Film perang merupakan sajian tematik yang populer di skenanya. Ada berbagai perspektif yang bisa dieksplorasi dalam tema ini.
Seperti di skena film Indonesia, film perang menjadi media yang mengingatkan kita pada perjuangan para pahlawan melawan penjajah. Sementara dalam skena film Mandarin, film perang lebih mengunggulkan presentasi kolosalnya.
Secara tidak langsung, film perang selalu membuat kita bias pada perspektif yang dipilih dalam naskahnya. Membuat kita memihak pada salah satu kubu atau melihat kubu lain sebagai penjahat. Padahal realitanya perang adalah situasi yang penuh dengan kompleksitas politik, sosial, dan moral. Film anti perang bisa jadi perspektif dalam tema ini yang lebih relevan dengan peradaban modern.
Bukan film perang yang heroik, namun mencerahkan. Berikut sederet film anti perang terbaik yang patut ditonton.
Full Metal Jacket (1987)
Berlatar pada Perang Vietnam, di bawah komando Hartman yang kejam, banyak prajurit dalam regunya yang mengalami tekanan mental. Setelah suatu peristiwa tak wajar, para prajurit harus menghadapi kekacauan dan kengerian di medan perang.
Disutradarai oleh Stanley Kubrick, film ini mengandung konten yang disturbing. Lebih dari sekadar adegan perang penuh baku tembak dan pembantaian yang sadis, ada juga adegan depressing seperti bunuh diri. Dibintangi oleh R. Lee Ermey, Matthew Modine, Vincent D’Onofrio, Adam Baldwin, dan Arliss Howard.
Platoon (1986)
“Platoon” merupakan film anti perang yang disutradarai oleh Oliver Stone. Dibintangi oleh Willem Dafoe, Charlie Sheen, Tom Berenger, Johnny Depp, Kevin Dillon, dan Forest Whitaker.
Film klasik ini menjadi salah satu yang ikonik dalam skena film perang. Sama seperti “Full Metal Jacket”, “Platoon” juga memuat tema yang disturbing, penuh dengan adegan kekerasan di medan perang yang bertubi-tubi, adegan sadis, dan penggunakan kata-kata kasar.
Latarnya juga terjadi pada Perang Vietnam. Satu peleton pasukan Amerika melakukan patroli, bertempur, dan mati di kawasan hutan Vietnam. Berusaha untuk tetap hidup di tengah kengerian dan horor perang, serta penyelewengan moral dari atasan politik mereka.
Come and See (1985)
“Come and See” merupakan film anti perang produksi Uni Soviet yang mendapat label sebagai salah satu film paling disturbing. Film arahan sutradara Elem Klimov ini berlatar pada permusuhan Soviet-Jerman pada Perang Dunia II. Dipresentasikan melalui sudut pandang karakter bocah di bawah umur, Florya.
Florya adalah bocah Belarusia yang memutuskan untuk bergabung dengan gerakan Soviet untuk melawan kekejaman pasukan Nazi Jerman setelah menemukan senapan lama. Awalnya, Florya adalah bocah periang. Namun setelah melihat kekejaman dan kebrutalan perang, ia mengalami pergolakan ekstrim. Membuatnya mengalami tekanan mental, mengubahnya menjadi bocah dengan kerutan dan rambut putih hanya dalam waktu beberapa hari.
Grave of the Fireflies (1988)
“Grave of the Fireflies” merupakan film animasi klasik produksi Studio Ghibli. Bercerita tentang kakak beradik, Seita dan Setsuko. Keduanya terpisah dari orang tua mereka saat Perang Dunia II. Keduanya pun hanya bisa mengandalkan satu sama lain untuk bertahan hidup, sambil berusaha menemukan orang tua mereka kembali.
Film ini hendak menunjukan tragedi dan ironi pasca perang. Apa harga yang harus dibayar setelah perang? Bahwa kesulitan tak hanya terjadi saat perang. Rakyat pun juga mengalami kesulitan untuk bangkit setelah perang. “Graves of the Fireflies” menjadi salah satu film Studio Ghibli paling menyedihkan dan bisa menghancurkan hati penontonnya.
The Boy in the Striped Pajamas (2008)
“The Boy in the Striped Pajamas” bisa dikategorikan sebagai film anti perang dengan pesan yang subtle. Dibintangi oleh aktor yang kala itu masih sangat muda, Asa Butterfield dan Jack Scanlon.
