Connect with us
Love Sux Avril Lavigne
Credit: Ryan McFadden

Music

Avril Lavigne: Love Sux Album Review

‘Love Sux’ menjadi penanda kembalinya The Princess of Pop-punk.

★ ★ ★ ★ ★
★ ★ ★ ★ ★

Avril Lavigne meluncurkan album baru setelah bergabung dengan DTA Records, label dari personil Blink-182 Travis Barker. ‘Love Sux’ melanjutkan rilisan Lavigne sebelumnya di tahun 2019, ‘Head Above The Water’.

Album yang dirilis pada akhir Februari ini digadang-gadang akan mengembalikan sinar Lavigne sebagai Princess of Pop-punk. Terlebih dengan sederet musisi punk yang digandeng dalam album ini.

Selain Travis Barker yang ikut merilis album ini di bawah labelnya, DTA Records. Personil Blink-182 lain, Mark Hoppus juga ikut campur tangan. Lavigne juga menggandeng musisi punk yang banting setir ke musik rock, Machine Gun Kelly dan rapper Blackbear. Kombinasi menjanjikan untuk sebuah album punk.

Namun ‘Love Sux’ tidak sepenuhnya tentang nostalgia. Lavigne tidak menyelam kembali ke dalam kancah musik punk-pop seperti di album debut ‘Let It Go’ yang dirilis 2 dekade lalu. Album studio ketujuh ini juga tidak menghadirkan sisi baru Lavigne. Seperti yang sang bintang usung dalam album ‘Head Above The Water’ sebelumnya. Album ini seakan memadukan antara sisi nostalgia dari era Warped Tour dengan musikalitas baru Lavigne. Musik yang lebih dewasa dan tidak lagi penuh keragu-raguan.

Pendewasaan musikalitas Lavigne sudah dimulai sejak album studio keenam ‘Head Above The Water’. Album yang dirilis pada 2019 ini menarasikan perjalanan Avril dengan penyakit Lyme. ‘Head Above The Water’ hadir begitu personal, menceritakan bagaimana sang bintang berjibaku dengan dirinya sendiri ketika jauh dari gemerlap dan lampu sorot dunia hiburan.

‘Love Sux’ melanjutkan sisi pendewasaan musikalitas Lavigne setelah ‘Head Above The Water.’ Namun berbeda dengan sisi personal dari album sebelumnya, ‘Love Sux’ menceritakan tentang kemerdekaan diri. Bagaimana seorang wanita memerdekakan dirinya setelah melewati toxic relationship.

Di samping itu, album ini juga menggambarkan tentang ledakan-ledakan perasaan saat jatuh cinta. Tema yang persis sama diangkat oleh Lavigne dalam album debutnya 2 dekade lalu.

‘Love Sux’ dibuka dengan ledakan track pertama, “Cannonball.” Lavigne membuka album ini dengan teriakan berulang-ulang, “like a ticking time bomb, I’m about to explode”. Intro 20 detik pertama lagu ini seakan membawa pendengar kembali ke festival musik punk di tahun 2002, dimana Lavigne menggebrak panggung dengan lagu-lagu berirama pop-punk yang keras.

Namun Lavigne tidak membiarka pendengar berlama-lama dalam nostalgia. Setelah intro tersebut, lagu berganti dari irama punk kental menjadi hyper pop. Lavigne lantas menuntun penonton ke sebuah era baru, dimana sang Princess of Punk-Pop menggedor-gedor dengan irama electro dance pop.

Nostalgia punk belum berhenti di situ. Track berikutnya juga menghadirkan nostalgia punk tahun 2000an yang sama. “Bois Lie”, track kolaborasi dengan Machine Gun Kelly mereferensikan ke megahit sang bintang dari Kanada, “Sk8er Boi”.

“You should’ve known better, better/To fuck with someone like me/(Hey you) Forever and ever you’re gonna wish I was your wifey” menjadi bagian menarik dari track selanjutnya, “Bite Me”. Track yang juga menjadi pre-release single ini kembali menunjukan sisi punk-pop Lavigne dari 2 dekade lalu. Hanya saja kali ini dalam kemasan dan tampilan lebih dewasa.

