Mengutip Albert Einstein, Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan adalah subyek dengan keterbukaan logika terbatas, sementara imajinasi adalah konsep yang tidak memiliki batasan apapun. Menjadi medium yang lebih luas untuk menstimulasi kita dalam mengembangkan peradaban manusia. Oleh karena itu, banyak penemuan besar berawal dari imajinasi, sesuatu yang belum ditemukan dan tidak terbayangkan. Bagaimana kita bisa membayangkan sesuatu yang belum ada sebagai sesuai yang nyata? Namun, selalu ada kemungkinan dengan imajinasi.
Genre fiksi ilmiah menjadi tempat bermain bagi para filmmaker untuk mewujudkan imajinasi mereka akan teknologi yang belum ditemukan. Mulai dari ekspedisi luar angkasa, hingga afirmasi keberadaan makhluk asing di alam semesta lainnya. Adapun berbagai gadget dan perkembangan teknologi lainnya yang diwujudkan dalam film maupun serial beberapa tahun belakangan.
Hal yang menarik adalah seiring berkembangnya teknologi, semakin banyak gadget masa kini yang beberapa dekade lalu mungkin tak lebih dari sekadar fiksi ilmiah. Bagi kita yang generasi milenial, pernah ‘kah terpikir ketika kita masih 10 tahun bahwa di masa depan kita akan memiliki handphone dengan layar sentuh dan wireless earbuds?
Ada banyak teknologi dalam film maupun serial fiksi ilmiah yang kini telah menjadi nyata dan masih banyak yang dalam proses pengembangan. Berikut beberapa teknologi fiksi ilmiah yang perlu dipertanyakan; masihkah mereka layak disebut fiksi?
3D Virtual World
OASIS merupakan 3D virtual world yang terlahir dari imajinasi penulis novel, Ernest Cline, pada novelnya yang bertajuk “Ready Player One”. Novel fiksi ilmiah tersebut rilis pada 2011 silam, ketika Oculus Rift masih berupa prototype (2010). Hingga akhirnya sutradara Stephen Spielberg mengadaptasi novel Cline menjadi karya film yang lebih immersive. Ketika teknologi VR (virtual reality) sudah tidak asing lagi di peradaban modern sebagai console game atau sekadar medium hiburan. OASIS kini semakin dekat untuk menjadi kenyataan melalui proyek seperti Metaverse.
Sudah ada pula 3D virtual world platform yang sudah populer dan aktif adalah VRChat yang diluncurkan pada 2017 lalu. Dimana melalui platform ini, setiap user bisa menciptakan avatar-nya sendiri, membangun lokasi, bermain game, hingga berinteraksi dengan user lain. Meski kualitas grafiknya masih terbatas, VRChat sudah menjadi prototype sempurna untuk mewujudkan teknologi 3D virtual world seperti OASIS.
Brain Chip
Ada banyak aplikasi brain chip dalam sederet film hingga serial bergenre fiksi ilmiah sejak beberapa tahun belakangan. Siapa yang menyangkah banyak hal bisa kita kembangan melalui konsep fiksi ilmiah ini? Dalam film pendek Gobelins, “Best Friend”, teknologi brain chip dikembangkan menjadi device untuk menciptakan sahabat virtual bagi orang-orang kesepian di peradaban modern yang semakin individualis. Sementara dalam serial “Black Mirror”, brain chip digunakan sebagai console game yang lebih immersive dibandingkan dengan VR. Kita bisa melihat prakteknya pada episode “Playtest” dan “Striking Viper”.
Teknologi chip yang dimasukan ke dalam tubuh manusia juga dikembangkan menjadi aplikasi kencan dalam Netflix Original dari Perancis, “Osmosis”.
Tak lagi hanya konsep fiksi ilmiah dan mitos dalam kepercayaan tertentu yang diyakini akan menjadi malapetaka, brain chip kini sedang dikembangkan oleh Elon Musk melalui perusahaannya, Neuralink. Meski dengan berbagai kontroversi yang mengitari proyek ini, Neuralink telah melalui uji coba dengan diimplankan pada binatang. Kedepannya, Musk menargetkan produknya untuk digunakan oleh manusia. Mantan kekasihnya, sekaligus musisi Grimes sendiri mengutarakan bahwa dirinya ingin melakukan implan otak dengan Neuralink jika produk sudah sempurna.
