“All Quiet on the Western Front” merupakan film perang terbaru yang sedang trending di Netflix. Film ini diangkat dari novel klasik Jerman bertajuk sama, karya Erich Maria Remarque pada 1929. Dimana kisah yang Ia tulis diadaptasi dari pengalamannya sebagai veteran tentara Jerman pada Perang Dunia I. Ia menceritakan bagaimana horornya suasana di medan perang dan trauma yang dialami oleh tentara-tentara muda.
“All Quiet on the Western Front” sebelumnya telah diangkat sebagai film pada 1930 dan 1979 oleh Hollywood. Sementara versi terbaru ini disutradarai oleh Edward Berger, sutradara Jerman, dengan deretan cast yang juga diisi oleh aktor-aktor Jerman.
Paul Baumer (Felix Kammerer) pemuda Jerman yang baru berusia 17 tahun, termakan propaganda Imperial German Army bahwa mereka akan menyambut kemenangan di Paris. Namun, setelah Baumer sampai di medan perang bersama teman-temannya, mereka mengalami sekuen kebrutalan perang yang mengerikan dan traumatis. Tak lagi berpikir akan kejayaan Jerman, sekelompok tentara bersahabat tersebut hanya berharap mereka bisa kembali pulang ke pelukan hangat keluarga.
Iming-iming Patriotisme dan Kemenangan yang Berubah Menjadi Mimpi Buruk
Kisah diawali dengan Paul Baumer bersama teman-teman yang terbujuk propaganda perang. Menjanjikan status sebagai pahlawan yang membela negara dan sudah dekat dengan kemenangan. Dengan model perekrutan demikian, kita bisa melihat bagaimana propaganda tidak berbeda dengan penipuan. Karena realita di medan perang sama sekali tidak memancarkan patriotisme. Hanya sekelompok orang yang menuruti perintah atasan. Membunuh dan menghabisi sesama manusia secara brutal. Plot juga sangat to the point, dimana kita tidak menunggu lama untuk merasakan mimpi buruk dalam perang.
Setiap film perang memiliki angle dan visi yang berbeda-beda. Ada yang menjunjung heroisme, dimana menghadirkan pahlawan dan musuh. Jika melihat film perang dari perspektif Inggris seperti dalam “Dunkirk” (2017), mungkin penonton akan menjagokan kubu Inggris. Secara tak langsung masih ada propaganda perang dengan memperlihatkan sikap heroik para tentara.
Namun, “All Quiet on the Western Front” merupakan film anti-perang. Tidak ada patriotisme maupun heroisme dalam film Jerman ini. Meski penonton mungkin bias pada protagonis bersama-sama teman-temannya, kita akan dibuat kasihan daripada melihat mereka sebagai pahlawan. Kemudian menyadarkan kita akan tindakan yang lebih bijak ketika sedang melihat perang pecah.
Eksploitasi Kebrutalan di Medan Perang Secara Detail
Mulai dari prolog saja arahan visual sudah dibuka dengan adegan yang perang yang brutal. Kemudian diiringi dengan musik latar drum dengan ritme yang membuat tidak tenang. Transisi dari prolog menuju babak utama yang masih tenang sangat mulus. Namun horor perang yang disajikan dalam prolog sudah membuat penonton merasa tidak nyaman sejak awal.
Seperti melihat sekelompok pemuda yang berjalan menuju perangkap, tanpa mengetahui situasi mengerikan yang akan mereka hadapi. Bagaimana setiap orang membunuh mungkin tidak dengan landasan bela negara lagi, namun usaha bertahan hidup. Karena dalam medan perang, membunuh atau dibunuh.
Ada banyak adegan kekerasan saat pertempuran di mulai. Dengan sound effect dan mixing yang maksimal. Membuat suara ledakan, baku tembak, hingga suara tusukan senjata tajam terasa sangat immersive. Ada adegan dimana tentara sekarat, suara darah yang mengalir dan kesesakan dieksekusi dengan sangat sempurna. Membuat kita juga ikut merasa tidak nyaman seperti para tentara yang melihat tentara-tentara lainnya yang sekarat.
Tidak melulu adegan pertempuran yang intens, ada juga adegan selingan di kala istirahat hingga membersihkan jenazah setelah satu babak pertempuran usai. Karena adegan perang yang mengeksploitasi kekerasan dan kesadisan, kita juga bisa merasakan ketegangan yang dirasakan oleh para tentara ketika harus kembali ke babak tempur berikutnya. Dengan begini, poin untuk menyampaikan trauma perang dalam film ini telah berhasil.
Mengingatkan Harga Besar yang Harus Dibayar Ketika Perang Pecah
Menonton film perang belakangan ini membangkitkan reaksi yang berbeda. Horornya perang terasa begitu dekat dan menimbulkan perasaan yang nyata. “All Quiet on the Western Front” menyajikan pesan anti-perang pada waktu yang tepat. Pada era modern dengan nilai kemanusian yang semakin dijunjung tinggi, patriotisme, nasionalisme, dan heroisme dalam perang sudah tidak relevan lagi. Film Edward Berger ini memiliki tujuan yang jelas dengan konten eksploitasi kekerasan dan kebrutal perang yang sajikan.
Film ini menunjukan sisi buruk dari propaganda perang seperti “Jojo Rabbit” (2019) dan “Schindler’s List” (1993). Jika kedua film tersebut memperlihatkan penduduk sipil sebagai korban, “All Quiet on the Western Front” mengungkapkan bahwa tentara yang dikirim untuk berperang pun juga korban dari perang.
Tidak ada hal positif yang bisa kita dapatkan dari perang. Begitu pula kisah ini memiliki perkembangan plot tragedi yang sangat suram dan membuat kita bergeming seiring credit roll muncul. Bahkan ketika perang sudah berakhir, harga yang besar telah dibayar, namun demi apa? Yang ada hanya rasa berkabung dan kehilangan.
Secara keseluruhan, “All Quiet on the Western Front” menjadi film adaptasi ketiga yang terasa lebih immersive karena diproduksi dalam bahasa Jerman, serta presentasi dari sutradara Jerman yang terasa lebih otentik. Mengingat situasi dunia saat ini, film ini bisa menjadi pengingat bagi pihak-pihak yang melupakan harga dari perang.