Pendewasaan musikalitas pop-punk Lavigne memang menarik untuk diikuti. Mengingat sang Princess of Punk-Pop sempat bergeser jauh dari genre ini ke bubblegum pop pada album ketiga, ‘The Best Damn Thing’ di tahun 2007. Genre pop-rock juga pernah disambangi sang bintang dalam upayanya melebarkan jangkauan pendengar sekaligus mengikuti tren musik kala itu.

Sayangnya, genre-genre tersebut belum benar-benar merasuk ke dalam. Pendengar, dan juga penggemar masih mengaitkan sang bintang dengan image emo-punk dan skater aesthetic yang dibawa sejak debutnya di tahun 2002.

Padahal di kancah musik punk, Lavigne justru dianggap ‘poser.’ Misoginistik di era tersebut membuat musik Lavigne tidak dianggap serius. Hanya seorang wanita yang mencoba menggunakan punk sebagai estetika.

Untuk itu hadirnya Blink-182 hingga Machine Gun Kelly dalam album ini seakan menjadi penerimaan Lavigne dalam kancah musik punk. Walau sejujurnya, Lavigne tidak perlu persetujuan maupun penerimaan dari musisi lain untuk masuk ke genre ini. Mengingat dirinya lah The Princess of Punk-pop.

Kembali ke track dalam album, rapper Blackbear digandeng untuk single pre-release berikutnya ‘Love It When You Hate Me.’ Irama pop-punk yang kental diangkat untuk track ini. Terutama pada chorus, dimana Lavigne menghadirkan penulisan lirik yang segar: “The highs the lows the yes, the nos / You’re so hot when you get cold / Don’t call me baby / I love it when you hate me.”

Instrumen dan riff gitar menjadi kekuatan tersendiri untuk title track “Love Sux.” Walau setelah sederet single apik sebelumnya, “Love Sux” seakan sebuah anti-climax.

“Kiss Me like the World Is Ending” membawa kembali Lavigne dari tahun 2002. Nostalgia cinta di masa remaja yang sepertinya juga akan membuat penggemar Lavigne, yang saat ini berusia 37 tahun, ikut tersenyum. Hadirnya dua personil Blink-182 juga paling terdengar di track ini. Terutama untuk riff gitar yang sedikit banyak mengingatkan pada lagu hits Blink-182 “All The Small Things.”

Lavigne juga mereferensikan lagu hitsnya yang lain, “Complicated” pada track selanjutnya. “Avalanche” bercerita tentang patah hati, dengan melodi yang membuat pendengarnya ingin mendengar kembali lagu-lagu hits Lavigne yang bertema sama.

Mark Hoppus digandeng untuk track “All I Wanted,” yang sayangnya tidak cukup memorable walau memasangkan dua veteran pop-punk. “Dare To Love Me” menjadi track kesebelas, dimana kali ini Lavigne menghadirkan lagu bernada balada. Iringan piano menjadikan lagu ini sebagai penutup yang manis.

‘Love Sux’ masih jauh dari kata memuaskan. Namun seperti dikatakan oleh Lavigne saat perilisan, ia hanya ingin bersenang-senang di album ini. Merilis sebuah album yang akan memberikannya waktu terbaik.

Kesan nostalgia yang dihadirkan pun tidak dipungkiri oleh Lavigne. Salah satunya ia menyebut kolaborasi dengan para musisi veteran punk lain layaknya ia sedang bersama orang-orang yang tumbuh besar bersamanya.

Untuk musisi sekelas Lavigne, ia memang tidak perlu lagi membuktikan diri. Walau ‘Love Sux’ berhasil mengingatkan pendengar bahwa dirinya masih, dan akan selalu menjadi Princess of Punk-Pop. Terlepas dari genre apapun yang dijejalkan ke dalam rilisan-rilisannya setelah tahun 2002.

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Declan McKenna: What Happened to the Beach?

Declan McKenna: What Happened to the Beach? Album Review

Music

Ariana Grande: Eternal Sunshine Ariana Grande: Eternal Sunshine

Ariana Grande: Eternal Sunshine Album Review

Music

Java Jazz Festival 2024: Embracing Unity Through Music

Entertainment

Green Day: Saviors Album Review

Music

Connect