Hologram & Virtual Artist
Konsep virtual artist sudah menjadi trend yang tidak baru lagi semenjak Hatsune Miku dan vocaloid menuai kesuksesan pada era 2000-an. Namun, pada “Black Mirror” episode “Rachel, Jack, and Ashley Too” kita akan melihat bagaimana teknologi holographic dan virtual artist dieksploitasi untuk sumber konten tak terbatas dari seorang musisi berbakat.
Virtual artist kini telah menjadi alternatif model penerbitan idol hingga internet influencer yang menuai kesuksesan besar, terutama semenjak pecahnya pandemi pada 2020. Perusahan seperti Hololive dan Nijisanji merupakan dua agensi vtuber yang sekarang sedang mendominasi skena hiburan virtual. Dimana konsepnya adalah ada talent yang “bermain peran” dengan avatar 2D maupun 3D di balik model yang didesain oleh agensi.
Dalam “Black Mirror”, Ashley sebagai popstar dieksploitasi sebagai persona yang bukan dirinya. Kemudian dengan teknologi avatar hologram bisa digantikan dengan orang lain dibalik layar dan bisa menyelenggarakan konser secara remote.
Jika episode “Black Mirror” merupakan potret terburuk pemanfaatan virtual artist, realitanya sejauh ini model promosi talent dengan avatar animasi belakangan ini disambut dengan antisipasi positif sekaligus menyenangkan bagi talent yang suka rela berlomba untuk audisi di agensi seperti Hololive dan Nijisanji. Ada yang merasa lebih bebas untuk mengekspresikan diri, hingga terlindungi dari eksploitasi media karena identitas asli mereka dirahasiakan. Mereka jadi bisa lebih fokus berkarya tanpa mengorbankan kebebasan pribadi.
Interactive Humanoid
Humanoid merupakan salah satu konsep fiksi ilmiah yang telah muncul di banyak film dan serial. Konsep yang ingin diwujudkan oleh teknologi fiksi ilmiah satu ini lebih dari sekadar robot yang menyerupai manusia, namun bagaimana humanoid ini menjadi artificial human. Dengan kesadaran, pemikiran, dan bisa diajak berinteraksi dengan manusia.
Film seperti “Ex Machina” (2014) memiliki metode yang menarik untuk diaplikasikan pada pengembangan humanoid. Dalam film fiksi ilmiah tersebut, kita tak semata-mata langsung mendapatkan humanoid yang bisa diajak berkomunikasi, namun ada metode input data yang dimanipulasi untuk memikat manusia sebagai lawan bicara.
Dalam “Ex Machina” Nathan sebagai ilmuwan harus mendobrak batasan dengan mencuri data pribadi Caleb, manusia yang dijadikan subyek untuk berinteraksi dengan humanoid ciptaannya, Ava. Nathan mencipatkan Ava dengan pengetahuan akan segala hal tentang Caleb, pemikiran hingga prefensinya tehadap lawan jenis.
Kini kita telah melihat humanoid seperti Sophia dan Ameca. Selain desain modelnya yang semakin menyerupai manusia, keduanya juga dibekali dengan teknologi AI (artificial intelligent) yang membuat keduanya bisa berinteraksi dengan manusia. Sophia sendiri telah diperlihatkan dalam beberapa kesempatan mampu melakukan diskusi dengan pengetahuan general seperti peradaban manusia, teknologi, hingga tes moral dilemma.
Spaceship
Pesawat luar angkasa atau spaceship terlihat sangat mudah diwujudkan dalam berbagai film maupun serial. Mulai dari sederet film superhero Marvel hingga Star Wars. Sampai kita mungkin melupakan, seberapa besar energi yang harus dibutuhkan untuk meluncurkan satu roket saja ke luar angkasa. Namun sekali lagi, Elon Musk memiliki proyek ambisius untuk mewujudkan pesawat luar angkasa dengan SpaceX. Targetnya adalah untuk eksplorasi luar angkasa dan membuat koloni manusia di Mars.
Untuk mewujudkan pesawat luar angkasa yang fleksibel seperti di film, teknologi pertama yang harus dikembangkan adalah sustainable rocket. Roket luar angkasa yang bisa digunakan lebih dari sekali. Setelah mengalami kegagalan demi kegagalan, SpaceX akhirnya berhasil meluncurkan sustainable rocket pertama mereka, Falcon 9, pada 30 Maret 2017 lalu. Dimana roket tersebut tidak hanya berhasil meluncur sempurna ke luar angkasa, namun juga bisa kembali ke Bumi pada koordinat yang telah ditentukan.