalnya kita lagi mencoba untuk adaptif karena secara fisik kita tidak bisa bertemu. Karena hal ini juga dilakukan di seluruh dunia tanpa kesepakatan, namun semua orang melakukan hal yang sama saat pandemi.

Padahal festival sebetulnya kayak nggak mungkin diadakan secara online, tapi akhirnya bisa juga ‘kan? Menariknya, mereka justru dapat penonton baru lagi karena ternyata nggak semua orang datang ke konser live. Jadi, ketika diadakan secara online, ada penonton baru. Nggak bisa dipungkiri bahwa ada penonton online yang nggak pernah datang konser, pada akhirnya bisa nonton.

Akhirnya ini bisa menjadi pasar baru. Bisa jadi industri musik terbelah menjadi dua pasar. Misalnya, orang yang sebelumnya suka nonton konser live, akhirnya karena mager lebih milih untuk nonton secara online. Ya, intinya sih, (konser virtual) itu adaptif dan telah menciptakan pasar baru.

Apa WSATCC pernah melakukan konser virtual selama masa pandemi ini? Apa ada pengalaman menarik?

Kita sudah pernah melakukan beberapa project, konser secara virtual. Salah satunya festival musik Jazz, Ngayogjazz di Jogja yang dilangsungkan secara virtual, dan ada juga beberapa acara lainnya.

Terus kita tampil pakai green screen, karena ada background 3D yang diaplikasikan, itu menarik. Terus ada pendekatan melalui lighting, video klip. Ada juga yang pakai pendekatan dokumenter, semi bercerita. Jadi ada banyak pendekatan-pendekatan baru yang digunakan. Kebanyakan konser yang kita lakukan pre-record karena persiapan untuk streaming live lebih besar. Kita masih belum berani. Karena harus mempertimbangkan angle kamera yang digunakan, sistem broadcast-nya, terus transmisi internet juga.

Selama masa pandemi ini juga, makin banyak musisi yang melakukan kolaborasi secara online. Apa WSATCC sudah pernah melakukan konsep kolaborasi serupa?

Untuk sekarang sih belum kejadian. Cuma projek-projek penampilan dan mengerjakan musik secara online.

Apa harapan dan target WSATCC kedepannya dalam dunia musik?

Kita cuma berharap bisa bermusik terus. Kita pengen juga lagu-lagu WSATCC bisa jadi film, atau kita menjadi soundtrack film. Sama pengen bisa jalan-jalan lagi, tampil secara live lagi.

Pokoknya pengen offline lagi, wawancara begini juga lebih enakkan offline, karena banyak cerita yang ingin disampaikan. Bisa ketemu orang secara langsung, kumpul bareng lagi. Karena sekarang kita lebih banyak kompromi sama pandemi ketimbang mewujudkan konsep konten yang sebetulnya ingin kita buat.

Kita juga ingin bisa tour lagi, mendatangi tempat-tempat yang belum pernah kita datangi, ketemu dengan orang secara langsung, mencicipi kuliner-kuliner baru. Dan harapan lagi kedepannya untuk industri musik semoga makin banyak lahir band-band baru yang bisa menginspirasi kita dan menginspirasi orang lain biar lebih banyak pilihan dan warna.

Kalau untuk project musik, apa WSATCC sedang mengerjakan materi baru atau ada project terbaru lainnya?

Untuk sekarang kita lagi sibuk promo album “2020”. Untuk jangka panjangnya, kita punya rencana untuk bikin video klip setiap single dari album tersebut.

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Declan McKenna: What Happened to the Beach?

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Album Review

Music

Ariana Grande: Eternal Sunshine Ariana Grande: Eternal Sunshine

Ariana Grande: Eternal Sunshine Album Review

Music

Java Jazz Festival 2024: Embracing Unity Through Music

Entertainment

Green Day: Saviors Album Review

Music

Connect