Bruno adalah anak dari komandan Nazi yang bertugas di kamp konsentrasi, tak jauh dari kediamanannya. Suatu hari, Bruno bermain di lokasi dengan pagar pembatas berduri, bertemu dengan bocah seusianya, Shmuel, dalam balutan piyama bergaris.
Kita akan melihat pertemanan antara Bruno dan Shmuel, dengan kepolosan masing-masing. Tanpa memahami situasi pelik yang terjadi dengan latar belakang mereka. Bahwa bocah dari keluarga Nazi bisa menjalin hubungan baik dengan bocah Yahudi.
Jojo Rabbit (2019)
“Jojo Rabbit” merupakan film anti perang dengan perspektif dari sudut pandang musuh besar pada Perang Dunia II, Nazi Jerman. Jojo Betzler adalah bocah yang sangat terobsesi dengan idealisme Nazi dan penggemar Hitler. Namun, setelah berkenalan dengan gadis Yahudi yang bersembunyi di rumahnya, secara perlahan ia memahami kebenaran dalam perang yang selama ini ia banggakan.
Melalui film ini, kita bisa melihat bagaimana banyak juga orang dari kubu Jerman yang lelah dengan perang. Bahwa pada akhirnya selalu ada orang baik bahkan di negara yang tampak seperti monster bagi dunia.
Hacksaw Ridge (2016)
Diangkat dari kisah nyata, “Hacksaw Ridge” adalah film biopik prajurit Amerika pada Perang Dunia II, Desmond T. Doss. Ia berjasa menyelamatkan 75 prajurit dalam Pertempuran Okiniwa. Meski menjadi prajurit di medan perang, Desmond menolak untuk melindungi dirinya dengan membawa senjata.
Karena ia memiliki latar belakang agama dan sangat patuh dengan kepercayaannya, bahwa membunuh adalah dosa. Ketika prajurit lain mengambil nyawa, ia bersumpah untuk menyelamatkan nyawa rekan-rekannya.
The East (2020)
“The East” merupakan film anti perang yang cukup dengan dengan ‘rumah’. Johan de Vries adalah prajurit Belanda yang dikirim ke Indonesia untuk misi pemberontakan setelah Perang Dunia II. Ia mulai merasakan konflik pribadi ketika menjalankan tugas dipimpin oleh komandan kejam, Raymond Westerling. Dimana misinya melibatkan penyiksaan dan pembunuhan pada penduduk pribumi.
Fakta bahwa film ini adalah karya sutradara Belanda, Jim Taihuttu, dan dibintangi oleh aktor-aktor Belanda, menjadi media dimana representasi negara tersebut nekad mengakui dosa bangsa mereka di masa lalu. Meski sempat kontroversial, karena keluarga ditentang oleh kelurga Westerling, “The East” tetap diakui sebagai film anti perang yang presentable.
American Sniper (2014)
“American Sniper” merupakan film biopik tentang seorang juru tembak militer Amerika yang sempat bertugas di Iraq. Disutradarai oleh Clint Eastwood dan dibintangi oleh Bradley Cooper. Film ini diangkat dari memoar bertajuk serupa oleh Chris Kyle, juru tembak Navy SEAL dengan medali kehormatan setelah menuntaskan tugasnya pada negara.
Namun, “American Sniper” bukan film yang memposisikan Kyle sebagai pahlawan, melainkan mantan prajurit yang mengalami PTSD setelah perang. Film ini hendak menunjukan bagaimana dampak psikis yang harus ditanggung oleh prajurit, bahkan yang tampak kejam ketika sedang berada di lapangan. Karir militer Chris Kyle boleh gemilang, namun kehidupan pribadi, keluarga, dan pernikahannya justru tidak stabil karena kondisinya.
All Quiet on the Western Front (2022)
Masih baru dan fresh diingatan, “All Quiet on the Western Front” merupakan film anti perang yang sempat trending di Netflix. Film ini sebelumnya ada versi Hollywood klasiknya pada 1930, namun versi terbaru ini adalah produksi Jerman oleh sutradara Jerman, Edward Berger dan aktor-aktor Jerman.
Plot utamanya juga masih sama karena diangkat dari materi sumber yang sama, yaitu tentang sekelompok remaja Jerman yang terbujuk oleh pandangan patriotisme untuk menjadi prajurit yang ikut perang untuk membela negara.
Awalnya para pemuda ini memiliki ekspektasi yang tinggi sebagai pahlawan negara. Namun, setelah melihat realita kelam di medan perang, tak ada yang mereka harapan selain bisa kembali ke keluarga mereka dengan selamat.