Pada awalnya, tak banyak yang menyangka lagu itu akan mengguncang dunia. Apalagi jika kita ingat bahwa ia hanya duduk malu-malu di sisi B dari rilisan single “Substitute” milik Gloria Gaynor. Namun waktu membuktikan, justru lagu sisi B itu yang melompat ke garis depan sejarah. Judulnya tegas dan penuh tekad: I Will Survive.
Lagu yang dirilis pada penghujung 1978 itu mungkin terdengar seperti lagu disko biasa—dengan dentuman bass yang energik dan hentakan ritmis yang mengajak berdansa. Tapi begitu liriknya mengalun, kita tahu bahwa ini bukan sekadar musik untuk lantai dansa. Ini adalah himne perlawanan. Bukan hanya untuk satu orang, satu bangsa, atau satu generasi. Tapi untuk siapa pun yang pernah terpuruk dan mencoba bangkit.
Dino Fekaris, sang penulis lagu bersama Freddie Perren, menulis liriknya dari tempat paling sunyi dalam hidupnya: setelah ia dipecat dari Motown Records. Dalam kondisi nyaris tak punya arah, ia mengguratkan bait-bait tentang seseorang yang ditinggalkan dan merasa hancur, namun perlahan menemukan kekuatan untuk berdiri lagi.
“At first I was afraid, I was petrified…” adalah pengakuan yang sangat manusiawi: takut, beku, hancur. Tapi pada bagian reffrain, lagu ini melonjak seperti seseorang yang merobek selimut duka dan meneriakkan perlawanan:
“Oh no, not I, I will survive!”
Lagu ini dirayakan oleh banyak orang sebagai nyanyian patah hati yang berakhir bahagia. Namun bagi sebagian lain, “I Will Survive” lebih dari itu. Ia menjadi simbol emansipasi, ketahanan jiwa, dan pembebasan. Gloria Gaynor sendiri pernah berkata, “Lagu ini menyelamatkan hidup saya. Saya sedang dalam proses penyembuhan tulang belakang waktu itu, dan ‘I Will Survive’ memberi saya kekuatan.”
Tidak butuh waktu lama bagi lagu ini menyeberangi batas-batas tema dan genre. Ia diadopsi oleh gerakan feminis, hingga para penyintas kekerasan domestik. Di lantai dansa klub malam, di ruang-ruang pertemuan penyintas, hingga di acara-acara politik, lagu ini hadir sebagai pelipur sekaligus pembakar semangat.
Pada era 1980-an, ketika gerakan #MeToo- yakni gerakan anti pelecehan dan kekerasan seksual- mengguncang dunia empat dekade kemudian, lagu ini kembali muncul sebagai latar perlawanan yang ironisnya tetap relevan.
Di Indonesia sendiri, lagu ini hadir dalam bentuk yang lebih diam-diam. Diputar dalam sesi motivasi, kampanye pemberdayaan perempuan, hingga acara televisi yang menampilkan kisah perjuangan hidup. Ia tidak pernah benar-benar tenggelam. Seolah mengatakan: selama masih ada yang terluka, lagu ini akan terus bernyanyi.
Sejarah mencatat bahwa lagu ini bukan satu-satunya yang membawa pesan ketangguhan, tetapi sedikit yang bisa menandingi kekuatan resonansinya. Bahkan Library of Congress pada 2016 menetapkan “I Will Survive” sebagai bagian dari warisan budaya Amerika yang abadi.
Yang menarik, keberhasilan lagu ini tak bisa dilepaskan dari sosok Gloria Gaynor. Dengan suara khasnya—bertenaga tapi penuh perasaan—Gaynor memberi nyawa pada setiap kata. Ia tidak menyanyikannya. Ia mengalaminya.
“Banyak yang bilang ini lagu perempuan,” katanya suatu kali dalam wawancara. “Tapi pria pun bisa menyanyikannya dengan air mata di mata mereka.”
Tak heran, puluhan versi daur ulang pun lahir. Band alternative Cake membuat versi rock yang kering dan sarkastik pada 1996. Penyanyi Chantay Savage menjadikannya balada soul yang melankolis. Bahkan film-film seperti The Replacements, Priscilla: Queen of the Desert, hingga Chicken Little menjadikannya latar yang kuat untuk narasi keberanian dan harapan.
Karakter lagu ini memang unik. Ia bisa menjadi musik perpisahan, lagu perayaan kelulusan, hingga pengiring aksi demonstrasi. Ia lentur, tetapi tidak pernah kehilangan intinya: bertahan, apa pun yang terjadi.
Lagu ini mengajarkan kita bahwa tidak semua perlawanan harus dibarengi teriakan. Kadang-kadang, cukup dengan berdansa. Kadang cukup dengan menyanyikan kalimat: “Go on now, go, walk out the door / Just turn around now / ’Cause you’re not welcome anymore.”
Sebab dalam banyak perjuangan, langkah awal paling sulit adalah ketika kita berani berkata: aku pantas hidup lebih baik dari ini.
Dan mungkin, itu sebabnya lagu ini akan terus hidup. Sebab dunia tak pernah kehabisan alasan untuk membuat seseorang merasa ingin menyerah. Tapi selama masih ada yang menyanyikan “I Will Survive”, harapan akan selalu punya panggungnya sendiri.
