Bait pertama lagu “The Way We Were” dibuka dengan sebuah pertanyaan filosofis: “Memories, light the corners of my mind / Misty water-colored memories of the way we were.” Sebuah refleksi yang sederhana, namun menghunjam. Sejak pertama kali dilantunkan Barbra Streisand dalam film berjudul sama pada 1973, lagu ini tidak sekadar menjadi pengiring kisah cinta dua tokoh utama—Katie Morosky dan Hubbell Gardiner—tetapi menjelma sebagai himne kolektif tentang kehilangan, nostalgia, dan kerinduan pada masa lalu yang tak bisa kembali.
Lagu ini ditulis oleh Alan dan Marilyn Bergman, pasangan suami-istri spesialis lirik balada romantik, dengan iringan melodi ciptaan Marvin Hamlisch. Kekuatan lagu ini terletak pada kesederhanaan lirik dan aransemen musiknya yang melankolis namun elegan. Streisand menyanyikannya tanpa banyak improvisasi vokal, seolah-olah menyampaikan catatan harian yang sangat pribadi. Justru di situlah letak daya pikatnya: kejujuran yang polos namun dalam.
Dalam sejarah musik pop, “The Way We Were” termasuk langka: sebuah lagu tema film yang tidak hanya sukses di tangga lagu Billboard dan meraih Academy Award untuk Best Original Song, tetapi juga tetap relevan secara emosional melampaui konteks sinematiknya. Bahkan bagi mereka yang belum pernah menonton filmnya, lagu ini tetap menyentuh karena menyuarakan emosi universal: penyesalan dan kenangan tentang cinta yang tidak bisa bertahan.
Streisand tidak sendiri dalam menyuarakan lagu ini. Selama lima dekade terakhir, “The Way We Were” telah diinterpretasi oleh sederet penyanyi besar: Gladys Knight & the Pips membawakannya dalam versi soul, Andy Williams dengan gaya crooner klasik, bahkan Beyoncé pernah menyanyikannya dalam tribute megah. Setiap versi membawa nada yang berbeda, namun tetap berputar pada poros emosi yang sama: kerinduan yang tenang namun menusuk.
Film ‘The Way We Were’ sendiri menempatkan lagu ini di jantung cerita. Disutradarai oleh Sydney Pollack, film ini menggambarkan benturan nilai antara dua karakter: Katie, aktivis politik progresif, dan Hubbell, penulis konservatif yang ingin hidup nyaman. Lagu ini muncul saat mereka mengenang masa-masa ketika cinta mereka masih sederhana, sebelum ideologi dan ambisi memisahkan mereka. Cinta tidak selalu berakhir karena kebencian; kadang ia padam karena perbedaan yang tidak bisa dijembatani.
Di Indonesia, gema “The Way We Were” terasa semakin relevan dalam konteks sosial-politik hari ini. Kita hidup dalam masyarakat yang kerap terbelah antara mereka yang ingin mempertahankan idealisme dan mereka yang pragmatis mengejar kenyamanan. Banyak aktivis 1998, misalnya, yang kini duduk nyaman di kursi birokrasi, mungkin juga teringat “the way they were”: masa muda yang radikal, lantang, penuh semangat. Lagu ini bisa menjadi latar suara bagi generasi yang sedang bergulat dengan kompromi terhadap cita-cita.
Lagu ini juga menyentuh sisi personal masyarakat Indonesia yang masih memuja kenangan. Budaya nostalgia begitu kuat. Mulai dari maraknya akun media sosial “tempo dulu”, tren film remake, hingga kerinduan kolektif terhadap era “yang katanya lebih baik”—semua menunjukkan bagaimana ingatan masa lalu menjadi ruang pelarian dari kenyataan yang tak selalu menggembirakan. Lagu ini mengekspresikan itu tanpa menjadi cengeng, dan justru menawarkan penghiburan bahwa mengenang bukanlah kelemahan, tetapi bagian dari keberanian menerima kenyataan.
Di ranah musik Indonesia, banyak penyanyi yang terinspirasi oleh balada klasik seperti ini. Lagu-lagu Melly Goeslaw, misalnya, acap kali memuat narasi patah hati yang elegan, tanpa terjerumus dalam sentimentalitas murahan. Atau lagu-lagu Yovie Widianto yang seakan belajar dari Streisand: menahan diri dalam menyampaikan kesedihan agar maknanya lebih terasa.
“The Way We Were” juga mengajarkan pentingnya narasi dalam musik. Di tengah gempuran algoritma TikTok dan dominasi lagu dua menit yang mengejar viralitas, lagu ini tetap bertahan karena menyampaikan kisah utuh—dengan awalan, pertengahan, dan penutup. Ia tidak mementingkan hook semata, tapi membangun suasana secara perlahan, menyisakan ruang untuk pendengar merenung.
Barbra Streisand sendiri telah menginterpretasikan lagu ini dalam berbagai suasana: konser megah di Madison Square Garden, momen penghormatan untuk aktor-aktor legendaris, hingga tampil bersama orkestra simfoni. Bahkan ketika dinyanyikan ulang dalam nada minor yang lebih suram, lagu ini tetap menyimpan harapan kecil: bahwa meski cinta tak bisa kembali, kenangan akan tetap menyala di sudut pikiran.
Sebagai bangsa, mungkin kita juga sedang berada di titik itu—menengok ke belakang, bukan untuk larut, tapi agar tak lupa darimana kita berasal. Lagu ini seolah mengingatkan: tak semua kehilangan harus dilupakan. Ada kalanya, mengingat “the way we were” justru membuat kita lebih jujur, lebih manusiawi, dan lebih bijak dalam melangkah ke depan.
Karena pada akhirnya, “The Way We Were” bukan semata lagu cinta, tapi juga meditasi tentang waktu dan identitas. Ia menyadarkan bahwa tak ada cinta yang benar-benar hilang, hanya berubah bentuk—menjadi kenangan, menjadi pelajaran, dan menjadi bagian dari siapa kita hari ini.
