“I put a spell on you… because you’re mine.” Kalimat itu pertama kali dilantunkan dengan teriakan melengking penuh magis oleh Screamin’ Jay Hawkins pada 1956. Tapi lagu ini jauh dari sekadar pengakuan cinta. Ia adalah mantra—teriakan posesif dari hati yang dikhianati, dibungkus dalam atmosfer swamp blues dan unsur teatrikal yang membuatnya tetap menggema puluhan tahun kemudian.
Sejak itu, lagu ini menjelma jadi warisan budaya pop. Tak terhitung jumlah musisi yang menafsirkan ulang dengan versi dan emosi masing-masing. Dari Nina Simone yang melantunkannya dengan elegan dan getir pada 1965, Creedence Clearwater Revival yang memberi nuansa rock klasik pada akhir 1960-an, hingga Annie Lennox yang menambahkan sentuhan orkestra sensual dalam film “Fifty Shades of Grey” pada 2015.
Namun, tak banyak yang tahu bahwa lagu ini juga menjadi jantung emosional dalam film thriller psikologis “Knight Moves” (1992). Dalam film yang dibintangi Christopher Lambert dan Diane Lane itu, “I Put a Spell on You” versi Carol Kenyon muncul sebagai pembuka dan penutup cerita. Versi Kenyon—halus tapi menghantui—menciptakan latar suasana yang gelap, misterius, dan penuh tekanan batin, persis seperti nuansa permainan catur berdarah yang menjadi pusat cerita.
Carol Kenyon sendiri bukan nama asing di dunia musik Inggris. Ia pernah mengisi vokal latar untuk musisi kelas dunia seperti Kylie Minogue, Duran Duran, hingga Pink Floyd. Dalam “Knight Moves,” ia tampil sendirian, menyanyikan dua lagu utama dalam soundtrack: “I Put a Spell on You” dan “Fool That I Am.” Keduanya sama-sama menekankan sisi rapuh dari cinta dan obsesi yang tak terbendung.
Di tangan para musisi, lagu ini menjelma menjadi begitu banyak wujud. Bette Midler menghidupkannya kembali dalam gaya musikal gothic dalam “Hocus Pocus” (1993), berperan sebagai penyihir yang benar-benar melemparkan mantra secara harfiah. Marilyn Manson menjadikannya gelap dan industri, penuh distorsi dalam “Lost Highway” (1997), garapan David Lynch. Bahkan Jeff Beck dan Joss Stone menggarapnya ulang dalam format blues-rock elegan yang sempat masuk nominasi Grammy.
Tak hanya di panggung musik, lagu ini juga menjadi langganan dalam sinema dan serial televisi. Mulai dari Stranger Than Paradise, A Rage in Harlem, Mystery Train, hingga serial American Gods dan bahkan The Simpsons. Di berbagai versi itu, benang merahnya tetap: lagu ini adalah panggilan emosional yang tak bisa diabaikan—obsesi yang meledak dalam bentuk seni.
Ragam ritme pun menunjukkan fleksibilitas luar biasa dari lagu ini. Dari swamp rock ala Hawkins, jazz-soul yang dibawakan Simone, orkestra pop Lennox, hingga industrial gothic Manson. Bahkan dalam versi Kenyon untuk “Knight Moves,” lagu ini cenderung atmosferik, mendekati electronic ballad yang minimalis tapi menghujam.
Di Indonesia sendiri, lagu ini belum mendapat panggung besar. Tapi bayangkan jika sebuah film noir lokal menyematkan versi Carol Kenyon sebagai soundtrack. Atau seandainya festival jazz di Ubud memanggungkan aransemen versi Nina Simone yang muram dan menegangkan. Bahkan versi Manson akan cocok mengguncang panggung Jogja Noise Bombing. Kita belum memainkan kartu ini.
Yang menarik, “I Put a Spell on You” bukan hanya menyihir pendengarnya. Ia mencerminkan kondisi sosial—tentang batas antara cinta dan dominasi, tentang kehilangan dan keterikatan yang membakar. Di negeri ini, di tengah polarisasi sosial, keputusasaan ekonomi, dan relasi kuasa yang timpang, lagu ini bisa menjadi metafora. Kita semua, pada titik tertentu, merasa seperti telah dikendalikan sesuatu yang lebih besar—entah itu cinta, sistem, atau obsesi kolektif pada masa lalu yang enggan dilepas.
Barangkali di tengah krisis ekonomi yang membekap Indonesia hari-hari ini, lagu itu bisa menjadi simbol: sebuah pengakuan tentang kehilangan kendali. Seperti karakter dalam “Knight Moves” yang dikelilingi misteri dan permainan pikiran, rakyat pun merasa berada di atas papan catur besar—di mana kekuasaan bermain licik dan nasib ditentukan langkah orang lain.
Akhirnya, “I Put a Spell on You” adalah bukti bahwa lagu tak sekadar urusan bunyi. Ia adalah artefak emosi. Dan ketika dinyanyikan oleh Carol Kenyon dalam nuansa murung Knight Moves, atau dijadikan senjata oleh Bette Midler dalam wujud penyihir, atau dibawa terbang oleh Lennox ke dunia sensual, ia tetap tentang satu hal: bagaimana suara bisa menguasai jiwa.
Jika ada satu lagu yang terus hidup di berbagai zaman, lintas genre, dan lintas konteks budaya, maka lagu ini adalah salah satunya. Mempesona, mengganggu, menyihir. Dan mungkin, seperti dalam lagunya sendiri, kita memang tak sepenuhnya bisa melepaskan diri dari mantranya.
