Connect with us
Don’t Worry Darling
Warner Bros.

Film

Don’t Worry Darling Review: Florence Pugh Bersinar Perankan Sosok Istri Sempurna

Florence Pugh bersinar, Olivia Wilde punya potensi di genre psychological thriller. 

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

“Don’t Worry Darling” sempat menjadi film baru paling antisipatif sekaligus kontroversial setelah akhirnya rilis. Sempat ramai di media justru karena berbagai kabar tidak sedap yang mengitari proses produksi dan promosi filmnya.

Mulai dari pemecatan Shia LaBeouf dari lokasi syuting, hingga konflik antara sutradara Olivia Wilde dengan bintang utama, Florence Pugh. Karena Pugh sama sekali tidak terlihat aktif selama proses promosi dan konferensi pers film terbarunya ini. Memang cukup menimbulkan pertanyaan besar karena aktris Inggris tersebut menjadi ‘wajah’ dari film ini.

Berbagai berita yang diklaim sebagai rumor dan cukup menyudutkan Olivia Wilde sebagai sutradara tampaknya mempengaruhi bagaimana media mengulas filmnya. Wilde kembali bekerja sama dengan Katie Silberman sebagai penulis naskah “Don’t Worry Darling”.

Pada 2019, keduanya juga bekerja sama dalam debut Wilde sebagai sutradara, “Booksmart”. Film drama komedi bertema coming of age yang menuai ulasan positif. Lantas, apakah benar “Don’t Worry Darling” merupakan film yang sangat buruk seperti yang diungkapkan oleh media?

Don’t Worry Darling

Portrait Standar Gaya Hidup Makmur di Amerika Serikat pada Era 50-an

Berlatar pada 1950-an, Alice (Florence Pugh) dan Jack (Harry Styles) adalah sepasang suami istri bahagia yang tinggal di Victory. Victory merupakan komunitas dimana para istri mengurus rumah dan menikmati berbagai fasilitas mewah, sementara para suami bekerja pada project rahasia. Project ini dipimpin oleh sosok kharismatik, Frank (Chris Pine).

Terlalu indah untuk menjadi nyata, konsep komunitas utopia Victory menyajikan potret kehidupan makmur sesuai dengan standar gaya hidup di Amerika Serikat pada era 50-an. Kita harus mengakui bahwa desain produksi “Don’t Worry Darling” memiliki kualitas juara.

Mulai dari menghidupkan pemukiman utopia Victory yang sempurna, pemilihan desain interior hunian, hingga tata busana dan tata rias untuk setiap karakter. Ada beberapa adegan pesta pora yang juga dieksekusi dengan mewah dan menawan. Olivia Wilde terlihat memiliki visi yang jelas untuk membuat filmnya memotret trend gaya hidup kelas atas pada era 50-an.

Diselimuti dengan musik latar yang suspenseful pada beberapa adegan, kita akan selalu diingatkan bahwa film dengan visual indah dan menawan ini menyimpan plot thriller yang perlu diungkap. Poin menarik ketika film thriller atau film yang seharusnya menimbulkan kengerian memiliki kemasan yang cantik seperti film ini.

Don’t Worry Darling

 

Teka-Teki Tidak Disebar dengan Rapi, Plot Twist Jadi Prematur

“Don’t Worry Darling” memiliki premis menarik penuh misteri yang cukup memikat penonton untuk penasaran. Kemudian memutuskan untuk menonton film untuk menemukan jawabannya. Bahkan setelah mendengar berbagai ulasan buruk, mungkin kita masih tetap dibuat penasaran dengan kegilaan seperti apa yang sebetulnya disembunyikan oleh project Victory.

Film berdurasi 2 jam ini memang memiliki satu jam pertama yang terasa membosankan karena tidak ada perkembangan plot signifikan. Entah apa alasan plotnya harus diulur-ulur selama setengah durasi tanpa perkembangan cerita.

Namun, setelah memasuki babak selanjutnya, plot akhirnya mulai menggoda penonton lagi untuk tertarik. Pertanyaan mulai bermunculan, teka-teki mulai diperjelas, hingga pada titik ini kita mungkin sudah mengira-ngira dan memprediksi jawaban atas misteri yang bersembunyi di Victory. Sebetulnya keseluruhan konsep dari “Don’t Worry Darling” cukup menarik. Original, unik, dan bisa jadi topik pembahasan seru. Sayangnya, presentasinya masih kurang sempurna.

Plot twist dan berbagai teori ditumpahkan dalam satu adegan melalui dialog. Padahal harusnya bisa memanfaatkan penjelasan melalui adegan dan visual. Disebar dengan lebih rata dalam setiap adegan sejak awal film. Membiarkan penonton menemukan pecahan puzzle dan merangkainya sendiri sebelum plot twist disajikan.

Sudah plot twist-nya muncul belakangan, akhirnya memberikan jawaban yang prematur. Terlalu banyak teka-teki dan misteri, tapi jawabannya tidak maksimal. Premis film ini merupakan tipe premis yang didasari oleh pertanyaan. Sehingga membutuhkan akhir yang memberikan jawaban. Sayangnya jawaban yang disajikan kurang solid. Memang ada konsep film dengan akhir cliffhanger, membiarkan penonton untuk menarik kesimpulan sendiri. Namun, “Don’t Worry Darling” kurang tetap jika sengaja memberikan akhir demikian.

Florence Pugh Bersinar sebagai Bintang Utama

Selain sinematografi dan desain produknya yang memanjakan mata, penampilan Florence Pugh bisa jadi alasan kita mampu menonton hingga akhir. Sebagai protagonis yang mendominasi plot dan sudut pandang, kita akan dibuat terpikat dengan penampilan Pugh dari adegan ke adegan berikutnya. Mulai dari sosok istri ideal yang menawan, hingga mulai mengalami paranoia yang membawanya pada delusi dan kegilaan. Kita akan dibuat terpikat dengan setiap bagian dari karakter Alice yang dibawakan oleh Florence Pugh.

Sementara Harry Styles tidak bisa dibilang memberikan penampilan yang memikat sebagai karakter pendukung. Sebetulnya kalau mau dihitung juga, porsi adegan yang menantang dia untuk memberikan akting berkesan juga tidak terlalu banyak. Ada beberapa adegan yang terasa sedikit canggung. Olivia Wilde yang juga bermain peran sebagai istri sempurna di Victory terlihat sangat luwes dan menikmati aktingnya. Dengan posisinya sebagai sutradara, Ia jelas memiliki visi untuk mengarahkan karakter yang Ia mainkan sendiri.

Chris Pine juga memberikan penampilan yang menyakinkan sebagai Frank, sosok pemimpin misterius, kharismatik, namun juga selalu mengintimidasi setiap pada setiap adegan.

Secara keseluruhan, “Don’t Worry Darling” tidak seburuk ulasan media utama dan kritikus amatir di internet. Ada cukup banyak aspek dalam film ini yang juga patut diapresiasi sebagai karya film. Terutama pada desain produksi dan penampilan akting beberapa aktornya. Konsep naskahnya juga sebetulnya sangat menarik. Meski bisa jadi sensitif dan menimbulkan berbagai opini mengenai isu feminisme dan budaya patriarki. Jangan terlalu dimasukan ke hati, orang jaman sekarang kerap lupa bahwa film-film seperti ini hanyalah kisah fiksi semata sebagai hiburan.

12.12: The Day 12.12: The Day

12.12: The Day Review – Kudeta Militer dan Periode Tergelap Korea Selatan

Film

Look Back Review Look Back Review

Look Back Review: Nostalgia & Tragedi

Film

Conclave review Conclave review

Conclave Review – Drama Intrik di Balik Pemilihan Paus

Film

We Live in Time We Live in Time

We Live in Time Review: Perjuangan Pasangan Melawan Kanker & Waktu

Film

Advertisement Drip Bag Coffee
Connect